Oleh: Prasetyo Serna Galih dan Kharisma Wibawa
Diadakan oleh Bingkai Merah pada diskusi bedah buku, 19 Desember 2009.
Lekra singkatan dari Lembaga Kebudayaan Rakyat. Lekra didirikan pada tanggal 17 Agustus 1950. Lekra menganggap rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan. Bangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat. Oleh karena itu, Lekra dibentuk untuk bergiat melakukan kerja-kerja kebudayaan rakyat yang revolusioner.
Pada Bagian Pertama dalam buku ini terbagi ke dalam beberapa bahasan: Politik Sebagai Panglima, Lekra, Kelahiran dan Peran, Asas Metode dan Kombinasi, Dari Konferensi ke Konferensi dari Pleno ke Pleno, Zaman Baru: Buletin Bulanan Seni-Sastra Lekra, dan bahasan terakhir tentang KSSR: Jalan Sungsang “Pemerahan Total” Lekra.
Lekra mengadakan Kongres I pada 27 Desember 1959 di Solo. Pada kongres itu, Lekra secara politik merumuskan langkah-langkah dan visi berkesenian serta arah berkesenian dan berkebudayaan. Garis umum sikap berkebudayaan yang diambil Lekra adalah seni untuk rakyat dan politik adalah panglima di seluruh bidang kehidupan bangsa, termasuk kegiatan-kegiatan kebudayaan. Pada kongres itu juga Mukadimah Lekra direvisi. Isinya, “kesenian, ilmu, dan industri baru dapat menjadikan hidup rakyat indah, gembira dan bahagia, apabila semuanya ini sudah menjadi kepunyaan rakyat”.
A. Politik adalah Panglima
Perjuangan kebudayaan rakyat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjuangan rakyat secara umum. Ia merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama dari perjuangan kelas buruh dan tani yang menjadi pemimpin dan kelas terpenting dan pokok dalam perjuangan rakyat. Hal di atas adalah Mukadimah Lekra yang direvisi pada Kongres I Lekra di Solo.
Perjuangan menjadikan kelas buruh dan tani sebagai pemimpin adalah bentuk politik sebagai panglima dalam berkebudayaan Lekra. Lekra berpegang teguh bahwa seni adalah rakyat, seni tak bisa dipisahkan dari rakyat karena rakyat yang menciptakan seni. Politik sebagai panglima adalah landasan utama di dalam berkebudayaan Lekra. Kondisi revolusi saat itu mengharuskan politik menjadi panglima di tiap landasan kehidupan bernegara termasuk dalam hal kebudayaan.
Budaya yang tidak berpolitik adalah budaya yang menjauhkan diri dari rakyat. Kondisi riil rakyat tidak akan tertampung dalam budaya karena budaya yang dihasilkan hanya budaya yang indah secara estetika namun pesan revolusioner dan perjuangan sangat minim, bahkan tidak ada.
Pada kongres I lekra selain merumuskan kaidah-kaidah perjuangan lekra dalam budaya, juga mengadakan pameran-pameran budaya. Pameran budaya ini sebagai wujud nyata dari landasan Lekra untuk mengangkat seni rakyat ke tingkat nasional seperti yang dikatakan Nyoto: “bukan segugus wacana, dan teori-teori kebudayaan yang berat untuk diperdebatkan dengan mulut berbusa tanpa melibatkan masyarakat dan kebudayaannya“.
Ada sembilan pameran yang ditampilkan, yaitu pertunjukan musik dan tari menari (panggung terbuka dan tertutup), pertunjukan seni drama, pameran seni lukis, pameran patung, pameran poster, pameran penerbitan, pameran pakaian adat, pameran alat musik, serta pameran umum.
Lekra terbentuk untuk mendobrak persepsi “seni adalah seni” menjadi “seni adalah rakyat”. Rakyat yang membentuk seni itu sendiri. Lekra juga mendobrak batasan antara rakyat terbawah dengan rakyat terpelajar/rakyat elit. Hal itu dilihat dari Kongres I, bagaimana organ-organ buruh dan tani seperti SOBSI dan BTI mendapat tempat untuk mengaspirasikan kebudayaannya.
