6 September 2009

Perempuan Miskin Kota di Hadapan Neoliberalisme

Oleh Heru Suprapto*

Perempuan di hadapan kota metropolitan, seperti Jakarta telah menjadi subjek yang diobjekkan dalam suatu mekanisme pasar sebagai penyokong “kota modern” yang disebut neoliberalisme.

Pada mekanisme pasar neoliberal, segala hal disandingkan dalam “etalase toko” atau posisi “menjual” untuk menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Syaratnya negara harus melepas tanggung jawab terhadap proteksi dan subsidi rakyat untuk diserahkan pada mekanisme pasar yang penuh dengan persaingan dan eksploitasi. Sekaligus mengabaikan perlindungan hak-hak ekonomi, sosial, dan politik.

Perempuan dalam situasi itu ditempatkan sebagai komoditas, properti reproduksi sosial, sekaligus sebagai konsumen prospektif karena subordinasi yang menjadi justifikasi dari kultus partiarki. Begitu pun yang terjadi pada perempuan miskin.

Perempuan miskin merupakan entitas yang paling merasakan dampak buruk dari agenda-agenda neoliberalisme. Mereka berada di posisi subordinat dalam kultur partiarki, lemah secara ekonomi, dan secara sosial mengalami alienisasi dan deskreditasi sosial berdasarkan kelas ekonomi dan struktur politik di hadapan kelompok masyarakat yang memiliki basis ketahanan ekonomi dan kekuasaan politik relatif kuat.

Krisis ekonomi di Indonesia yang termomentum pada tahun 1960-an, 1997, dan kini pasca kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) membuat perempuan miskin yang paling merasakan beban berat dalam mempertahankan dan mengelola ekonomi keluarga sebagai unit kelompok terkecil dalam masyarakat.

Persoalannya menjadi kompleks ketika perempuan miskin menjalani hidup di perkotaan di tengah krisis ekonomi. Selain tidak bisa mengandalkan alamnya seperti masyarakat pedesaan untuk pemenuhan pangan, juga labelisasi yang dikenakan pemerintah kepada rakyat miskin kota sebagai entitas yang tidak layak berada di kota neoliberal. Hal itu dapat menimbulkan ekses sosial yang besar. Salah satunya pembatasan ruang sumber pendapatan membuat taraf kesejahteraan keluarga miskin pada level terendah. Selain itu, perempuan miskin dibebani tugas manajerial keluarga.

Karakteristik dan Persoalan Multidimensional Perempuan Miskin Kota
Perempuan miskin kota sebagai unit kelompok dari rakyat miskin kota di Jakarta sebagian besar merupakan kaum urban. Mereka berasal dari wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, seperti Indramayu, Purwokerto, Tegal, Cirebon, Madura, Purwakarta, Ciamis, Sukabumi, Surabaya, Pamekasan, Sampang, Sumenep, dll. Selebihnya dari pulau Sumatera, antara lain Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, serta penduduk asli Betawi yang sebagian keturunan Tiongkok.

Mereka datang ke Jakarta untuk memperbaiki taraf perekonomian keluarga karena keterdesakkan ekonomi di daerah kelahirannya. Mereka memilih Jakarta karena imingan dari pihak luar, baik itu dari media massa dengan bermacam programnya, mau pun dari para tetangga atau sanak keluarga yang pulang ke tempat kelahirannya mencitrakan kemegahan dan kemakmuran Jakarta sebagai pusat perputaran uang.

Beberapa di antara mereka sudah datang ke Jakarta sejak tahun 1960-an ketika Jakarta mulai giat membangun berbagai infrastruktur, sementara proses pembangunan di daerah-daerah stagnan. Sejak itu, Jakarta menjadi magnet urbanisasi.

Maraknya urbanisasi dari berbagai daerah membentuk pola kampung-kampung yang mereka bangun berdasarkan suku atau lingkaran kerabatnya. Misalnya, Kampung Velbak (sebelum digusur) dan Kampung Depang, Rawasari, Jakarta Timur, terdiri dari orang-orang Indramayu. Kampung Kalijodo, Jakarta Utara, terdiri dari orang-orang Makasar dan sebagian kecil Jawa.

Model pembangunan kampung itu sebagai upaya mereka menjaga ruang koeksistensi berdasarkan kolektivitas budaya dari daerah asal dipindahkan ke daerah perantauan. Sehingga, warganya masih teguh bersikap dan berperilaku berdasarkan identitas budaya beserta produk-produknya meskipun sudah tinggal di kota.

Pengelompokkan wilayah berdasarkan suku membentuk pola kehidupan sosialnya sektarian, sehingga kadang meruncing konflik yang ada menjadi konflik massa antar kampung-antar suku. Belum lagi, dikotomi begitu kuat antara penduduk asli dengan pendatang. Kondisi ini membuat masyarakat itu sulit terorganisir sehingga kesadaran politis kurang.

