17 Desember 2009

Pertanian: Menanti Air Datang...

"Sawah ini terairi irigasi, tapi tidak maksimal. Kami cuma bisa tanam padi dua kali, itu pun pada tanam kedua biasanya hasilnya tidak memuaskan. Bukannya untung, malah seringnya nombok," kata Pudin, petani di Desa Padasuka, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut, sambil mencangkul sawah garapannya yang kering, Rabu (16/12).


Pudin memiliki sawah garapan seluas 100 bata (1 bata setara dengan 14 meter persegi). Sawah tersebut hanya mengandalkan air hujan. Tidak mengherankan, dalam setahun dia hanya dua kali menanami sawahnya. Namun, hanya penanaman pertama yang hasilnya memuaskan, sekitar 6 ton per hektar.

Untuk penanaman kedua, hasilnya selalu tak sesuai dengan harapan, yakni sekitar 2 ton gabah kering giling per hektar, akibat minimnya air.

Kendati hasilnya minim, Pudin harus tetap berbagi hasil panen itu dengan pemilik lahan secara proposional, 50:50. Padahal, setiap 100 bata sawah menghabiskan biaya lebih kurang Rp 400.000. Dengan demikian, untuk setiap 1 hektar sawah yang setara dengan 700 bata, Pudin harus mengeluarkan uang Rp 2,8 juta sebagai modal menanam padi. Tunggu giliran

Petani lain dari Desa Padasuka, Kecamatan Cibatu, Eping (29), mengaku, untuk mendapatkan hasil panen optimal, ia harus menunggu giliran air malam hingga dini hari demi mendapatkan suplai air ke sawah.

"Petani di sini harus menunggu giliran air datang malam hari, kadang sampai pukul 02.00-03.00. Bahkan mengolah tanah menggunakan traktor pun harus dilakukan malam hari. Biasanya kami pergi setelah shalat isya," tutur Eping.

Krisis air juga berdampak pada budidaya palawija. Tanaman tersebut membutuhkan banyak air agar bisa tumbuh sekaligus berproduksi optimal.

Tidak hanya di sawah, krisis air juga dialami warga Kampung Ciranca, Desa Padasuka, Cibatu. Menurut Pudin yang juga warga Kampung Ciranca, jika sedang kemarau, sumur warga pun kering. Warga terpaksa mengambil air dari mata air di sebuah bukit di dekat permukiman.

Dampak lebih serius dari krisis air itu adalah penurunan harga sawah dan rumah. Sawah yang semula seharga Rp 500.000 per bata turun menjadi Rp 250.000-Rp 300.000 per bata akibat jarang teraliri air. Dengan harga seperti itu, sawah tetap susah terjual. Sementara rumah permanen seharga Rp 25 juta-Rp 30 juta, gara-gara krisis air, kurang diminati.

Meskipun tidak begitu memahami adanya rencana pembangunan Bendung Copong, Pudin dan Eping sangat berharap Bendung Copong bisa mengairi sawah mereka sepanjang tahun. Dengan begitu, mereka bisa tenang mengolah sawah tanpa harus khawatir tanaman padi mereka kering kekurangan air.(Adhitya Ramadhan)


Komentar :

ada 0 komentar ke “Pertanian: Menanti Air Datang...”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id