18 Oktober 2009

Yogyakarta Perlahan Ditelan Raksasa Kapitalisme

Yogyakarta, Kompas - Yogyakarta saat ini perlahan-lahan tengah ditelan oleh kapitalisme. Yogyakarta ibarat tokoh kecil dengan jimat budaya yang begitu banyak dan secara perlahan menghadapi monster bernama Indonesia yang merupakan wujud dari kapitalisme.


Demikian dikatakan pengamat budaya Indra Tranggono dalam diskusi dan dialog "Rerasan untuk Jogja, Dulu Sekarang dan Akan Datang" di Taman Komunikasi Kanisius, Kamis (15/10). Hadir sebagai pembicara lain AAGN Ari Dwipayana, ahli ilmu pemerintahan Universitas Gadjah Mada, dan Bambang Sigap Sumantri, Kepala Biro Kompas DIY. Bambang K Prihandono dari Universitas Atma Jaya menjadi moderator.

Menurut Indra, perubahan di Yogyakarta harus dilihat pada sumber permasalahan, yakni kekuatan kapitalisme yang telah begitu dominan. Ia menyinggung bagaimana saat ini seniman takut datang ke Malioboro. Padahal, tahun 1970-an Malioboro pernah menjadi poros Gampingan-Bulaksumur. Aktivitas yang terjadi di tempat itu telah memperkaya pengalaman yang diperoleh mahasiswa selain di bangku kuliah. Tidak sedikit seniman yang menjadikan tempat itu sebagai ruang ekspresi.

"Nah, sekarang persoalannya di kota, seniman ditendang dari Malioboro. Malioboro menjadi pusat kegiatan ekonomi yang kalkulatif. Seniman tidak berani main ke sana hanya dengan membawa Rp 10.000. Artinya, Yogyakarta makin kapitalistik," ujar Indro. Ia menambahkan, nilai-nilai paguyuban di kota ini sudah mulai mencair. Orang lebih mengutamakan individu.

Sudah tak berbeda

Begitu pula tentang pendidikan, terjadinya penurunan mahasiswa. Kampus tidak lagi berbeda dengan daerah lain sehingga tak mampu lagi menyedot minat calon mahasiswa. Kultur dialog yang menjadi nilai lebih, lanjutnya, sudah tidak ada lagi.

"Maka saya membayangkan Yogya sekarang menjadi ruang tafsir yang terbuka terhadap minimal tiga kekuatan. Pertama, ruang tafsir dari kekuatan kapital yang menggerus nilai-nilai seperti paguyuban. Kedua, tafsir penguatan identitas yang bersifat keagamaan. Ketiga, tafsir penguasa atau politik yang tampaknya ingin Yogyakarta tak lagi istimewa. Bagaimanapun negara adalah sebuah agen kekuatan kapital yang tidak ingin ada identitas lokal," tuturnya.

Ari Dwipayana menilai, Yogyakarta adalah sebuah ruang multikultural yang di dalamnya terdapat aneka etnis, agama, budaya. "Pertanyaannya sekarang, apakah yang terjadi saat ini budaya seberang terserap dalam ke-Yogya-an, atau budaya Yogyakarta yang menyerap budaya seberang? Kalau dulu, banyak orang dari luar yang terserap ke dalam budaya Yogyakarta. Namun, sekarang Yogyakarta telah ikut menyerap budaya seberang," ujar Ari.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Yogyakarta Perlahan Ditelan Raksasa Kapitalisme”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id