12 September 2011

Doa untuk Ambon

Oleh Henny Irawati*


Jakarta lebih terik dari biasanya. Panasnya seolah sanggup melelehkan kepala. Kutengok jam di hp, 13.00 WIB. Pantas. Di luar, matahari sedang garang-garangnya. Aku bersyukur telah sampai rumah. Rencana meneruskan baca kutangguhkan. Aku memilih tidur siang dengan jendela terbuka.

Ketika bangun, dua jam kemudian, matahari telah menepi. Dari jendela kamar, cahaya tidak lagi menyilaukan. Udara sore ramah seperti kawan lama, ngajak main di halaman. Tapi nanti dulu, aku mau tahu apa yang kulewatkan selama tidur siang. Laptop kunyalakan.

Aku tidak membaca koran, juga mengurangi ngobrol dengan kawan-kawan. Komunikasi yang kuteguhkan barangkali ya cuma dengan linimasa Twitter ini. Tanda panah terus kutarik ke bawah. Orang-orang juga mengeluhkan panas yang keterlaluan. Kabar-kabar lain tak ada kaitannya denganku sampai aku menemukan retweet seorang teman:

TitiwAkmar_Titi Akmar
Simak TL @iphankdewe tentang issue Ambon. Jgn mudah kepancing guys.

Eh, ada apa ini? Tiba-tiba ada yang menekan-nekan di bawah perut. Rasanya perih. Jantung berdebar lebih cepat.

Aku bergegas mengunjungi @iphankdewe, juga memantau linimasaku sendiri. Belakangan, aku punya beberapa teman baru dari Ambon yang tweet-tweetnya rajin kuikuti. Ada @malukupedia, @bloggermaluku, dan @almascatie. Kadang, mereka cerita tentang sejarah satu tempat atau menjelaskan norma yang lazim berlaku di sana. Tak jarang pula mereka mengunggah foto makanan atau salah satu pantai yang karangnya tampak dari permukaan, yang birunya bikin teduh dan rindu, yang anginnya menyegarkan dan seolah dapat kau rasakan ia melewati tengkukmu. Entah bagaimana caranya tak jatuh cinta pada pantai-pantai Maluku. Hari ini, aku menguntit perjalanan @almascatie.

Al berada di sekitar PLN Ambon sekitar 3 jam, mulai hanya kerumunan sampai terjadi baku lempar. Ia merutuki penjagaan aparat yang sangat minim.

almascatie_Al
aparat cman berapa orang :( *rasa2 mau managis sja e*

almascatie_Al
polisis kosong.. kampretrrr

Tersebar kabar sebuah gereja terbakar. Kenyataannya, asap hitam berasal dari sebuah mobil, bukan gedung apapun. Ia menyayangkan tank tentara malah mendatangi Masjid Al-Fatah, bukannya melerai dua kelompok massa yang mulai merangsek. Tidak seluruh kota Ambon rusuh. “Massa yang panas” berpusat di Tugu Trikora. Di sejumlah tempat lainnya, massa berkerumun "saja". Kenapa saja dalam tanda petik? Karena kita tidak semestinya meremehkan sekelompok orang yang berkerumun. Mereka rentan terprovokasi. Dengan menjadi gerombolan, identitas masing-masing orang melebur dan kabur. Mereka mendadak menjadi anonim. Jika sudah begitu, siapa yang akan bertanggung jawab pada kejahatan yang terjadi?

Satu jam berlalu, massa di Tugu Trikora masih berkerumun tapi sudah mulai tenang.

Al berjalan menuju masjid Al-Fatah untuk melihat kondisi pengungsi. Di sana, sudah ada perempuan dan anak-anak. “mreka terjebak dlm kondisi ini dn tdak bsa pulang kerumah.” Di Talake, sebuah rumah dan mobil terbakar. Massa masih berkumpul. Petak 10 lengang. AY Patty, Maranatha, sampai Joas “situasi tidak terlalu mencekam”. Hanya petunjuk jalan dirusak.

Konsentrasi massa di sekitar Al-Fatah sudah mulai menyusut. Di Jembatan Batu Merah bahkan sudah tidak ada kerumunan. Galunggung tenang.