Di tempat lain, telah terjadi pembauran suku-suku disebabkan lahan yang ada semakin terbatas. lahan terbatas karena gencarnya pembangunan infrastruktur, seperti mal, perumahan, pusat perkantoran, niaga, dll, yang sering kali menggusur pemukiman yang ada. Kampung-kampung yang warganya beragam suku, antara lain terdapat di Kampung Pedongkelan dan Pengarengan, Jakarta Timur, Kampung Gili Sampeng dan Kampung Pejagalan, Jakarta Barat, Kampung Penjaringan, Jakarta Utara, dll. Pembauran ini membuat sekat-sekat produk budaya seperti tradisi tergantikan dengan identitas budaya baru membentuk sikap dan perilaku mereka lebih liberal dan individualistik.

Perempuan miskin yang tinggal di sana datang ke Jakarta tidak dengan bekal keterampilan dan pendidikan yang mencukupi. Termasuk modal untuk membuka usaha. Ditambah perspektif keluarga yang bias jender berasal dari budayanya. Sehingga, banyak dari perempuan-perempuan miskin ini bekerja hanya mengandalkan tenaga dan tubuh mereka. Sebagian diantara mereka dilacurkan.

Persoalan-persoalan perempuan miskin yang hidup di kota berhadapan dengan persoalan-persoalan perkotaan yang terjahit dari benang-benang ekonomi, politik, sosial, dan budaya menjadi persoalan yang multidimensional. Persoalan multidimensional perempuan miskin kota mengimplikasikan karakteristiknya. Penulis membaginya dalam dua persoalan besar, yaitu:

1. Persoalan Sosial dan Budaya: Partiarkhi
Persoalan besar dalam tatanan sosial dan budaya yang dihadapi perempuan-perempuan miskin adalah pembatasan aktualisasi diri dalam pengambilan keputusan keluarga, peran, dan partisipasi di wilayah publik.

Pada kampung-kampung yang didominasi atas satu suku, seperti Kampung Depang yang terdiri dari orang-orang Indramayu dan Kampung Kalijodo yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Makasar, legitimasi budaya (diperkuat oleh legitimasi agama) yang bias jender, yang menyubordinasi perempuan, begitu kental mewarnai pola kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.

Ambil contoh, orang-orang Indramayu, terlebih yang kurang berpendidikan, memandang istri sebagai sosok penting dan sentral dalam menjaga perkembangan dan pertumbuhan anak dan keharmonisan keluarga. Peran itu dipelihara oleh mitos-mitos budaya mereka yang sudah dijalankan secara turun-temurun dari para leluhurnya dan di hadapan agama. Sehingga, para suami menyerahkan semua urusan domestik kepada istrinya.

Para istri setiap hari dikondisikan berkutat mengurusi persoalan domestik dan menjadi tanggung jawab istri ketika salah satu kebutuhan keluarga tidak terpenuhi atau ketika urusan pengasuhan anak tidak berjalan dengan baik. Perilaku anak yang dianggap “nakal”, sakit, mendapat nilai jelek di sekolah, atau bolos sekolah merupakan representasi pengasuhan yang salah dari istri.

Di atas terlihat gambaran keluarga merupakan gambaran baik buruknya pengelolaan rumah tangga yang diasuh perempuan ibu rumah tangga. Secara tidak langsung juga menjadi gambaran masyarakat. Kelangsungan reproduksi sosial, termasuk reproduksi nilai, berada di tangan para perempuan secara strategis, namun sialnya masih dikukung kuat oleh sistem dan kultur partiarkhi yang jelas sangat merugikan para perempuan itu sendiri sampai lintas generasi.

Begitu pun di kampung-kampung yang terdiri dari berbagai macam suku. Meskipun di beberapa kampung yang identitas budaya tempat asal mereka telah tereduksi (deindividuasi) oleh pertemuan berbagai indentitas etnik menjadi identitas sosial, yakni “kaum miskin senasib”, sehingga menghasilkan sikap dan perilaku yang lebih liberal dan individualistik, bukan berarti nilai-nilai partiarkhi di sana tidak kental. Beratnya beban mengurus wilayah domestik (mengurus suami, anak, menyediakan segala kebutuhan keluarga), mengelola keuangan keluarga (menjaga ketahanan ekonomi keluarga), dan sekaligus mencari tambahan keuangan merupakan indikator-indikator kuat dari subordinasi perempuan miskin kota di kultur partiarki.

Salah satu catatan penting yang secara tersirat penulis dapat dari kondisi psikologis para perempuan (miskin) baik yang menjadi ibu rumah tangga mau pun yang belum menikah adalah sikap dan perilaku penolakan atas kultur yang menindas mereka baik berupa gerak tubuh (minimal mimik muka) maupun verbalisasi. Gejala-gejala psikologis ini diperlihatkan ketika mereka disuruh untuk melakukan perintah suaminya yang kalau dihitung hampir setiap puluhan menit sekali.

Penulis seringkali dibagi berbagai keluhan atas ketertindasan mereka. Mulai dari kekerasan yang dialami di dalam keluarga maupun di depan keluarga lain sampai pada beban kelola ekonomi keluarga. Namun, mereka dihadapkan pada beban sosial-budaya (partiarkhi) yang melekat menjadi identitas (stereotipik) keperempuannya. Sehingga, rasa ketidakadilan itu diterimanya pasrah.

