28 Oktober 2009

Pemuda-pemudi dan Budaya Kapitalistik

Oleh Bintang Fajarbudi Semesta*

Pemuda-pemudi selalu menjadi pelaku utama di dalam sejarah pembebasan di seluruh dunia. Pada jejak sejarah dunia, Sumpah Pemuda yang ditetapkan pada tanggal 28 Oktober 1928 menorehnya.

Sumpah Pemuda merupakan salah satu titik pergerakan pemuda-pemudi Indonesia. Hampir bersamaan, pemuda-pemudi di masa 1900 - 1930 bergerak secara radikal melawan imperialisme kolonialisme negara-negara Barat. Mereka bergerak karena memiliki kesadaran kelas terjajah, militansi, dan kemauan besar untuk merdeka. Di masa itu dengan kepeloporan pemuda-pemudi, bangsa Indonesia bergerak dan bangkit secara nasional. Pergerakannya diteruskan menuju masa revolusi kemerdekaan Indonesia.

Lihat saja umur beberapa di antara mereka pada masa pergerakkan. Dimulai dengan Tirto Adi Suryo. Menurut Takashi Shiraishi di dalam bukunya Zaman Bergerak (1997), Tirto adalah orang pribumi pertama yang memulai pergerakan melalui jurnalisme. Tulisannya begitu memengaruhi massa rakyat untuk bergerak dan sangat mengganggu pemerintahan kolonial. Ia mulai memberontak pada usia 20 tahun (1900). Pramoedya Ananta Toer menyebutnya Sang Pemula (2007). Ia adalah pemula bagi pergerakan priyayi, umat Islam, sampai rakyat tertindas secara umum menentang kolonialisme. Dibangun olehnya Serikat Priyayi, kumpulan priyayi yang sadar untuk memerjuangkan suatu nation yang merdeka, kelak bernama bangsa Indonesia. Di sini awal mula kebangkitan nasional. Kemudian ia membentuk Serikat Dagang Islam (1909) dan berkembang menjadi Serikat Islam. Cikal bakal perlawanan pribumi menentang imperialisme kolonialisme.

Pada saat hampir bersamaan, di tempat yang berbeda, Kartini salah satu perempuan sadar di masanya, mulai bergerak. Pada usia remaja, ia menentang feodalisme dan patriarki. Saat itu juga, ia bergerak mengajar putri-putri desa. Kartini berhasil mendirikan sekolah pada usia 20 tahun (1903). Namun, ia wafat di usia yang muda, yakni 25 tahun.

Pejuang perempuan juga dilakoni oleh Dewi Sartika. Ia sudah bisa membaca dan menulis dalam bahasa Belanda saat berumur sepuluh tahun. Sejak kecil, Dewi Sartika berbakat menjadi pendidik kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Dengan keinginannya untuk maju, pada 1902, ia berhasil membangun sekolah rakyat pada usia 18 tahun.

Selanjutnya, Sutomo melanjutkan pergerakan nasional yang telah dirintis Tirto Adi Suryo. Ia bersama kawan-kawannya di sekolah Stovia membangun Boedi Oetomo pada tahun 1908 saat berusia 20 tahun. Sejak menjadi siswa, ia sudah menunjukkan benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme bersama kawan-kawannya. Salah satu kawannya adalah Ki Hajar Dewantara.

Ki Hajar Dewantara mulai bergerak saat ia masih menjadi siswa. Tepatnya saat ia berumur 19 tahun. Ia ikut membangun Boedi Oetomo bersama Sutomo. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa perjuangan politik harus dijalankan Boedi Oetomo. Namun, ia juga giat di dalam gerakan kebudayaan. Khususnya di dunia pendidikan.

Selain itu, ada Semaoen, putra proletar terdidik dan progresif. Pada usia 14 tahun (1903), ia bergabung di Serikat Islam Surabaya. Kemudian juga menjadi anggota organisasi Belanda, Indische Sociaal-Democratische Vereeniging. Ia merupakan anggota termuda paling cerdas, progresif, dan agitatif. Bersama temannya Tan Malaka, ia membangun Serikat Rakyat sebagai organisasi revolusioner proletar Indonesia pertama yang menjalankan gerakan revolusioner berbasis Marxisme-Leninisme.

Tan Malaka sendiri mulai menempuh gerakan revolusionernya pada usia 19 tahun (1919). Hatinya bergerak saat melihat ketimpangan sosial di daerah Perkebunan Deli. Tempat ia bertugas sebagai guru setelah menempuh pendidikan dari negeri Belanda (1912). Ia menjadi bapak revolusi Indonesia karena kegigihannya berjuang non kooperasi terhadap pemerintahan kolonial. Ia menempuh jalan revolusi sampai kematiannya. Sebagai seorang revolusioner, ia terlibat aktif membangun gerakan revolusioner proletar di seluruh dunia.

