10 September 2009

Kebersamaan Beragama di Dusun Ngepeh

Oleh - Ingki Rinaldi

Bunyikan saja kentungan, maka sekitar 1.400 pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu di Dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, segera keluar dan bergotong royong, untuk urusan apa pun, layaknya pasukan semut yang bekerja rapi tanpa komando. Begitulah yang terlihat pada Minggu (6/9).

perintah karena Kepala Dusun Ngepeh Sumitro (56) tengah ke Pare, Kediri, untuk berdagang. Mereka seperti sudah saling paham dengan tugas masing-masing yang didedikasikan untuk prosesi pemakaman warga bernama Suparmin (75).

Bagi warga, kedukaan satu orang adalah duka bersama, tanpa memandang agama. ”Tata cara pemakaman tetap sendiri- sendiri, sesuai agamanya,” kata Adenan (83), penganut agama Kristen, yang ikut bersiap di rumah duka sebelum pemakaman Suparmin yang memeluk agama Islam.

Menyatunya warga tidak hanya direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pemakaman pun dibuat dalam satu lokasi. Yang membedakan makam mereka hanyalah letak jenazah atau posisi batu nisan.

Bagi pemeluk Islam dan Hindu, letak jenazah membujur dari arah utara menuju selatan. Hal ini memungkinkan makam kedua penganut agama tersebut berdekatan. Sementara itu, bagi penganut Kristen, tata cara pemakaman jenazahnya membujur dari barat ke timur, membuat lokasi makam terpisah.

Herry Fitrianto (26) mengatakan, contoh terbaik dari adanya kebersamaan antarumat di dusun itu memang terlihat saat ada warga yang meninggal dunia. ”Pokoknya, setiap ada warga yang meninggal pasti banyak yang datang (terlibat). Apakah mereka umat Islam, Kristen, atau Hindu,” katanya.

Anak Kepala Dusun Sumitro itu menambahkan, kekerabatan yang demikian baik tersebut membuat mereka merasa nyaman. ”Tidak pernah ada keributan yang berdimensi agama,” kata Herry, bangga.

Sekitar 70 persen penduduk dusun tersebut beragama Islam, 20 persen beragama Kristen dan Katolik, sedangkan 10 persen selebihnya adalah pemeluk agama Hindu.

Kentungan

Menurut Nur Alim Wahyudi (65), pemuka Hindu di dusun tersebut, instrumen penting yang bisa membuat warga berkumpul dengan kompak dalam waktu singkat adalah kentungan kayu yang digantung di depan rumah Kepala Dusun.

”Jika kentungan bunyi, tanpa dikomando warga seperti punya kewajiban. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang beragama apa pun langsung keluar rumah. Sementara, yang bekerja di sawah akan berhenti bekerja,” cerita Nur.

Meski demikian, Nur tak tahu kapan persisnya kerukunan terbentuk di dusun itu. ”Pokoknya sudah lama sekali,” katanya, senada dengan warga lainnya.

Untuk melestarikan kerukunan itu, pada 1998 didirikan Paguyuban Budi Luhur. Konon, sejumlah pemuka agama di dusun itu merasa khawatir saat sejumlah konflik bernuansa agama muncul di berbagai wilayah Nusantara.

Tiga tahun setelah itu, tahun 2001, warga mendirikan radio komunitas bernama Suara Budi Luhur yang memiliki izin frekuensi di gelombang FM 107,7, dengan radius jangkauan siar sekitar 30 kilometer.

Upaya yang patut diapresiasi.



Komentar :

ada 0 komentar ke “Kebersamaan Beragama di Dusun Ngepeh”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id