Budaya, termasuk agama di dalamnya, mengonstruksi subordinasi perempuan dan mereproduksinya dalam wilayah domestik membuat internalisasi budaya yang semakin dianggap sebagai identitas kodrati, identitas yang dianggap tidak bisa lagi dibantah karena tercipta. Identitas keperempuan inilah yang mau tidak mau diturunkan juga ke anak-anaknya. Seperti, anak perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi, tidak perlu berorganisasi, karena toh nantinya hanya mengurusi keluarga.

Paradigma itu diterapkan pada anak-anak perempuan yang sering dibebani mengurus anggota keluarga yang lain, seperti menyiapkan makanan untuk ayahnya, mengurus adiknya, membersihkan rumah, dan membantu mencari uang untuk tambahan pendapatan keluarga.

Banyak para perempuan yang beranjak dewasa, berusia 20-an tahun, diminta untuk menikah. Permintaan ini menunjukkan orientasi domestikasi perempuan. Selain itu, anak-anak perempuan yang bekerja di jalan sering kali mengalami pelecehan seksual, bahkan diantara mereka dilacurkan atau terpaksa melacurkan diri.

Berkaitan dengan organisasi, perempuan miskin merupakan jantung dari pengorganisiran rakyat miskin kota. Setiap pertemuan dan agenda-agenda organisasi selalu dihadiri oleh para perempuan ibu rumah tangga dalam jumlah besar, mendominasi komposisi peserta pertemuan.

Di awal pengorganisiran, perempuan miskin sering mematron kulturnya. Mereka harus terlebih dahulu mendapat ijin dari suaminya. Atau seringkali keinginannya mengorganisir diri dengan perempuan lain dibenturkan sendiri dengan identitas “kodrat” keperempuannya: "bukan kodratnya perempuan melawan".

Selain itu, pengorganisiran perempuan miskin mendapat tantangan besar dari para lelaki, khususnya suami dengan merasionalisasi bahwa organisasi tidak menghasilkan keuntungan bagi ekonomi keluarga. Para istri itu mendapat labelisasi sebagai istri pembangkang saat aktualisasi peran dan partisipasinya tampak di arena publik, sementara urusan domestik terbelengkalai.

Kentalnya budaya partiarkhi juga begitu nampak saat pengambilan keputusan organisasi dimana keputusan yang dilemparkan kepada para perempuan diserahkan pada peserta lelaki atau organiser lelaki. Begitu pun, organiser perempuan di awal pengorganisiran sering mendapat ketidakpercayaan kapasitas dalam mengorganisir perempuan miskin kota.

Beberapa deskripsi di atas menunjukkan pembagian peran atau kerja perempuan hanya berada di wilayah domestik. Namun, posisi domestik yang hanya mengurus keluarga dan mengelola keuangan keluarga dari hasil suami bekerja, bergeser atau tugasnya bertambah ke arah ruang publik ketika ditempa krisis ekonomi. Pergeseran atau penambahan tugas itu tidak lebih dari dorongan untuk menyelamatkan manajerial domestik, dimana kebutuhan ekonomi keluarga terancam dan beban pemenuhan kebutuhan di dalam keluarga dibebankan kepada istri, bukan atas kesadaran mengaktualisasikan dirinya di wilayah publik.

Namun, nilai produksi masih didominasi laki-laki (bernilai kepala keluarga, penyokong utama ekonomi keluarga) dan aset keluarga masih dikuasai dan akhirnya menjadi milik laki-laki, konsekuensinya laki-laki mendominasi relasi dan struktur sosial, sedangkan perempuan direduksi menjadi properti laki-laki (tenaga kerja tambahan/cadangan) yang dapat menambah jumlah pendapatan keluarga. Sementara itu, pengasuhan anak dan kebutuhan keluarga juga harus terpelihara dengan baik.

Di beberapa tempat, bisa kita lihat ibu-ibu yang bekerja di jalan ditemani oleh anak-anaknya. Ibu-ibu ini bekerja sambil mengawasi dan mendampingi anak-anaknya. Di antara mereka yang bekerja, para perempuan miskin itu menjadi penyokong utama pendapatan ekonomi keluarga. Sementara, beberapa suami aktivitasnya hanya kumpul dengan teman-temannya sambil mabuk-mabukan.

Meski di beberapa tempat justru perempuan-perempuan miskin itu penyokong utama ekonomi keluarga dan mengeyam pendidikan sekali pun, bukan berarti kemudian ordinasi kelas dalam struktur keluarga dan sosial beranjak naik. Tetap saja, perempuan-perempuan miskin disubordinasi ke wilayah domestik.

Pemaparan persoalan sosial dan budaya di atas mengantarkan pada persoalan kedua, yakni persoalan ekonomi dan politik.

2. Persoalan Ekonomi dan Politik: Kapitalisme dan Neoliberalisme
Krisis ekonomi belakangan ini, terakhir kenaikan harga BBM di tengah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, membuat perempuan miskin dipaksa keluar dari wilayah domestik (rumah) ke wilayah publik (ruang produksi) lebih dikarenakan beban manajerial ekonomi keluarga. Perempuan miskin harus bekerja keras menyesuaikan kebutuhan keluarga dengan pendapatan yang diterimanya. Pendapatan yang dihasilkan dari pekerjaan suami tidak pernah mencukupi kebutuhan keluarga yang semakin meningkat.

