8 Februari 2009

Junkteve, Dampak Buruk Televisi Saat Ini

Oleh Dyah A.M. *

Pernahkah kita menghitung berapa orang mati dan ''mati'' setiap hari di layar televisi kita? Bisakah kita menghitung berapa banyak peluru dimuntahkan seharian di layar TV kita? Berapa banyak pula korban berdarah-darah yang kucuran darahnya dihidangkan bersamaan saat kita makan siang?

Mungkin kita tidak sempat menghitung atau terlalu ''kurang kerjaan''. Atau kalaupun sempat, mungkin kita tidak bisa menghitungnya karena saking besarnya angka yang akan kita dapat.

Tapi, pernahkah kita berpikir bahwa apa yang disajikan dalam televisi kita itu -yang dikemas dalam bentuk hiburan- benar-benar menghibur? Pernahkah kita berpikir bahwa tayangan yang sering diberi ''tugas'' memberi pendidikan tersebut berdampak tidak mendidik?

Tulisan ini hanya memberikan ilustrasi betapa televisi bisa menjadi sumber malapetaka luar biasa bila kita abaikan. Efeknya bisa dahsyat karena televisi berada sangat dekat dengan kita. Apalagi, tidak ada film kekerasan yang menyebutkan bahwa di dalamnya terkandung ajaran kekerasan. Mereka membungkusnya dengan aksi laga, mega-action, dan seterusnya.

Ajarkan Kekerasan

Survei membuktikan, tayangan TV kita sarat kekerasan. Mulai pagi, siang, malam, hingga pagi lagi, kekerasan itu berderet-deret seperti barisan prajurit TNI apel pagi. Ada hasil riset yang menyebutkan, 9 di antara 10 acara TV mengandung kekerasan!

Survei yang lain menunjukkan bahwa menonton tayangan kekerasan akan meningkatkan perilaku agresif dan prokekerasan. Bukan satu atau dua survei, tapi ribuan riset menyimpulkan: menonton tayangan kekerasan meningkatkan perilaku agresif!

Penahapan dalam ''belajar kekerasan'' itu bisa dijabarkan sebagai berikut. Pertama, berlangsung tahap belajar metode agresi (observational learning). Setelah terbiasa pada hal itu, kemampuan mengendalikan dirinya berkurang (disinhibition) dan akhirnya tidak lagi tersentuh oleh orang yang menjadi korban agresi (desensitization, penumpulan perasaan).

Kekerasan pun menjadi hal yang dianggap biasa karena berlangsung rutin. Menurut guru besar komunikasi Stephen Kline, hanya diperlukan waktu sejam untuk merasakan efek desensitization, penumpulan perasaan.

Sebuah survei menunjukkan, 800 anak usia 8 tahun -yang banyak nonton kekerasan di TV- cenderung lebih agresif ketika mencapai usia 19-30 tahun serta membuat masalah lebih besar -seperti kekerasan dalam rumah tangga atau pelanggaran lalu lintas.

Meski seseorang tidak agresif pada usia 8 tahun, jika menonton kekerasan di TV dalam jumlah cukup banyak, dia akan menjadi lebih agresif pada usia 19 tahun dibanding yang tidak menonton.

Pengaruh kekerasan tersebut bisa mengenai remaja dan anak-anak dari segala usia, kedua jenis kelamin (laki atau perempuan), serta semua tingkat sosioekonomis (miskin atau kaya) dan inteligensia (IQ tinggi, jongkok, atau merayap). Juga, tidak terbatas pada anak yang sudah agresif serta tidak mengenal asal negara.

Lihat saja berbagai berita kriminal -curat (pencurian dengan kekerasan), pembunuhan, pemerkosaan, mutilasi, dan lain-lain. Semakin banyak saja pelakunya adalah ''orang-orang yang sebelumnya dikenal alim''.

Lalu, dengar saja ''pembelaannya' ' yang menyatakan bahwa ia melakukan itu hanya meniru atau mempraktikkan apa yang mereka lihat di tayangan TV, video compact disc atau internet.

Apa Dampaknya?

John Naisbitt bersama koleganya -Nana Naisbitt dan Douglas Phillips- menyebutkan, kita saat ini berada dalam Zona Mabuk Teknologi. Dia mengungkapkan itu dalam buku High Tech High Touch yang diindonesiakan dengan judul Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi.

Naisbitt menyebutkan, dalam situasi mabuk teknologi itulah terjadi kebingungan sikap dalam menghadapi media. Memang, media tidak hanya berdampak negatif. Toh, media bisa disebut sebegai jendela dunia, obor penerang, dan sebagainya. Tapi, di sisi lain ada efek dari isi media. Tidak hanya kekerasan, tapi juga seks, mistis, mimpi-mimpi, dan sebagainya.

Nah, efek kekerasan yang berakibat terhadap penurunan perasaan yang disebut itu akan berdampak sosial. Selain akan menyulitkan kita untuk mengenali bahaya yang sesungguhnya dalam kehidupan nyata, ia juga bisa membahayakan jiwa.

Kita akan kebal terhadap kesakitan yang dirasakan orang lain. Kita tidak peduli akan penderitaan orang lain. Rasa empati tumpul. Kita akan mengidap istilah Sissela Bok sebagai compassion fatigue (keletihan yang tidak sanggup lagi merasa terharu ataupun berbelas kasihan).

Lalu, Apa?

Melawan media. Itulah kunci gerakan yang bisa dibangun. Bukan melawan dengan kekerasan seperti dengan cara menduduki kantornya, membakar gedungnya, atau menganiaya awak medianya. Melawan media harus dilakukan dengan tindakan cerdas. Kita jelas tidak mungkin mengharapkan media (televisi) berbuat sebagaimana yang kita inginkan. Kita tidak mungkin memaksa media menyediakan tayangan seperti yang kita harapkan saja.

Karena tidak mungkin memaksa media menuruti kita, kita sendiri yang harus menentukan sikap. Kita ibaratkan saja TV sebagai makanan, tapi makanan dengan dampak yang merugikan kita. Jika ada junkfood, kita sebut saja junkteve yang sebaiknya tidak kita konsumsi karena buruk bagi kesehatan.

Mulai sekarang ini juga. Jangan ditunda.


Dyah A.M., alumnus FPBS IKIP Semarang, aktivis CermaT (Cerdas Memahami TV) Jogja

Komentar :

ada 0 komentar ke “Junkteve, Dampak Buruk Televisi Saat Ini”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id