Tokoh lain yang berusia muda dalam memulai pergerakannya adalah Amir Syarifuddin. Ia ikut kegiatan di Volksraad pada tahun 1911 saat usia 14 tahun diajak oleh sepupunya. Pada tahun 1923, ia menjadi anggota pengurus perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem. Sepanjang perjalanannya, ia dikenal sangat menentang kapitalisme. Ia dikenal begitu berani dan terus melawan meski disiksa oleh Belanda. Dengan keberanian dan dedikasinya di dunia politik, ia diangkat menjadi Perdana Menteri kedua Indonesia.

Soekarno, tokoh nasionalis yang memiliki nama besar, pun berjuang sejak usia remaja. Ia mulai bersinggungan dengan dunia politik pada usia 14 tahun (1915) saat tinggal dengan H. S. Cokroaminoto, pemimpin Serikat Islam. Begitu masuk ke perguruan tinggi, Soekarno makin giat berpolitik. Saat itu, ia memimpin studi klub di Bandung. Pada tanggal 4 Juni 1927, ia mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, kemudian menjadi partai dengan nama Partai Nasional Indonesia. Sampai pada akhirnya, ia memimpin kemerdekaan Indonesia secara nasional.

Karakter pemuda-pemudi progresif masa itu sangat berbeda dengan masa kini. Kesadaran kelas tertindas mereka begitu tinggi. Kita sangat sulit menemukan Tirto Adi Suryo dan Kartini muda saat ini. Kita sulit menemukan dedikasi seorang pemuda-pemudi masa kini yang membela rakyat miskin dengan pemikiran yang cerdas, progresif, dan militan. Kebanyakan pemuda-pemudi masa kini merupakan generasi mie instan. Generasi “impor” dan siap santap dengan cita rasa yang seragam dan bergizi rendah.

Pola perilaku, karakter, dan penampilan mereka seragam, khususnya di kota-kota. Kita dapat amati dari sisi penampilan. Ada kesamaan model rambut, celana, baju dan kaos, sampai ke gaya bahasa. Yang lebih parah, jenis kulit juga dipaksakan serupa dengan kulit bangsa eropa. Pada sisi karakter, mereka individual, pragmatis, hedonis, konsumtif, dangkal makna, apolitis, sensual binal, tahyul, penakut, dan fatalis. Hiburan media yang digemari seputar gosip, sinetron, program setan-setanan, kekerasan, dunia germelap, dan musik pop cengeng yang semuanya artifisial. Seleranya berekreasi tidak jauh dari etalase komoditi dan ekstase.

Mereka kehilangan identitas keunikan dari tiap manusia, yakni otentisitas. Lebih dari itu, mereka telah kehilangan sisi manusia sosial (homo socio homini) yang selalu berdialektika untuk kebaikan bersama orang banyak. Landasan yang paling dasar dari perjuangan kelas. Tanpa itu, sensitivitas atas ketertindasan hilang dan aksi berlawan meringkuk di dalam kepatuhan irasional. Mereka adalah generasi runyam perubahan.

Kondisi yang sangat memprihatinkan dari pemuda-pemudi masa kini secara kolektif memperlihatkan fase sejarah perkembangan masyarakat yang sedang berjalan. Mereka hidup di dalam perkembangan masyarakat kapitalis. Mereka dituntut sesuai dengan budaya kapitalis. Bagi pemuda dari keluarga borjuis, keterlibatan mereka di dalam masyarakat kapitalis begitu menguntungkan. Sedangkan beberapa pemuda miskin mengalami kehilangan kesadaran kelasnya. Mereka terlena dengan konsumsi dan ekstase sehingga memaksakan diri untuk memenuhinya.

Selain itu, pemuda-pemuda miskin di desa terjepit di antara hilangnya lahan pertanian dan persaingan kerja yang tinggi di kota. Potensi kehilangan lahan pertanian sebesar 2,8 hektar per tahun (Agus Susewo, 2009). Sementara, akses pekerjaan begitu sulit karena tidak tersedianya lapangan pekerjaan. Pada tahun 2009 saja, jumlah sarjana yang mengganggur sebanyak hampir satu juta sarjana (F. G. Winarno, 2009) dari 9,25 juta angkatan kerja yang menganggur. Belum lagi, jutaan anak-anak putus sekolah.

Bagaimana pun, kita tidak menyaksikan sebuah takdir yang terapung di permukaan laut. Tetapi di dalam dari permukaan itu telah terjadi penindasan terselubung yang dilakukan oleh negara dan imperialis-imperialis kapital terhadap generasi muda. Mereka seharusnya mengemban tugas pembebas rakyat. Justru yang terjadi, mereka tunduk di jalan penindasan yang begitu halus. Sehingga, banyak pemuda-pemudi tidak menyadarinya. Mereka sedang berhadapan dengan hantu kekuasaan. Kekuasaan kapitalis. Mereka tidak dapat melihat hantu itu karena dirinya sudah mengkristal ke dalam budaya masyarakat kapitalis yang sedang dijalani oleh mereka sendiri.

Budaya Kapitalistik dan Penindasan
Persemayaman budaya kapitalistik di generasi muda tidak melalui jalan kekerasan. Tetapi lewat penyusupan ideologi yang berpengaruh sampai ke wilayah privat. John B. Thomson (1990, dalam Lull, 1983) menjewantahkan kata ideologi dengan istilah "ideologi dominan". Istilah itu memperlihatkan bentuk-bentuk simbolis yang dipakai oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk membangun dan melestarikan hubungan dominasi (struktur sosial yang timpang).