Risiko tidak siapnya penyesuaian dari kondisi krisis ekonomi itu begitu besar. Beberapa keluarga miskin memiliki anggota keluarga yang banyak. Satu pasangan suami-istri bisa memiliki enam sampai sepuluh anak yang rata-rata berusia belia. Kebutuhan makanan bergizi untuk anak-anaknya akan menghabiskan biaya yang besar. Penghasilan rata-rata Rp50.000 per hari belum cukup untuk menghidupi keluarga besar. Artinya, krisis itu mengundang risiko kekurangan gizi pada anak-anaknya. Selain itu, ada beberapa keluarga yang sebelumnya menyekolahkan anak-anak mereka. Krisis ekonomi membuat anak-anak dari keluarga miskin putus sekolah. Bahkan, ada yang belum sempat menduduki bangku sekolah.

Kondisi itu membuat perempuan miskin ibu rumah tangga memutar otak agar kebutuhan keluarga terpenuhi dan manajerial domestik tetap mendapat nilai bagus di mata suami, di hadapan kultus partiarkhi. Seringkali suami tidak mau mengerti urusan domestik yang memerlukan biaya besar.

Sejalan dengan itu, penulis menemukan fakta yang sama di beberapa keluarga miskin kota bahwa kebutuhan rokok suami merupakan kebutuhan yang mengeluarkan biaya tertinggi kedua setelah kebutuhan pangan, di luar dari kebutuhan susu anaknya.

Penulis juga menemukan fakta di beberapa kampung (penulis keberatan menyebutkan nama kampung) bahwa sebagian keluarga miskin menganggap pelacuran sebagai pilihan yang terpaksa dipilih untuk menyelamatkan ekonomi keluarga karena ketiadaan modal untuk usaha dan begitu terdesaknya kebutuhan keluarga. Istri dan anak perempuan terpaksa oleh kondisi atau dipaksa oleh suami atau ayah untuk melacurkan diri. Sementara, ada suaminya yang hanya mabuk-mabukan bersama teman-temannya.

Keterdesakkan kebutuhan keluarga memunculkan berbagai upaya untuk menyelamatkan ekonomi keluarga. Sebagian besar dilakukan giat oleh perempuan. Yang paling cepat adalah dengan mengutang kepada tetangga atau sanak saudara. Upaya ini hanya bertahan sebentar karena beban utang yang semakin menumpuk semakin membebani ekonomi keluarga. Beberapa di antara mereka yang memiliki modal atau berhasil meminjam modal dari sanak keluarga, tetangga, atau renternir membuka usaha dengan mendirikan warung di rumahnya.

Selain itu, mereka menjual aset keluarga, berjualan di jalan menjadi pedagang kaki lima, menjadi buruh cuci dan pabrik, menjadi pelayan rumah makan, menjadi kondektur bis, memungut barang-barang bekas (ada yang mulai dari jam sembilan malam hingga jam dua pagi), mengelap kaca mobil di perempatan, mengamen, dan beberapa di antaranya mengemis.

Perjuangan yang berat itu tidak pernah dinilai sebagai kontribusi yang bernilai ekonomis dan politis dalam struktur sosial karena perempuan miskin secara ekonomi dan sosial berada pada kelas dua.

Penambahan beban kerja dari wilayah domestik (reproduksi sosial) ditambah wilayah produksi terjadi berdasarkan gagasan-gagasan jender dalam masyarakat dan hubungan-hubungan sosial dalam kerja tersebut. Hubungan itu harus dilihat dalam konteks ekonomi keluarga karena keluarga dipandang mempunyai peran penting dalam produksi. Sehingga, sekali pun perempuan menjadi penyokong ekonomi keluarga tidak memengaruhi ordinasi berdasarkan jender.

Di hadapan kota, di hadapan tatanan sendi-sendi kehidupan yang dijejali produk-produk neoliberal, penyesuaian perempuan miskin menghadapi situasi krisis ekonomi begitu complicated. Muncul persoalan-persoalan di kemudian waktu saat berhadapan dengan digdaya neoliberalisme yang mendikte pemerintah kota untuk menyulap kota yang berkosmetik dengan tatanan masyarakatnya yang kapitalistik. Kebijakan ekonomi neoliberal atau pasar bebas yang diadopsi negara menjadikan Jakarta sebagai percontohan “kota modern” bagi kota-kota lainnya.

Kebijakan ekonomi neoliberal selalu memandang kemiskinan (bagian dari persoalan perekonomian) sebagai masalah yang merugikan ketika negara diminta tanggung jawab besar untuk menyelesaikannya. Campur tangan negara untuk menyelesaikan masalah perekonomian dengan memberikan subsidi dan proteksi bagi rakyat miskin bertentangan dengan prinsip ekonomi liberal.

Subsidi adalah racun bagi rakyat dan membuat rakyat malas bekerja dan berhenti membeli dalam mekanisme pasar. Hal itu yang mendasari berbagai krisis ekonomi dirasa begitu berat dihadapi oleh rakyat terutama yang miskin karena jaminan sosial tidak lagi dijamin oleh negara saat krisis ekonomi dan pangan mengancam. Krisis paling menghantam perempuan miskin kota.

