Oleh : Fatkhul Khoir
Setengah abad lebih bangsa kita telah memproklamasikan kemerdekaannya. Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah memang benar bangsa kita benar-benar merdeka? Bisa kita lihat dari persoalan yang ada di lapangan bahwa buruh sampai hari ini belum juga merasakan kemerdekaan. Justru yang terjadi hari ini adalah penjajahan terhadap buruh menjadi semakin parah.
Padahal jelas di pembukaan UUD 45 tertulis bahwa kemerdekaan adalah hak setiap warga negara dan penjajahan dan perbudakan di bumi ini harus dihapuskan. Kenyataannya, penjajahan yang terjadi hari ini berbeda dengan penjajahan dahulu. Penjajahan hari ini justru dilakukan oleh bangsa kita sendiri. Tuan berhidung mancung digantikan oleh tuan berhidung pesek.
Disahkannya UU 13 tahun 2003 yang melegalisasi outsorcing dan sistem kerja kontrak dengan jelas membuktikan ketidakberpihakan pemerintah kita terhadap kaum buruh. Mereka tidak pernah merdeka dari rasa takut, karena kaum buruh setiap hari dihantui oleh rasa ketakutan besok apakah ia masih bisa bekerja apa tidak. Cerita Sumiah, seorang buruh Mojokerto, adalah satu contoh akibat dari UU ini:
Sumiah, 26 tahun, dari Mojokerto, telah bekerja sebagai buruh tetap di sebuah pabrik mebel di Jawa Timur selama lebih dari delapan tahun, hingga tahun lalu sebelum statusnya diubah menjadi ‘buruh kontrak’ bersama dengan lebih dari 200 buruh lainnya. Apa pasalnya? Boss pabrik mengatakan bahwa pabrik harus fleksibel dalam proses produksinya sehingga pemodalnya tidak lari. Apa bedanya perubahan status itu bagi Sumiah? Sekilas tak ada, karena buruh adalah buruh. Namun, sebenarnya banyak sekali perbedaan yang bahkan tidak terpikirkan oleh siapapun.
Sebagai buruh kontrak, Sumiah tidak akan lagi pernah menerima ‘uang lembur’, ‘cuti haid’ atau diikutkan dalam JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) –semua yang diterimanya ketika menjadi buruh tetap. Bahkan, jika dikeluarkan dari pekerjaannya, tak akan ia diberi pesangon tiga-bulan, karena dia memang tak akan pernah bisa dipecat –si boss hanya perlu untuk tidak memperpanjang kontrak mingguannya. Kini, setiap Senin pagi, bersama puluhan, bahkan kadang ratusan kawan-kawannya sesama buruh, Sumiah harus berdesakan di depan papan pengumuman dekat gerbang pabrik, melihat apakah namanya ada dalam yang berisi daftar pekerja yang dipekerjakan dalam minggu itu.
(Seperti dikisahkan oleh Sumiah, Sidoarjo, Agustus 2003)
Cerita seperti ini terulang jutaan kali di seluruh pelosok Indonesia dengan kadar yang berbeda-beda, tetapi dengan tema yang sama: ketakutan kaum buruh akan hari depannya yang tidak menentu.
UU ini adalah bagian dari kebijakan Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia. Seiring dengan menjamurnya lembaga penyalur tenaga kerja (outsourcing) akibat dari UU ini, calon tenaga kerja yang melimpah akan dikumpulkan oleh para lembaga outsourcing ini, dikondisikan sedemikian rupa kemudian disalurkan ke perusahaan yang membutuhkan jasa mereka.
Lembaga outsourcing mengaburkan hubungan industrial antara perusahaan dan buruhnya, terutama adanya ketidakjelasan status sang buruh dan terjadinya saling lempar tanggungjawab antara lembaga penyalur dengan perusahaan ketika terjadi perselisihan hubungan industrial. Buruh makin mudah diombang-ambingkan dan tidak punya posisi tawar karena tidak ada yang mau mengakui – di antara lembaga penyalur dan perusahaan – siapa majikan buruh yang sebenarnya.