B. Asas, Metode, dan Kombinasi 1-5-1
Kombinasi 1-5-1 adalah simbol dan sikap berkesenian yang dikembangkan oleh Lekra yang menempatkan rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan. Dijelaskan Lekra pada Mukadimah yang telah direvisi tahun 1959: “bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan bahwa pembangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan oleh rakyat”.
Simbol 1-5-1 memiliki bermakna menempatkan politik sebagai panglima di dalam kerja-kerja budaya. Selain itu, menunjukkan lima kombinasi kerja, yaitu meluas dan meninggi, tinggi mutu ideologi dan tinggi mutu artistik, tradisi baik dan kekinian revolusioner, kreativitias individual dan kearifan massa, dan realisme sosial dan romantik revolusioner.
Meluas dan Meninggi
Kebudayaan kita memiliki ragam budaya yang banyak dan kaya. Luasnya budaya Indonesia menjadikan budaya kita sebagai aset berharga sekaligus sebagai alat perjuangan revolusioner melawan dominasi imperialisme. Lekra melihat, budaya Indonesia yang begitu luas dan beragam harus terus diangkat ke tingkat yang lebih tinggi sampai ke level politik. Itulah makna meluas dan meninggi.
Tinggi Mutu Ideologi dan Tinggi Artistik
Lekra memandang politik sebagai panglima dalam berkebudayaan mengharuskan seniman Lekra memiliki ideologi yang selaras dengan perjuangan revolusioner. Itu menjadi tumpuan bagi aktivitas kebudayaan Lekra. Tinggi artistik adalah bentuk karya yang diperoleh dari tafsir atas kenyataan dalam berkarya. Dengan tinggi artistik pesan politik yang disampaikan dalam karya seni akan memenuhi alat perjuangan yang ampuh.
Tradisi Baik dan Kekinian Revolusioner
Lekra adalah organisasi budaya yang menghormati dan menempatkan budaya-budaya lama yang kritis dan mengembangkan secara aktif untuk memenangkan yang baru dan maju. Lekra mendorong keberanian aktif dan menyetujui setiap aliran bentuk dan gaya selama ia setia pada kebenaran, keadilan, kemajuan. Pun mengusahakan keindahan artistik yang setinggi-tingginya. Tradisi baik yang diterapkan lekra meliputi tradisi belajar baik, berpikir baik, dan bermoral baik. Karya seni yang dihasilkan budayawan Lekra harus dimulai dengan belajar dari rakyat. Artinya, mengkaji dan menganalisis karya seni bukan dengan “semedi” tanpa melihat dan merasakan langsung apa yang dialami rakyat. Contoh, sebuah Tarian Upah Kerja yang terinspirasi dari kerja para buruh.
Kreativitas Individual dan Kearifan Massa
Masa-masa tahun 60an adalah masa “bentrok” antara para seniman Manikebu (Manifestasi Kebudayaan) dengan Lekra. Manikebu menolak seni untuk rakyat yang diusung oleh seniman Lekra. Para seniman Manikebu menuduh Lekra tidak menghargai kreativitas individual, suatu fitnah yang menyesatkan. Justru lekra menghargai kreativitas individu, namun kreativitas individu yang mementingkan massa rakyat. Lekra menganggap kreativitas individu mendapat kehormatan apabila kreativitas atau kecakapan individu itu digali dari kehidupan rakyat atau kearifan massa.