Sementara itu, pasar dan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal merancang sedemikian rupa melalui media-media dan kebijakan-kebijakan agar rakyat tetap konsumtif. Muncullah gaya hidup urban, hedon, dan konsumtif. Gaya hidup itu juga memaksa perempuan-perempuan miskin yang belum menikah, khususnya remaja, menggunakannya. Beberapa anak perempuan yang bekerja di jalan yang menjadi dampingan penulis berpenampilan layaknya kaum muda urban, kontras dengan kondisi keluarganya yang miskin. Pendapatan mereka separuhnya untuk membiayai penampilannya itu.

Begitu pun dengan konsep Jaring Pengaman Sosial berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada rakyat miskin. Pemerintah mengatakan bahwa BLT merupakan bentuk subsidi atas kenaikan harga BBM, namun sesungguhnya merupakan modal pancingan kepada rakyat miskin untuk menjaga ritme konsumtifnya. Uang Rp300.000 per tiga bulan tidak menjawab persoalan ekonomi keluarga-keluarga miskin yang hanya berpenghasilan antara Rp25.000 – Rp70.000 setiap harinya, bahkan kadang hanya mendapatkan Rp5.000 sehari.

Sementara itu, inflasi dari kenaikan harga BBM membuat harga-harga kebutuhan pokok, transportasi, dan listrik naik. BLT tidak memberikan solusi bagi ketertindasan perempuan miskin berkaitan dengan struktur sosial dan ekonomi. Melihat kondisi itu, kapitalisme mengambil keuntungan besar dari partiarkhi dimana perempuan diposisikan sebagai pengelola keuangan sekaligus konsumen.

Di sisi lain, keseharian perempuan miskin disibukkan mengelola wilayah domestik sekaligus menjadi penyokong ekonomi keluarga membuat kesadaran politisnya rendah. Pengorganisiran perempuan miskin kota sulit sekali dilakukan jika langsung memasang target kesadaran politis. Pintu masuk yang paling realistis dapat dicapai adalah menumbuhkan kesadaran ekonomi.

Persoalan politik yang sering dialami salah satunya adalah proses pengambilan keputusan atas rencana penggusuran tempat tinggal mereka. Tiadanya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan membuat posisi tawar mereka rendah. Sehingga, resolusi atas persoalan itu tidak ada selain menguntungkan Ketua RT/RW, Kelurahan, Kecamatan, dan korporasi yang akan menempati lahan setempat. Misalnya yang lain, beberapa kebijakan yang menguntungkan rakyat miskin dan bersinggungan langsung dengan perempuan miskin kota tidak diketahuinya. Tidak heran seringkali terjadi penyelewengan atas pembagian beras raskin, subsidi minyak tanah, konversi minyak tanah ke gas, dll. Tidak jauh-jauh, persoalan politis di wilayah domestik saja, seperti pengambilan keputusan tidak dimiliki oleh perempuan miskin, namun masih didominasi oleh laki-laki.

Kedua persoalan di atas, partiarki dan kapitalisme, menyubordinasi perempuan miskin kota di hadapan struktur sosial-budaya maupun ekonomi-politik sebagai fakta adanya kelas dalam tatanan masyarakat. Basis persoalan di atas berasal dari institusi keluarga dimana perempuan (istri) merupakan properti dalam kepemilikan pribadi laki-laki (suami) kerena ditempatkan ke dalam wilayah reproduksi sosial (melahirkan dan mengurus anak). Untuk meningkatkan pendapatan keluarga, terlebih karena krisis ekonomi, perempuan miskin yang menjadi properti itu diupayakan menjadi tenaga kerja tambahan untuk menambah pendapatan keluarga. Namun, meskipun perempuan miskin sudah menjadi penyokong ekonomi keluarga dengan bekerja, tetap saja dia harus mengurusi persoalan domestik dan patuh terhadap suami.

Basis Ekonomi Perempuan Miskin Kota: Sektor Informal
Rendahnya pendidikan formal dan pengetahuan perempuan miskin kota menyulitkan mereka bekerja di sektor formal. Kredit yang didapat dari jaringan sosial tidak cukup menjadi salah satu strategi untuk bertahan dari tekanan hidup. Sektor informal menjadi ruang produksi yang paling menguntungkan di tengah akses pekerjaan yang begitu sulit. Sektor itu mampu mengatasi krisis ekonomi keluarga yang berdampak langsung ke jantung peran utamanya di wilayah domestik berdasarkan budaya partiarkhi.

Selain itu, ternyata sektor informal (pedagang kaki lima-PKL) merupakan salah satu penunjang perekonomian daerah dan berhasil mengurangi jumlah pengangguran. Menurut data yang dikeluarkan oleh Institute for Ecosoc Rights (2007), perputaran modal PKL sepanjang tahun 2006 mencapai Rp11,75 triliun, lebih besar dari APBD DKI Jakarta tahun 2006 sebesar Rp17,97 triliun.

