Jurnal Perempuan, Jakarta - Berdasar perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), angka kemiskinan tahun 2009 bisa mencapai 33,7 juta orang. Sementara menurut hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2008 lalu menyebutkan jumlah orang miskin mencapai 34,96 juta atau 15% dari total penduduk Indonesia. Dikatakan oleh BPS angka ini turun 2,21 juta jiwa dibanding tahun 2007, yakni 37,17 juta. Benarkah kemiskinan berangsur menghindar di bumi Indonesia?
Dilansir dari Kompas (5/10), sekitar 90 orang dusun Dukuh dan mereka yang tinggal di Desa Pegagan Kidul yang merupakan warga Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon, Jawa Barat tidak sanggup membeli beras selama musim paceklik ini. Walhasil mereka mengonsumsi nasi aking (nasi sisa yang dikeringkan-red).
Menurut Turmudi (55) warga Pengagon Bebek dari RT 1 RW 2 Blok Tonggo, Desa Pegagan Kidul harus menghidupi istri dan dua anak balitanya serta seorang ibunya. Turmudi dan tetangganya yang berprofesi sebagai buruh tani dengan penghasilan kurang dari Rp 10.000 per hari mengakui harga beras yang diecer seharga Rp 5.000 per kilogram tidak mampu mereka beli. Sebagai gantinya Turmudi hanya bisa membeli nasi aking seharga Rp 2.000 per kilogramnya. Sementara Raskin (Beras Miskin) yang merupakan subsidi dari pemerintah sebesar 4,5 kg hanya cukup memenuhi kebutuhan satu hingga dua hari.
Demikian juga pengakuan Hatatiah yang sehari-harinya juga mengonsumsi nasi aking. Baginya kenikmatan beras hanya ia peroleh saat ia bekerja sebagai buruh permanen padi termasuk saat menerima raskin juga pembagian zakat saat Idul Fitri.
Ketua RT 1 RW 2 Blok Tonggo bernama Casila mengakui terdapat 100 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 40 orang di RT-nya yang masih mengonsumsi nasi aking.
Menurut Casila, 7 kg raskin per KK tidak dapat dibagi secara utuh mengingat keberadaan warga miskin di RT-nya sehingga harus dibagi rata. Itu berarti warga hanya memperoleh 4,5 kg per KK. ”Saya tak bisa berbuat banyak karena tekanan warga. Warga yang hidupnya layak bahkan pegawai negeri sipil pun minta jatah,” ujar Casila.
Pengakuan Turmudi dan Hatatiah membuka mata kita betapa kemiskinan menjadi beban bagi laki-laki, maupun perempuan. Bagi laki-laki, gelar kepala keluarga yang dilekatkan kepadanya bisa menimbulkan boomerang apalagi manakala kemiskinan mendera negeri yang katanya Gemah Ripah Loh Jinawi ini. Sedangkan bagi perempuan, kemiskinan membawa beban yang berganda, baik beban ekonomi maupun sosial karena belum adanya dukungan bagi para perempuan sekalipun ia berposisi sebagai kepala keluarga.
14 Oktober 2009
Kemiskinan; Masalah yang Belum Usai
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar :
Posting Komentar
Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.
Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.
Terima kasih.