Realisme Sosialisme dan Romantik Revolusioner
Lekra memandang seni harus berpihak untuk rakyat tertindas. Seni juga harus realistik. Yakni, menggambarkan kehidupan riil rakyat yang tertindas. Tidak diproduksi dari angan-angan. Tidak takhyul. Tidak mengada-ngada. Dari penggambaran kehidupan yang riil itu, nuansa dan perspektif perlawanan rakyat yang revolusioner harus dimuat. Di dalam prosesnya, setiap seniman Lekra harus mampu melihat kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di dalam masyarakat. Materialisme Dialektika Historis yang berasal dari Sosialisme Ilmiah menjadi lagam ideologi di setiap seniman Lekra dalam melihat kontradiksi-kontradiksi itu. Hal itu ditegaskan di dalam hasil Kongres Nasional I Lekra di dalam mukadimahnya, “mengajarkan pemahaman yang tepat atas kenyataan-kenyataan di dalam perkembangannya serta baris depannya dan untuk secara dalam mempelajari kebenaran yang hakiki dari kehidupan dan untuk bersikap setia kepada kenyataan dan kebenaran”.
Apa kemudian karya-karya seni Lekra begitu kaku? Tidak. Lekra sendiri memberikan leluasa kepada setiap senimannya untuk mengeksplorasi item-item seni secara romantik. Namun, jiwa revolusioner harus tetap dimuat untuk menghindari romantika yang mendayu-dayu, cengeng, dan individual yang menempatkan diri pada kontra revolusioner.
Dari lima kombinasi atau formula kerja Lekra, satu syarat pokok yang harus dilakukan oleh setiap seniman Lekra adalah Turba (Turun ke Bawah). Setiap seniman Lekra harus berada di tengah-tengah rakyat untuk menghasilkan karya-karya sesuai dengan formula 1-5-1. Lekra mengembangkan tiga sama: sama-sama bekerja, sama-sama makan, sama-sama tidur bersama rakyat. Mustahil menerapkan 1-5-1 tanpa terlibat langsung di dalam kehidupan rakyat tertindas dan aktif dalam aksi-aksi revolusioner.
C. Lekra: Organisasi dan Keanggotaan
Secara organisatoris Lekra memiliki struktur:
1. Sekretaris Pusat: 1 Sekretaris Umum dan 2 Wakil Sekretaris dan 8 anggota. Tugasnya sebatas peran administratif, menjadi menghubung kerja antara lekra dengan lembaga-lembaga kesenian lain buatan Lekra.
2. Pengurus Daerah: bertugas mengoordinir kebijakan pusat dengan aspirasi cabang
3. Pengurus Cabang: mengoordinir pengurus daerah dengan pengurus ranting
4. Pengurus Ranting: bersentuhan langsung dengan massa rakyat bawah.
Lembaga-lembaga kreatif buatan Lekra.
Konsep 1-5-1, meluas dan meninggi diterapkan praksis oleh lekra dengan membuat lembaga-lembaga kreatif untuk menghimpun kebudayaan rakyat. Lembaga-lembaga kreatif ini menjadi penyeimbang untuk membangkitkan kreativitas dan potensi seniman serta pekerja-pekerja kebudayaan rakyat. Hubungan antara Lekra dengan lembaga-lembaga kreativitas ini jaring menjaring dan melakukan konsolidasi terhadap masalah-masalah di lingkungan politik dan kebudayaan. Berikut adalah 6 lembaga kreatif hasil bentukan Lekra :
• Lesrupa (Lembaga Seni Rupa)
• LFI (Lembaga Film Indonesia)
• Lestra (Lembaga Sastra)
• LSDI (Lembaga Seni Drama Indonesia)
• LMI (Lembaga Musik Indonesia)
• LSTI (Lembaga Seni Tari Indonesia)
Pengambilan keputusan Lekra dalam menentukan tujuan, ideologi, dan strategi kebudayaan memiliki tingkatan, yakni Kongres Nasional (forum tertinggi), Konferensi Nasional, Sidang Pleno (sidang pimpinan Lekra bersifat terbatas).
Keanggotaan Lekra diatur dalam anggaran dasar baru hasil kongres nasional I solo, bahwa anggota Lekra diwajibkan menjadi salah satu anggota lembaga kreatif dan aktif di dalamnya.
