11 Desember 2009

Bingkisan 10 Desember 2009: Nyanyian Jalan Tentang Hak pendidikan Anak Kota

Jakarta, Bingkai Merah - Belum lagi menyelesaikan masa bermain bersama teman-temannya di pinggir jalan perempatan Grogol, Jakarta Barat, Anto sudah harus lagi kembali ke tengah jalan untuk mengumpulkan keping demi keping dan berlembar uang yang diharapkan kali ini bisa lebih banyak dari sebelumnya. Satu persatu kendaraan yang berhenti dibawah lampu merah disambanginya, diikuti lagu yang mengalun sederhana dari suara nyanyi anak berumur 12 tahun itu.

Sang orang tua, Isah (46) menuturkan, seperti inilah hari-hari yang dijalani anaknya demi mengumpulkan uang untuk masuk sekolah di tahun penerimaan 2010 mendatang.

“Dia, mas yang ngotot mau cari uang, katanya buat nambahin uang masuk sekolah. Kalo saya sih sebenernya juga takut, kalo anak saya kerja dipinggir jalan kaya gini, tapi yaa, penghasilan saya juga gak cukup buat nyekolahin dia.” Jelas Karti.

Biasanya, Anto bisa mendapatkan uang hingga 5 sampai 10 ribu. Perolehan itu diterimanya setelah meretas waktu dalam satu hari dengan mengamen, atau terkadang, menyemir sepatu di dalam kawasan terminal grogol. Sementara itu, sebagian besar dari pendapatan tersebut, ia sisihkan dalam tabungan pribadi sang orang tua.

Ketika ditanya mengapa Anto terdorong untuk mengikuti jejak sang orang tua bekerja sebagai penjaja jasa dipinggir jalan, dirinya menyatakan, hal tersebut dikarenakan keinginan kuatnya untuk bersekolah. Ia berharap, uang yang terkumpul sebelumnya dapat menutupi dana masuk sekolah nanti.

“Kepengen banget sekolah om, kaya si Ilham. Dia juga nyemir sepatu kaya aku” ungkap Anto yang juga menceritakan kesukaannya pada pelajaran Matematika. “Aku punya buku matematika, tapi ga pernah kepake. Abis ga ada temen belajarnya.”

Lain Anto, lain pula dengan Eti (16) yang pada siang itu turut pula larut dalam keriuhan Jakarta, diantara sisa nafas yang masih ada, beristirahat dengan menyandarkan tubuhnya pada pagar pemisah antara Mal Ciputra, dengan jalan di depannya. Gadis yang baru menyelesaikan pekerjaannya itu—mengamen di bis kota P.6 jurusan Grogol-Kampung Rambutan, mengaku tidak melanjutkan jenjang sekolah ketika ia duduk dibangku kelas 5 SD. Alasan yang begitu ironis namun terasa sangat murah atau bahkan biasa-biasa saja, tentang mengapa Eti tak dapat melanjutkan masa pendidikan 6 tahunnya, adalah karna persoalan biaya.

“Emak saya waktu itu udah cerai sama bapak, jadi saya gak ngelanjutin sekolah karna gak ada yang biayain” terang Eti sambil menyetem gitar ukulelenya.”

“Pernah sih pengen sekolah lagi, tapi emak malah nyuruh saya kerja aja.”

Eti mengerti sekali mengapa pendidikan juga diperlukan bagi hidupnya, namun lebih dari pada itu, ia merasa kebutuhan perut menjadi faktor yang lebih harus didahulukan. Berbeda dengan Anto, Eti tak sempat menabung, karena uang penghasilan dari setelah seharian dirinya mengamen, langsung diberikan ke orang tua untuk membayar keperluan seperti membayar uang harian kontrakan rumah, dan belanja bahan makanan.

Sungguhpun Anto dan Eti menjadi wakil nada-nada kecil lain di kota Jakarta, yang sampai saat ini, pertanyaan mengenai hak mendapatkan pendidikannya belum dijawab secara tegas oleh pemangku kekuasaan di tanah air, bahkan ketika genderang Hak Asasi Manusia (HAM) yang begitu kuat di dentumkan oleh banyak pihak pada hari ini pun, juga belum tentu akan memberikan perubahan bagi terbukanya kesempatan belajar untuk anak-anak miskin kota.

Disaat segerombolan masa aksi beramai-ramai berdemostrasi, mencurahkan rasanya dihadapan pemerintah, wajah-wajah seperti Anto maupun Eti akan tetap pada raut sebelumnya—murung menanti haknya terpenuhi.

Bergerak Cepat

Dalam kesempatan dan di lokasi berbeda, Edi, salah seorang karyawan perusahaan swasta di kawasan Jalan Jendral Gatot Subroto, berpendapat, tanggungjawab mengenai pemenuhan hak pendidikan warga negara seharusnya diemban sekaligus diwujudkan oleh pemerintah. Namun, ia menyayangkan mengapa pemenuhan itu belum merata diterima oleh rakyat, khususnya rakyat miskin.

“ Setahu saya, ketetapan itu kan sudah diamanatkan dalam Undang-Undang di Negara ini. Namanya juga ketetapan, apalagi bersifat amanat, itu wajib dijalankan. Tapi, mana buktinya?” ungkap Edi disela-sela waktu istirahat kerjanya.

Warga Bintaro, Jakarta Selatan itu juga menyampaikan kekecewaannya mengenai keadaan saat ini, yang dianggapnya hanya menjadi pentas aksi orang-orang pemilik kepentingan. Entah itu mereka yang pro kepada rakyat, ataupun yang seolah-olah pro kepada rakyat, padahal hanya mementingkan kepentingannya saja, terus berseteru dibawah nama rakyat, namun lupa melihat kondisi objektif yang ada. Keadaan saat ini jelas menunjukkan lambatnya perhatian berbagai pihak terkait persoalan hak pendidikan rakyat.

“Sekarang mah waktunya bergerak dengan cepat, gak usah demo-demo yang hanya bersifat momentum, ngabisin dana doang, tapi setelah itu selesai. Apa bedanya mereka sama anggota DPR yang kerjanya ngabisin banyak anggaran buat bikin peraturan. Mending dana itu buat bikin sekolah gratis!” sambungnya dengan nada tinggi.

“Peringatan hari HAM ini mestinya semua orang pada ngaca sama kasus prita, bagaimana dengan cepat masyarakat bergerak secara kolektif mengumpulkan koin, gak pake debat, dan gak pake mohon-mohon sama pemerintah Bagi saya, dari situ aja sebenernya memperlihatkan, kalo masyarakat udah bersatu, jangankan SBY, Negara juga bisa diruntuhin.”

Dirinya mengatakan, persoalan pemenuhan hak pendidikan, rakyat harus percaya bahwa pemerintah sudah bukan lagi menjadi tumpuan yang jelas dan tegas. Sekarang sudah waktunya rakyat sendiri yang mengambil peran, membangun kesadaran permasalahan kolektif bersama, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Dia meyakini hal tersebut dapat lebih cepat membawa perubahan dibanding apa yang selama ini dijalani oleh pemerintah maupun LSM serta organisasi kemasyarakatan lainnya.

“Lupakan wacana-wacana dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh rakyat, saatnya grass root!” ungkapnya tegas menutup perbincangan.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Bingkisan 10 Desember 2009: Nyanyian Jalan Tentang Hak pendidikan Anak Kota”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id