Oleh : Samsir Mohamad
Dua orang kakek sedang mengobrol di sebuah kedai kopi. Usia mereka lebih dari depalan puluh tahun, seleranya kopi kental. Mereka tidak suka kopi yang mereka sebut terang bulan, yang kopinya satu sendok teh. Buat mereka, yang disebut kopi itu, tiga sendok teh kopi dicampur dengan satu sendok gula, atau paling banyak satu setengah sendok gula. Jika lebih, mereka sebut air gula-gula. Kedua kakek itu masih merokok jenis kretek. Paling tidak satu bungkus sehari. Anehnya tidak ada yang dihinggapi darah tinggi atau paru-paru seperti yang ramai dipropagandakan dimana-mana. Sampai ada produk hukum yang mengatur orang merokok dan lucunya ada orang-orang terhormat tukang buat undang-undang atau hukum yang perokok. Ada lagi yang menarik, tuan-tuan terhormat itu bermusyawarah dan memutuskan menyenangkan dan memewahkan mereka sendiri. Lalu mereka bilang “Karena semua ada payung hukumnya”.
“Memang…” tua bangka yang satu memulai bicaranya.
“Di negeri kita sekarang cukup banyak yang aneh-aneh, atau barangkali kita memang sedang menjadi bangsa yang aneh di muka bumi. Barangkali itu yang menyebabkan banyak orang bangsa lain yang datang untuk melakukan penelitian. Para petinggi dan pembuat keputusan dengan lancar mengucapkan ‘untuk mengejar keterbelakangan’. Berbangga bisa membuat bonek-boneka wayang dari kayu dan kulit lalu dipetentengkan sebagai bagian dari upaya memelihara dan meneruskan warisan peninggalan leluhur dan nenek moyang. Sementara orang lain sudah membuat robot yang bisa menggesek biola. Masih untung candi-candi tidak dibegitukan. Wah, kalau dibegitukan habislah lahan… hehehe.”
Tua bangka yang satu lagi menggeleng-geleng kepala, mendengarnya. Entah apa maksudnya. Lalu mempertemukan bibir cangkir berisi kopi dengan bibirnya, menghisap rokok kreteknya dan meniupkan asapnya ke udara dengan sedikit mendongak. Lalu dia bicara, “Kamu ngomong seenaknya saja. Mula-mula soal undang-undang, terus boneka wayang, tuan-tuan yang menyenangkan dan menumpuk-numpuk uang untuk dirinya, terus soal candi-candi. Kalau bicara itu yang runut. Kalau kata orang terpelajar sekarang, pakai plot, pakai metodologi dan logi-logi lainnya. Contohnya, kita mau membangun, dengan membangun akan membuka lapangan pekerjaan, artinya mengurangi pengangguran, yang berarti juga mengurangi kemiskinan. Bagus bukan?
Tapi, untuk membangun perlu uang dan uang tidak cukup atau tidak punya, sebab hutang sudah banyak dan hampir sepertiganya dicuri, jadi bagaimana. Maka satu-satunya jalan adalah mengundang yang punya uang supaya mau menanamkan modalnya. Dan supaya si kaya yang banyak uang itu mau datang kudu dibikin aturan atau undang-undang yang membuat mereka berminat. Contohnya, kalau pemerintah kolonial Belanda saja dulu
dengan undang-undang yang mereka buat memberikan hak guna usaha untuk lahan atau tanah dengan luas berpuluh-puluh hektar, lamanya 75 tahun, yang dinamai hak erfpacht, sedangkan lembaga pembuat undang-undang kita yang bergelar DPR itu membuatnya untuk 90 atau 95 tahun dan bisa diperpanjang. Nah, kan kita lebih progresif bukan?
Ada lagi contoh lain, kita penghasil minyak tetapi juga pengimpor minyak. Ada yang menulis di majalah Prisma dulu, Pertamina, satu-satunya perusahaan minyak pemerintah menguasai 10% dari total produksi minyak nasional. Itu juga sesuai dengan hukum, sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga tertib hukum berjalan. Jalannya entah kemana. Pokoknya tertib dan berjalan. Nah, bagus bukan, daripada tidak tertib. Kita kan negara hukum. Makanya apa-apa itu jangan sesuai hati saja. Memangnya bisa kekayaan alam kita dan kesuburan lahan kita itu dengan simsalabim mendadak sontak punya arti dan nilai ekonomi? Karena itu, modal alias uang di atas segalanya. Ada uang disayang, tidak ada uang melayang. Itu baru namanya berpikir ilmiah dan bisa dapat hadiah. Kan tidak merugikan.”