Lekra bukan lembaga tertutup dan eksklusif, seniman-seniman yang bukan anggota Lekra namun berjuang di seni rakyat diberikan tempat oleh Lekra. Seminar-seminar, latihan-latihan, serta diskusi-diskusi Lekra juga terbuka untuk seniman yang bukan anggota Lekra.
D. Lekra Bukan Underbouw Partai Komunis Indonesia (PKI)
Banyak persepsi yang mengatakan Lekra adalah organisasi turunan PKI. Mengatakan Lekra tidak ada hubungan dengan PKI adalah tidak tepat, namun mengatakan Lekra adalah organisasi turunan PKI juga salah. Fakta sejarah menyatakan Lekra bukan organisasi underbouw PKI. Terlihat ketika PKI mengadakan KSSR (Konferensi Sastra dan Seni Revolusioner).
Secara garis konstitusional Lekra tidak terlibat dengan penyelenggaran KSSR. Namun, individu-individu Lekra banyak terlibat di konferensi itu. KSSR (27 Agustus - 2 September 1964) sendiri terselenggara dari hasil sidang pleno CC PKI pada akhir 1963 yang menetapkan tentang pentingnya memberikan semacam garis-garis fundamental bagi penciptaan sastra dan seni yang revolusioner dan berhubungan dengan pelaksanaan TAVIP.
KSSR diadakan untuk mendorong perkembangan sastra dan seni Indonesia yang berkepribadian nasional dan mengabdi pada rakyat serta untuk lebih mengintregasikan sastra dan seni dengan rakyat dan manipol.
Polemik mengenai “pemerahan” Lekra sangat kental ketika anggota-anggota Lekra terlibat dalam KSSR. Namun, di dalam tubuh lekra sendiri tidak semua anggotanya berpaham komunis. Saat itu, Pramoedya Ananta Toer, A. S. Dharta, M. S. Ashar dan beberapa tokoh Lekra tidak berpaham komunis. Mereka disebut sebagai budayawan yang manipolis revolusioner. Senanda dengan resolusi KSSR: “kepada sastrawan, seniman, dan pekerja kebudayaan komunis pada umumnya mengajak segenap sastrawan, seniman, dan pekerja kebudayaan manipolis revolusioner lainnya untuk menguasai.... menjadikannya milik rakyat dan bersama-sama dengan rakyat membangun kebudayaan yang berkepribadian nasional”.
Nyoto salah satu pimpinan Lekra dan PKI menolak Lekra bergabung sebagai underbouw PKI. Akan ada sebuah konsekuensi yang akan diterima Lekra jika bergabung dengan PKI, yakni pada garis komando dan instruksi kerja Lekra nantinya. Aidit menilai Lekra sebagai keluarga komunis.
PKI memberikan fasilitas yang mewah terhadap gerakan Lekra. Terlebih di Harian Rakyat, media PKI, karya-karya Lekra mendapatkan ruang yang luas. Sebagai kosekuensinya Lekra harus “mengganti” hal tersebut dengan memberikan dukungan terhadap garis perjuangan partai.
Bantuan Lekra terhadap partai tidak menyalahkan Mukadimah, Peraturan Dasar, atau pun Laporan Umum. Dalam Laporan Umum Lekra pada Kongres I di Solo yang ditulis oleh Joebaar Ajoeb menyatakan “ tradisi kita yang sejati adalah tradisi bahwa gerakan kebudayaan dan gerakan politik itu satu. Bahkan tidak jarang satunya gerakan kebudayaan dan gerakan politik dipersonifikasikan dalam arti satu pula”. Jelas bahwa Lekra memandang gerakan politik PKI yang membela kaum-kaum tertindas sama dengan garis perjuangan Lekra untuk membela kaum tertindas dengan seni sebagai senjatanya. Budaya tidak bisa terpisah dari politik begitu juga sebaliknnya. Konsekuensinya budayawan-budayawan Lekra tidak bisa lepas dari ranah poltik dan politikus pun tidak bisa lepas dari ranah budaya.