Apa kata Detik.com? “Tembakan terdengar dari kawasan Diponegoro, Pohon Pule, Airmata Cina, dan Talake. Warga makin banyak yang mengungsi di Masjid Raya Alfatah, Masjid Jami, Kudamati, Karangpanjang, Soya dan kawasan lainnya yang aman.” Pada berita lain, Detik.com menulis, “Polisi mulai berjaga di sejumlah ruas jalan. Sejumlah orang membawa parang juga tampak bergerombol.”

almascatie_Al
banyak isyu yg bertebran di masyarakat, peran pemimpin dan media ut menenangkan lbh penting dri pada ikut memanas2i

almascatie_Al
dalam kondisi bgini, saya berharap para pejabat turun ke masyrakat bukan menerima laporan saja.. :(

almascatie_Al
30 meter dri titik2 yg di tipi ga ada rusuh. jd bukan ambon yg rusuh.. tlong dong kroscek lbh biar mkin tenang warga

Kecaman pada MetroTV yang mengulang-ulang tayangan pada saat kericuhan memuncak, semakin nyaring. Teman-teman sepakat kondisi di lapangan sudah reda. Tak pelak, MetroTV dianggap "memana-manasi daerah lain yang tidak ricuh". Sebagian orang bertanya, tak adakah niatan untuk melakukan peace journalism? Pemberitaan media dianggap lebay dan terlalu membesar-besarkan. Aku sendiri belum melihat langsung tayangan yang sedang dibicarakan ini.

Televisiku memang bagus untuk siaran MetroTV, sedangkan yang lainnya tidak. Saran Tomy untuk menonton Redaksi Kontroversi pun tak dapat kupenuhi. Aku menunggu Suara Anda dan Metro Hari Ini, atau Breaking News, kalau ada. Sungguh sial beruntun hari ini. Aku baru ingat ini Minggu. Akhir pekan. Pemirsa TV harus dibuat lebih santai. Tak boleh ada kerut di dahi. Kasus korupsi yang menyakitkan hati itu harus dilucu-lucukan lewat Democrazy. Atau sekalian pilih pertunjukan hiburan. Kahitna 25 tahun sekarang. Dua bulan sebelum konser, tiket sudah habis terjual. Hedi Yunus cerita kenapa dia “dirumahkan” pada waktu itu. Kalimat Hedi Yunus timbul tenggelam, diselingi layar televisi yang mem-biru sekian detik. Di antara tontonan-tontonan itu aku sempat melihat tayangan peristiwa di Ambon hari ini. Dua kali. Sekarang aku beruntung? Tidak. Melihat kerumunan, tangan mengacungkan batu, dan suara tembakan sungguh membuat gentar.

Hanya karena televisi menyajikan gambar, tak lantas demikian yang benar terjadi. Aku setuju dengan Heru dan kawan-kawan lainnya, media menjadikan peristiwa ini barang dagangan. Mereka “mendulang keuntungan sebesar-besarnya” dari sana. Alih-alih memberi kabar yang proposional, mereka justru memprovokasi. Mengobarkan ricuh.

Tapi, tunggu, bukankah hal itu menyadarkan kita bahwa kita butuh kabar-kabar alternatif yang, salah satunya, sedang dilakukan teman-teman, yaitu bertwitter? Aku tak pandai memberi label. Apakah itu citizen journalism atau entah apa sebutannya, aku tak peduli benar. Hanya aku tahu, yang mereka lakukan berharga. Mereka memperdengarkan suara lain.

Hanya saja aku tak mendengar suara perempuan. Mereka cuma sayup terdengar, kalau tidak hilang sama sekali. Apakah perempuan yang terjebak di Al-Fatah ada yang terluka? Di mana rumah mereka? Siapa yang memastikan mereka dapat kembali dengna aman? Apakah ibu hamil, anak-anak, dan kelompok difabel mendapat penanganan yang layak? Tak adakah satupun, satu saja, yang menceritakan keadaan mereka? Aku setuju juga dengan Sofie, laki-laki dan perempuan mendefinisikan rasa aman dengan cara yang berbeda. Meminta aparat segera meredakan kekacauan itu penting. Tapi jangan lupa juga, dampak dari kekacauan telah nyata di depan mata. Silakan aparat berjaga, datangkan bantuan dari Makassar, tapi juga jangan lupakan korban di pengungsian. Tolong, perempuan, berkabarlah. Berita yang remang-remang tak akan memberi petunjuk bagi kita. Beritahu kebutuhan-kebutuhan kalian. Kalau tidak dapat mengandalkan pemerintah, barangkali ada satu dua pihak di luar sana yang dapat menggenapi bantuan. Ayo kita desak semua media komunikas—facebook, twitter, hp—menjadi jembatan kita. Jangan sampai kita berkiblat pada media yang menampilkan korban hanya sebagai sekumpulan angka.

Beberapa teman perempuan kadang berkabar lewat Facebook. Entah kenapa hari ini tak nampak satu pun. Begitu juga Joan Pesulima. “Aku lapar,” itu yang pertama kali kukatakan pada Joan begitu kami bertemu, pun dia teman pertama yang kutemui begitu aku sampai Ambon tiga tahun lalu. Dia lantas mengajakku naik becak ke sebuah rumah makan yang membolehkan kami memilih sendiri ikan untuk dibakar, hidangan makan siang yang kutandaskan dengan sukarela. Aku bisa makan ini tiga kali sehari, selama di sini, pikirku. Juga kukatakan pada Joan tanpa malu. Kami meneruskan perjalanan ke Rumah Kopi Joas. Joan menyarankan aku memesan kopi Rarobang, kopi dengan aroma jahe dan taburan kenari. Rarobang datang bersama kue aku-lupa-namanya yang sekeras batu tapi akan melunak setelah dicelup dalam Rarobang. Sebelum kopiku dingin, aku telah menyadari, aku mencintai kota ini. Ya, bahkan Joan, yang sudah kusimpan tiga nomor hp-nya, tak dapat kuhubungi satupun.