Melihat potensi dan kontribusi sektor informal dalam menunjang perekonomian keluarga dan pemerintahan daerah yang sebagian besar pelaku usahanya perempuan miskin ini, seharusnya perempuan miskin tidak lagi dilihat sebagai tenaga kerja tambahan yang tidak memiliki nilai produksi dan kontribusi sosial bagi perekonomian keluarga dan beban pengembangan kota, tetapi juga memiliki potensi nilai ekonomis dan berkontribusi nyata pada keluarga dan pengembangan kota, baik secara ekonomi maupun sosial sebagai bagian dari bentuk aktualisasi dirinya.

Terbentur Kebijakan Neoliberal
Upaya perempuan miskin bekerja di sektor informal tidak semudah dikerjakan di tengah kota yang membuka keran sebesar-besarnya bagi perdagangan bebas. Berbagai regulasi kota memiliki substansi membatasi ruang gerak kehidupan dan penghidupan ekonomis melalui cara-cara kreatif dan sektor informal. Regulasi-regulasi itu menguntungkan para investor dan birokrat pemerintahan, namun merugikan rakyat miskin yang sesungguhnya juga punya hak atas kota.

Regulasi-regulasi yang dibuat oleh pemerintahan kota dan disahkan oleh DPRD di wilayah DKI Jakarta, antara lain:
1. Perda No.5 Tahun 1978 tentang Pengaturan Tempat dan Usaha serta Pembinaan PKL di DKI Jakarta, yang ditetapkan pada pemerintahan Tjokropranolo, mengatur hak dan kewajiban para PKL dan pemerintah. Perda itu melarang dan menetapkan lokasi-lokasi PKL berdagang.

Realisasi perda itu tidak nampak pada Rencana Detail Ruang Kota pada setiap kecamatan. Penetapan lokasi-lokasi berdagang bagi PKL tidak pernah jelas dan pasti. Sementara itu, penggusuran para PKL tetap marak dilakukan. Basis ekonomi perempuan miskin kota begitu terancam.

2. Perda No.4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Provinsi DKI Jakarta atau biasa disebut Operasi Yustisi. Ditetapkan pada pemerintahan Sutiyoso, memidanakan warga yang tinggal dan bekerja di Jakarta tanpa ada Kartu Tanda Penduduk DKI Jakarta. Kebijakan itu membatasi hak dasar manusia sebagai upaya meningkatkan taraf kehidupan mereka yang dijamin oleh amandemen UUD.

3.Perda No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum DKI Jakarta. Ditetapkan pada pemerintahan Sutiyoso. Berisi membatasi dan menggusur ruang hidup bersama (koeksistensi) rakyat miskin yang ada di kota, beserta pekerjaan-pekerjaan informal yang sering membutuhkan kreativitas tinggi sebagai perlawanan arus besar perdagangan bebas. Perda itu memidanakan rakyat miskin jika melanggar. Secara tidak langsung, perda itu terkesan mengusir rakyat miskin dari kota.

Berbagai kebijakan di atas memperlihatkan, pertama, rakyat miskin, termasuk perempuan miskin, tidak dilibatkan secara partisipatif dalam pembahasan peraturan daerah, terlebih peraturan itu bersinggungan langsung kepada dirinya dan keluarganya.

Kedua, telah terjadi deregulasi yang menguntungkan agenda-agenda neoliberalisme sampai tidak mengindahkan peraturan perundang-undangan yang di atasnya.

Dan ketiga, kebijakan-kebijakan di atas menunjukkan tidak transparan dan akuntabelnya pemerintahan kota.

Selain itu, anggaran daerah kurang diperuntukkan bagi program-program pemberdayaan ekonomi untuk mengentaskan kemiskinan. Hal itu menunjukkan pemerintah kota tidak berpihak kepada rakyat miskin tetapi kepada pemodal.

Ketidakberpihakan itu ditunjukkan pada data tahun 2000-2005 dimana telah terjadi penggusuran pemukiman miskin besar-besaran yang dilakukan Pemrov DKI Jakarta beserta petugas-petugasnya yang militeristik. Pada periode tersebut, sedikitnya 78.000 tempat tinggal rakyat miskin dan sedikitnya 65.000 pedagang kaki lima digusur (Institute for Ecosoc Rights, 2007). Jumlah pedagang yang digusur meningkat dari 8.760 pedagang pada 2002 menjadi 11.227 pedagang pada 2006. Hingga menjelang akhir tahun 2008 pola-pola penggusuran paksa masih marak terjadi. Konflik penggusuran ini sudah terjadi sejak tahun 1980-an dimana di masa itu deregulasi tentang penguasaan lahan-lahan di Jakarta digunakan oleh swasta.

Kebijakan-kebijakan yang tidak mengikutsertakan partisipasi masyarakatnya, regulasi-regulasi yang tidak berpihak kepada rakyat miskin, dan good governance yang buruk mengimplikasikan rendahnya kualitas kesehatan (termasuk kelangsungan hidup ibu hamil), rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan yang dikuasai untuk bekerja di sektor formal, rendahnya penghasilan untuk biaya pendidikan, pengobatan, dan pangan, dan tertutupnya akses kesempatan untuk bekerja pada perempuan miskin sehingga begitu membebani posisi subordinatnya.