Tua bangka yang mendengarkan mengernyitkan dahi dan mengangguk-angguk kecil. Sambil mengunyah lemper lambat dan hati-hati sebab giginya palsu dua menggumam, “Pinter… pinter… rupanya itulah ujung-ujungnya hasil kau sekolah dan kuliah kemana-mana dan pulang membawa sederet gelar di depan dan di belakang namamu. Sebab pinter begitulah kau bahagia sekarang. Punya dan mendiami rumah gedung besar dan bertingkat dengan perabot yang aduhai. Sebuah lampu kristalmu saja sebanding dengan sepuluh hunian petani atau si miskin kota yang berlantai tanah.
Sejak tadi… ketika duduk dalam mobilmu menuju ke sini, yang kau sebut kedai kopi terus terang aku kedinginan, hehehe… Aku belum pernah masuk ke tempat seperti ini. Dan terus terang lagi nih, jantungku berdebar ketika membaca di lembaran harga minuman. Secangkir kopi yang kuseruput itu harganya juga aduhai. Sebanding lebih dari tiga hari upah mencangkul di kampungku. Dan hampir mataku berkunang-kunang membaca harga makanan yang satu porsinya lebih dari 300.000 rupiah. Waduh, sebanding dengan penghasilan sebulan orang yang bekerja bercucuran keringat di terik matahari di kampung atau pedagang kaki lima yang seharian diterpa angin, debu dan polusi udara dari muntahan knalpot mobilmu, hehehe….
Kalau dipikir-pikir, kita ini bareng. Sekolah bareng sampai si Belanda kalah dan si “pendek” fasis berkuasa. Dan selama si pendek fasis itu berkuasa kita masih bareng. Setelah proklamasi bersama-sama memanggul senapan melawan serdadu Gurka dan Belanda, hingga pada saat para pemimpin kita menempuh jalan berdamai dengan Belanda. Setelah itulah kita berpisah. Hari, bulan dan tahun berlalu tak peduli pada apapun. Gunung-gunung berletusan memakan korban. Berpuluh tahun banjir menelan korban. Kemudian longsor dan longsong dari ujung ke ujung negeri. Datang juga tsunami, lumpur merendam desa-desa, harga bahan makanan naik, minyak kompor sampai air untuk diminum susah diperoleh. Dan, seperti lagu Iwan Fals, banyak, dan banyak lagi, terlalu banyak untuk disebutkan.”
Yang mendengarkan tak berkedip, sepertinya semua itu dia anggap lumrah-lumrah saja. Dan dia berbisik pada dirinya sendiri, “aku juga kan menghendaki pembangunan dan pembangunan itu akan membawa kemakmuran untuk rakyat. Tidak salah, tidak salah. Benar. Baik. Masa orang terpelajar dan terhormat seperti aku ini berniat jelek pada bangsa sendiri? Demi Tuhan, tidak, tidaaaakkkk.”
Sebelum berpisah, si tua bangka yang menceritakan berbagai musibah yang menimpa masyarakat bangsa berkata, “Kau pernah mendengar lagu yang dengan bagus dinyanyikan Broeri… ‘engkau begitu, aku begini, sama saja.”
Mereka tertawa.
Dari jendela mobilnya si terpelajar dan terhormat itu memberikan amplop kepada si tua bangka. Setelah itu mobil mewah itupun melaju. Yang merima bertanya, “Apa ini?” Tetapi tidak dijawab dan mobil yang disetirnya sendiri menggelinding melaju cepat. Ketika si tua bangka membuka amplop dan melihat isinya, dia kaget. Uang, uang, uang, uang warnanya merah. Sambil menepuk-nepukkan amplop berisi uang ke telapak tangannya, dia bergumam, “Halalkah ini?” Lalu dia bergegas agar tak ketinggalan bis kota.
26 Agustus 2009
Hukum tidak Jatuh dari Langit: Sebuah Dialog
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar :
Posting Komentar
Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.
Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.
Terima kasih.