Aku meninggalkan pesan di dinding Facebook-nya. Tiga jam kemudian dia baru jawab. Dia baru datang dari luar kota untuk beribadah. “Kembali tak bisa lewat kota,” terangnya, “harus muter lewat jurang kiri-kanan.”

“kita udah cape pindah2 terus, liat api dan segalanya kita udah trauma, tadi aja teman2 wartwan di ambon meliput dengan air mata, cukuplah .... jangan lagi .. liat tadi itu kita trauma banget, soalnya mereka lempar2, tapi sebut nama Tuhan, bakar2 sebut nama Tuhan, seakan ada pilihan, agama lagi, ya ada apa2 kan nanti polisi sementara proses, bukan habis itu lalu bikin kaco, kasian, ada anak2 kecil yang pontang panting ... gila benar ni orang2.” Kurasa bukan cuma Joan yang merasakan ini. Kita pun muak sudah nama tuhan menjadi komoditas.

Harapan untuk mendapatkan titik terang sepertinya akan membuat kita menunggu. Menggantungkan harapan pada pemerintah untuk memberi kejelasan sepertinya akan membuat kita lebih lama lagi menunggu. Sampai semalam, Walikota tak tahu tentang korban meskipun ia sedang berada di sana. "Nanti, nanti," jawabnya pada sebuah wawancara yang disiarkan dari Masjid Al-Fatah, "kami belum tahu." Untuk membentuk puzzle yang berserak ini, tak ada salahnya kita mengikuti sekumpulan tweet dari kak @LianGogali dengan tagar #PrayForAmbon:

1. Rusuh Ambon dipicu lambatnya klarifikasi polisi thdp pnyebab kematian tukang ojek shgga menimbulkn ketegangan
2. ketegangn siang saat aksi palang jalan+balaspukul thdp supir angkot,smtra tdk jls tukang ojek mninggal krn tbrak or aniaya
3. aksi saling serang pukul 2.45 saat massa terkumpul+polisi msh lmbat klarifikasi kej.Korban 25 org luka2,di RS.bbrpa kritis
4. AktivisAmbon:ada pyebaran isu yg myesatkan&timbulkn ketegangan antar komunitas&lambatx aparat/pembiaran mjd pemicu kerusuhn
5. dalam kondisi ini #SalingMelindungi antar komunitas yg berbeda agama ttp ditunjukkan warga Ambon
6. Di AmbonPlaza,yg mayoritas warga Muslim #Melindungi warga Kristen,di RS Umum Haulusi yg may.Kristen #Melindungi warga Muslim
7. Tukangojek yg mninggal ad/ krn tabrakan bkn krn dibunuh.rumor bredar krn dibunuh shgg tmbl ketegangn antranakmuda beda agama
8. klarifikasi satu anak muslim yg dikbrkan mninggal bukan krn dibunuh tp krn sakit-berita resmi POLDA Ambon

Tiga tahun yang lalu, pada satu malam yang basah, saya berbincang dengan Abidin Wakano di lobi penginapan yang saya tempati selama di Ambon. Antropolog yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Antar-Iman Maluku tersebut, mengatakan, “Di bumi ini ada dua hal yang paling sensitif: pertama, agama, kedua, etnis. Kalau tidak diberi label agama, konflik tidak akan kuat.”

Aku tidak tahu Direktur Eksekutif Lembaga Antar-Iman sekarang dijabat oleh siapa. Namun, Kak Lian mengakhiri rangkaian tweetnya dengan mengutip pernyataan dari Lembaga Antar-Iman Maluku:

Kalo dolo katong nekad mati u perang, skrg katong hrs nekad mati u damai dan aman. (Jgn lagi Maluku dihancurkan. Kepalkan tangan, berjuang bersama, dan bilang TIDAK pada konflik.)

#PrayForAmbon

*Penulis adalah Mahasiswi Pasca Sarjana Universitas Paramadina Jurusan Komunikasi Politik. Saat ini sedang melakukan penelitian soal konflik di Ambon.
-----------------------
Foto: Candra Irawan/Bingkai Merah. "Dua perempuan Muslim dan Kristen berdampingan mengikuti acara Seribu Lilin untuk Keberagaman di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta (16/9/2010)."

Komentar :

ada 0 komentar ke “Doa untuk Ambon”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id