Sedangkan Karl Marx dan Fredrich Engels menilai ideologi tidak lebih dari kesadaran palsu. Kesadaran yang mengacu pada nilai-nilai moral tinggi yang menutup kenyataan bahwa di belakang nilai-nilai luhur itu tersembunyi kepentingan-kepentingan egois kelas-kelas berkuasa, yakni kelas kapitalis. Sehingga, membentuk gagasan-gagasan dominan untuk membenarkan diri mereka sendiri.

Penyusupan ideologi dari kelas kapitalis gencar melalui media. Pada masyarakat kapitalis, media merupakan alat kelas dominan. Media memiliki peran sebagai penyebar ideologi dari kelas penguasa kepada rakyat. Media juga hamba pasar. Pada konteks ini, media merupakan alat kelas pemodal untuk menggandakan modal (keuntungan). Sehingga, yang dikandung media merupakan komoditi yang dijual di pasar. Risiko terbesar adalah pesan-pesan yang disampaikan media dikendalikan oleh pasar. Pesan yang menguntungkan bagi kepentingan pasar dan pemodal selalu diproduksi. Sementara, secara virtual tidak ada komunikasi antara sumber informasi dengan penerima saat memediasi pesan. Masyarakat sebagai penerima dipaksa pada posisi pasif. Sudah pasti dirugikan.

Media memiliki pengaruh dan kekuatan yang sangat besar terhadap kehidupan sehari-hari. Pesan-pesan yang terus menerus disampaikan menjadi referensi yang berkesan dan melekat pada pikiran penerima. Pada akhirnya, media mereproduksi dan memproduksi budaya masyarakat (ide-ide, perilaku, dan produk budaya) sesuai dengan keinginan kelas dominan. Tanpa disadari, mereka menjadi penerus dan menjadi bagian dari masyarakat kapitalis.

Proses penyusupan ideologi yang terjadi di media juga berada di ranah dan instrumen ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Saat itu sebenarnya telah terjadi penguasaan sumber daya material yang memengaruhi khalayak. Ditegaskan oleh Marx dan Engles (Storey, 1995), bahwa kelas yang menguasai kekuatan material dalam masyarakat, pada saat yang sama menguasai kekuatan intelektualnya juga. Kelas yang menguasai alat-alat produksi material pada akhirnya mengendalikan alat produksi mental, sehingga gagasan dari mereka yang tidak menguasai alat produksi mental tunduk padanya.

Proses itu berlangsung sangat lama, sistematis, terorganisir, masif, dan berkembangbiak. Hasilnya sesuai yang dikatakan Marx (1985), perembesan kesadaran oleh kelas berkuasa mengembangbiakkan kesadaran palsu tidak hanya dalam kelas yang ditindas tetapi juga dalam kesadaran kelas yang menindas. Ideologi itu menyembunyikan sumber asali dominasi dan proses-prosesnya dari kesadaran kaum tertindas dan membuat segala sesuatu tampak wajar-wajar saja seperti tidak terjadi apa-apa.

Penyusupan ideologi (hegemoni) meminimal kontradiksi (pertentangan) dan antagonisme (perlawanan) pemuda-pemudi secara sosial dan etis. Tidak heran terlihat perbedaan cukup besar antara pemuda-pemudi di jaman pergerakan kemerdekaan dengan masa kini. Selain itu, gerakan pemuda-pemudi saat ini terasa tumpul dan terbatas. Sementara kelompok tua (kaum konservatif) yang berkuasa semakin mendominasi, mewariskan ideologinya kepada yang muda-muda.

Yang perlu dilakukan adalah mereproduksi kesadaran kelas pemuda-pemudi. Meski sangat terasa sulit karena berbeda dengan masa lalu. Penindasan kolonialisme pada masa lalu begitu kentara. Kondisi material yang begitu sulit memecut kesadaran mereka untuk melawan atau mati ditindas secara fisik dan mental. Yang sekarang terjadi adalah perembesan ideologi atau dominasi gagasan yang begitu kuat. Maka, konter hegemoni perlu dilakukan oleh barisan yang paling sadar kelas. Agar menghasilkan simbol-simbol perlawanan yang tepat, terarah, mudah diterima, dan dapat berkembangbiak untuk pemuda-pemudi yang masih dilenakan oleh budaya kapitalis yang sesungguhnya menindas. Di alam kapitalistik, persaingan sampai pada level tertinggi, yakni penghisapan atau penindasan, di segala lini kehidupan menjadi bumbu kunci dalam perjalanan sejarahnya. Semoga kelak muncul Tirto Adi Suryo dan Kartini muda. Harapan bagi pemuda-pemudi masih ada.

* Pemuda, aktif di Bingkai Merah, organisasi Media Rakyat.


Komentar :

ada 1
Anonim mengatakan...
pada hari 

pemuda borjuis memang tidak memiliki kesadaran akan ketertindasan mereka terhadap budaya kapitalis.Saya sangat setuju dengan artikel di tas.

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id