Upaya-upaya Perlawanan Lokal
Sesungguhnya perlawanan perempuan miskin kota dimulai dari perlawanan terhadap keterbatasan ekonomi untuk pemenuhan keluarga. Sehingga, mereka harus bekerja meski pun pada akhirnya masih dinilai sebagai tenaga kerja cadangan dan properti laki-laki. Para perempuan miskin itu mengatakan kalau tidak bekerja mendapatkan tambahan uang, maka anak-anaknya tidak akan sekolah, jumlah gizi dan variasi makanan anak-anak akan berkurang, dan suami akan marah. Berarti di sini wilayah reproduksi sosialnya terganggu.

Fakta di atas menunjukkan bahwa perlawanan lokal perempuan miskin kota dimulai dari kebutuhan ekonomi. Di beberapa kampung, seringkali persoalan ekonomi menjadi pintu masuk bagi proses pengorganisiran. Pembagian BLT pada tahun 2005 yang ricuh dan terjadi banyak penyelewengan menjadi pintu masuk pengorganisiran di beberapa kampung. Selain itu, penggusuran PKL dan pemukiman miskin dan penangkapan rakyat miskin saat bekerja di jalan termasuk pendampingan anak-anak yang bekerja di jalan juga mengantarkan para organiser pada pengorganisiran yang berlanjut.

Reaksi spontan yang paling besar dan vokal justru berasal dari para perempuan ketika para organiser memulai pengorganisiran. Reaksi itu mengungkap harapan untuk perubahan mereka selama ini. Reaksi yang merepresentasikan perlawanan-perlawanan spontan tanpa terorganisir yang sebelumnya dilakukan oleh para perempuan saat terjadi penyelewengan produk-produk subsidi, seperti BLT, minyak tanah, beras raskin, konversi minyak tanah ke gas, dll, yang dilakukan oleh pejabat struktur lokal (RT dan RW).

Begitu pun, saat terjadi penggusuran tempat tinggal dan properti dagang mereka. Perempuan-perempuan miskin dengan spontan menghadang Satpol PP saat dagangannya digusur di Tanah Abang, Senen, Cawang, dll; termasuk penggurusan tempat tinggal seperti di Rawasari, beberapa bulan yang lalu, yang digusur dan dibakar paksa. Spontanitas perlawanan mereka terjadi karena mempertahankan basis produksi, distribusi, dan reproduksi sosial yang terancam oleh kebijakan-kebijakan neoliberal.

Pada proses pengorganisiran rakyat miskin kota, perempuan merupakan kelompok yang paling aktif berorganisasi dan selalu mendominasi setiap pertemuan-pertemuan yang diadakan organisasi, termasuk yang mudah dimobilisasi untuk aksi protes massa. Proses pengorganisiran selalu diawali oleh penyikapan organiser atas sesuatu permasalahan yang terjadi di lingkungan tersebut (entry point). Dilanjutkan dengan diskusi-diskusi informal. Yang paling strategis adalah tempat-tempat kumpul ibu-ibu atau di warung-warung yang dijaga oleh ibu. Di mulai dari sana, isu-isu lokal dan sederhana dibahas. Tentang utang dari seorang ibu kepada warung yang sedang jadi tempat kumpul ibu-ibu bisa menjadi bahasan menarik. Atau tentang modal usaha dan harga-harga barang di warung tersebut. Intinya memang yang menjadi bahan “gosip” adalah persoalan domestik. Selebihnya menggosipkan keretakan hubungan Dhani Ahmad dengan Maiya Estianti. Atau kejadian-kejadian di kampung tersebut. Atau juga gosip tetangga.

Beberapa perempuan-perempuan di kampung memiliki waktu senggang untuk berkumpul bersama, yakni sore hari. Pagi harinya biasanya dihabiskan untuk bekerja. Malam harinya untuk mengurusi wilayah domestik, termasuk melayani suami setelah kerja. Sore hari inilah waktu yang tepat untuk berkumpul sesama tetangga. Ada metode lain yang dapat mengumpulkan mereka, yakni arisan.

Di ruang dan waktu kumpul itu, dimulai diskusi ringan tentang isu lokal dan domestik. Karena suasananya informal, maka banyak di antara mereka yang antusias menceritakan persoalan-persoalan domestik dan ekonomi dan keluhan-keluhan seputar persoalan-persoalan itu. Selanjutnya, diupayakan bahwa pertemuan informal menjadi rutin dan membesar dalam hal kuantitas peserta diskusi. Dalam waktu yang cukup lama, dibentuklah kepanitiaan forum diskusi dan mekanismenya. Pertemuan itu awal dari terbentuknya organisasi lokal yang dimotori oleh perempuan.

Dilanjutkan pada diskusi-diskusi yang melibatkan banyak orang, termasuk laki-laki, bersifat tematik. Putar film. Pembentukkan struktur organisasi lokal. Rapat organisasi. Rapat akbar. Dan banyak kegiatan lainnya. Peserta di setiap pertemuan didominasi perempuan, maka pelibatan perempuan dalam pengambil keputusan dan struktur kepanitiaan dan organisasi harus menjadi pertimbangan besar.