Secara teknis, gagasan fleksibilitas pasar tenaga kerja memunculkan adanya pihak lain (dalam hal ini perusahaan dan lembaga penyalur/outsourcing) yang mempunyai posisi lebih kuat sehingga menciptakan hubungan yang subordinatif terhadap pekerja. Selain itu, hal ini memungkinkan adanya pelaku di luar hubungan kerja (yaitu lembaga penyalur/outsourcing) yang mengambil keuntungan dari pihak yang lemah posisinya (yaitu buruh/pekerja), sehingga menggiring situasi menjadi makin buruk.
Penggunaan buruh kontrak ini meluas pada industri yang seharusnya tidak menggunakan buruh dengan status kontrak sesuai dengan syarat formil maupun materiil Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). PKWT sebenarnya bisa dilakukan untuk paling lama dua tahun, akan tetapi dapat diperpanjang dan diperbaharui. Perpanjangan PKWT dapat dilakukan hanya satu kali untuk paling lama satu tahun. Namun, dalam kasus buruh kontrak ini, PKWT selalu dilanggar. Tidak ada jaminan keamanan kerja bagi para buruh, dan terlebih lagi biasanya gaji dan benefit buruh kontrak lebih rendah dari buruh tetap.
Gagasan fleksibilitas pasar tenaga kerja bisa dilihat sebagai upaya sistematis untuk menghilangkan hak kerja sebagai Hak Asasi Manusia sebagai bentuk perlindungan terhadap buruh. Adalah hak mutlak setiap manusia untuk bebas dari rasa takut (free of fear) dan bebas dari kekurangan (free of want).
”Undang-Undang” Soal Upah
Sebenarnya kebijakan-kebijakan yang menjamin upah buruh yang layak untuk penghidupan yang manusiawi sudah banyak sekali. Akan tetapi undang-undang hanyalah secarik kertas di hadapan kekuatan modal yang mengikat kaum buruh. Bisa kita daftarkan beberapa undang-undang ini sebagai berikut:
Pertama, Undang Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 D dan Pasal 27 ayat 2 yang memberikan mandat bahwa setiap orang berhak mendapatkan upah dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Kedua, Undang-Undang (UU) No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dimana dalam Pasal 88 yang menyebutkan bahwa setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang layak bagi kemanusiaan dan untuk mewujudkannya pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi buruh yang meliputi antara lain upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak, upah lembur, struktur dan skala upah yang proporsional dan upah untuk pembayaran pesangon.
Ketiga, PP No. 8/1981 mengenai perlindungan upah dimana menyatakan bahwa buruh (laki-laki maupun perempuan) berhak mendapat upah dalam hubungan kerja.
Keempat, Permenakertrans 17/2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang merupakan standar yang dipakai untuk menetapkan Upah Minimum.
Kelima, Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yang menyebutkan bahwa upah buruh harus dapat digunakan untuk mencukupi kehidupan buruh dan keluarganya secara layak dan menjadi tanggung jawab Negara untuk menjaminnya.
Begitu mudah semua undang-undang ini diacuhkan dan dimanipulasi oleh yang berkuasa. Misalkan Permenakertrans 17/2005 Tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak yang merupakan standar yang dipakai untuk menetapkan Upah Minimum; namun standar versi Rezim SBY-KALLA tersebut dinilai hanya sekedar tipuan. Hal tersebut diperparah dengan Survei “Kebutuhan Hidup Layak” yang sering kali dilakukan dengan asal-asalan oleh dewan pengupahan dan penuh manipulasi sehingga menghasilkan usulan UMK yang murah. Sedangkan kita tahu sendiri kenyataan di lapangan mengenai beberapa kebijakan dan kondisi riil yang hari ini dihadapi kaum buruh, bahwa ketika upah minimum sudah ditetapkan ternyata masih banyak perusahaan yang melanggar kebijakan tersebut dan tidak ada upaya yang serius dalam penanganannya.
Lantas yang jadi pertanyaan: benarkah negara ini sudah merdeka? Dari kacamata para bos pemilik perusaahan, mereka sudah merdeka dari penjajah asing: merdeka untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin, merdeka untuk menindas bangsanya sendiri. Sebaliknya, kaum buruh belum merdeka sama sekali; yang ada hanyalah ilusi kemerdekaan.
26 Agustus 2009
Benarkah Indonesia sudah Merdeka?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar :
Posting Komentar
Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.
Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.
Terima kasih.