Budaya adalah senjata dalam perjuangan politik kaum tertindas. Budaya dan politik tidak bisa berdiri sendiri dalam perjuangannya atau perjuangan politik tidak bisa tergantikan dengan perjuangan kebudayaan begitu juga sebaliknya.
E. Lampiran-lampiran serta hasil-hasil konfernas serta rapat pleno lekra
Berikut hasil-hasil konferensi serta sidang-sidang pleno Lekra. Beberapa di antaranya menghasilkan aksi-aksi Lekra.
• Kongres I di Solo (24 - 29 Januari 1959) menghasilkan Mukadimah yang direvisi, Resolusi, serta Laporan Umum. Konkritnya setelah Kongres I ini tercipta lembaga-lembaga kreatif bentukan Lekra.
• Rapat Pleno I di Solo (28 Januari 1959) menyusun kepengurusan pimpinan pusat Lekra dan pengurus Sekretaris Pusat.
• Rapat Pleno II di Jakarta (31 Agustus 1960) menegaskan garis perjuangan Lekra sesuai dengan Mukadimah, Laporan Umum. Konkritnya menghentikan dukungan terhadap BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional) yang sudah tidak sesuai dengan garis perjuangan Lekra. Lekra harus segera melaksanakan pekerjaan kebudayaan dari tingkat taman kanak-kanak dan sekolah rakyat. Selain itu kegiatan seni di lingkungan sekolah dan kampung-kampung harus terus digalakan.
• Konfrensi Nasional I di Bali (25 - 27 Febuari 1962) menghasilkan pemboikotan kebudayaan sempalan Amerika Serikat: film, musik, dll. Menolak pembuatan, penimbunan serta pemakaian tenaga nuklir. Pada konferensi ini Lekra mengevaluasi hasil dari Kongres I: hari Seni Krida di sekolah-sekolah, penerjemahan sastra dari bahasa Indonesia ke bahasa asing, dari bahasa asing ke bahasa daerah telah dilaksanakan. Gedung-gedung pemerintahan telah dihiasi dengan karya-karya lukis kerakyatan.
• Konferensi Nasional II di Jakarta (24 - 25 Agustus 1964) menghasilkan dukungan pada gerakan politik yang berlawan dan menyepak imperialisme, baik dari Amerika Serikat, Inggirs mau pun India di kawasan Asia terutama Asia Tenggara. Langkah konkrit dengan memboikot film-film Amerika Serikat dengan membentuk PABFIAS.
F. Zaman baru; Tabloid Bulanan Seni dan Sastra Lekra
Zaman baru adalah tabloid sastra resmi lekra. Isi dari zaman baru beragam soal kebudayaan. Zaman baru merupakan senjata bagi Lekra untuk penyadaran rakyat. Mereka yang terlibat dalam Zaman Baru adalah para pentolan kebudayaan. Sebut saja Basuki Resbowo, Rivai Apin, Agam Wispi, Rukiah Kertapati, Banda Harahap, Hendra Gunawan, dan masih banyak lagi.
Berikut hasil bedah buku Lekra Tak Membakar Buku pada Bab I, Mukadimah. Diskusi bedah buku ini diadakan oleh Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat, yang secara rutin mengadakan diskusi-diskusi sederhana dan terbatas.
Minggu depan, 8 Januari 2009, pukul 16.00 WIB, diskusi bedah buku mandiri ini akan dilanjutkan pada Bab II. Di dalam setiap pembedahan diselingi deklamasi puisi-puisi dan pembacaan prosa karya seniman-seniman Lekra.
Salam Pembebasan!
www.bingkaimerah-indonesia.blogspot.com
30 Desember 2009
Resensi Lekra Tak Membakar Buku (Bedah Buku Bab Per Bab) Bab I: MUKADIMAH
Komentar :
ada
1
Posting Komentar
Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.
Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.
Terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
seperti halnya Lekra..
SeBUMI juga memakai metode 1-5-1 sebagai strategi dan taktik dalam perlawanannya...