Di wilayah domestik, upaya melakukan pendidikan berbasis jender kepada anak-anaknya bisa dilakukan oleh ibu-ibu sebagai bagian dari reproduksi sosial dan nilai untuk membalikkan tatanan partiarkhi kelak. Semisal, urusan domestik tidak hanya urusan anak perempuan tetapi juga anak laki-laki. Posisi strategis reproduksi sosial itu penting untuk didampingi karena bentuk perlawanan paling dekat, yakni di wilayah domestik.

Namun, dalam prosesnya tidak mudah. Pelibatan perempuan dalam organisasi dan aktivitas-aktivitas organisasi mendapat tantangan besar dari keluarga, khususnya suami mereka. Pelarangan suami terhadap para istrinya dalam berorganisasi sering ditemui. Begitu pun labelisasi: pembangkangan dari para istri terhadap suaminya (legitimasi budaya dan agama) dan terbelengkalainya urusan domestik menjadi alasan para suami melarang aktivitas istri berorganisasi.

Larangan-larangan itu semakin larut ketika persoalan-persoalan mendesak, seperti akses pendidikan dan kesehatan dipersulit, pemukiman mereka terancam digusur, atau subsidi yang tidak tepat sasaran terbentang di hadapan mereka. Para laki-laki pun akhirnya mendukung. Pada kasus-kasus seperti itu, perspektif politik sudah mulai diintervensi ke dalam perjuangan atas kebutuhan ekonomi.

Partisipasi dan kontribusi mereka ke dalam aksi-aksi massa menentang kebijakan-kebijakan yang mendeskreditkan rakyat miskin begitu besar. Aksi massa menentang Operasi Yustisi, penggusuran dan penangkapan rakyat miskin sering dilakukan. Termasuk aksi-aksi lokal di kelurahan atau di kecamatan. Atau minimal mendatangi rumah Ketua RT/RW beramai-ramai.

Tantangan terbesar dari perlawanan politis adalah resistensi dari struktur kekuasaan dan kelompok-kelompok sektarian yang memang disewa untuk mengintimidasi dan mereduksi gerakan itu. Semisal, Forum Betawi Rempug menjadi alat pemukul langsung gerakan. Basis mereka bertetangga dengan basis perempuan itu. Banyak suami-suami mereka diintimidasi psikis maupun fisik agar istrinya (karena mereka yang lebih aktif) tidak ikut berorganisasi dan melawan. Atau pada kasus penggusuran, preman-preman yang disewa oleh pihak yang diuntungkan dari penggusuran mendatangi langsung kampung yang akan digusur untuk memprovokasi dan mengintimidasi warga agar pergi dari wilayah tersebut. Begitu pun pihak kepolisian dan Ketua RT/RW menjadi alat mereduksi gerakan.

Persoalannya memang gerakan massa selalu terkendala pada disiplin, soliditas, dan militansi gerakan. Ini yang menjadi persoalan gerakan rakyat miskin kota. Selain, strategi dan taktik yang tepat. Banyak di antara partisipan gerakan terbuai oleh sogokan dari pihak yang dilawan. Sulit jika kesadaran mereka masih berangkat dari kesadaran ekonomi.

Selain itu, persoalan besar lainnya yang dihadapi perempuan miskin kota bersama elemen miskin kota lainnya adalah lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok yang mendukung agenda-agenda neoliberalisme. Contohnya saja, penggusuran paksa disertai dengan pembakaran di Kampung Velbak dan Kampung Rotan Rawasari. Ribuan Satpol PP yang bringas dikerahkan bersama traktor-traktor untuk menggusur paksa. Bahkan, salah satu organiser ditodong pistol oleh pimpinan Satpol PP saat negoisasi berlangsung.

Sesungguhnya pengorganisiran rakyat miskin kota tidak ada tanpa pengorganisiran perempuan-perempuannya karena mereka yang paling dirugikan atas kondisi ekonomi sosialnya. Sehingga, mendorong mereka aktif berorganisasi. Beberapa organiser melupakan itu. Perempuan-perempuan miskin hanya dimobilisasi karena jumlahnya banyak dan mudah dikumpulkan, tetapi tidak dipandang bahwa persoalan neoliberalisme begitu mengenai jantung pertahanan rakyat miskin yang letaknya ada di institusi keluarga. Para perempuan di dalam kultur patriarkhi yang memegang kendali itu.

Oleh karena itu, penghapusan kelas berdasarkan ekonomi kapitalistik harus sejalan dengan penghapusan pembagian kerja berdasarkan peran jenis kelamin yang ada di masyarakat. Konsekuensinya, perempuan harus dilibatkan dalam proses produksi dan hubungan sosial dari ranah publik sampai domestik untuk memecahkan setiap permasalahan masyarakat secara bersama-sama. Upaya itu merupakan bantahan telak sekaligus dekonstruksi dari “kepemilikan produksi dan hubungan sosial” yang dikultuskan oleh kapitalisme dan partiarkhi.


*Penulis aktif di Aliansi Rakyat Miskin.
**Tulisan Panel di Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia dan Tirani Modal 5-7 Agustus 2008, bertempat di Kampus FISIP-UI, Depok.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Perempuan Miskin Kota di Hadapan Neoliberalisme”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id