3 Januari 2010

Mengakhiri Tahun 2009 Tanpa Perubahan


Oleh Bintang Fajarbudi Semesta*

Di tanah yang basah ini kita duduk melingkar. Bicara tentang kemiskinan. Bicara tentang penindasan. Bicara tentang kemerdekaan. Beberapa menit menjelang tahun baru, kita melingkar berbulat tekad untuk memerjuangkan rakyat tertindas. Di tanah basah ini bersama rakyat tertindas kita songsong tahun 2010 dengan menguatkan perjuangan rakyat. Sebab, tahun 2009 dan tahun-tahun sebelumnya, tahun-tahun penuh penindasan.

Begitu pengantar renungan akhir tahun bersama kawan-kawan Bingkai Merah. Organisasi yang coba membangun media rakyat itu mengadakan acara pergantian tahun secara sederhana.

Acara pergantian tahun baru itu diadakan di sekitar kawasan Rawasari Jakarta Timur. Di wilayah itu terdapat kampung pemulung. Biasa disebut Kampung Depang. Sebagian besar dari mereka berasal dari Indramayu. Kampung itu tidak seperti kampung pada umumnya. Jumlah warganya tidak sebanyak kampung lainnya. Kebanyakan warga di sana memiliki ikatan kekerabatan sejak migrasi dari daerah asal. Kampung yang kecil, namun mereka begitu hangat dan tanpa pamrih kepada orang luar yang ingin datang membantu.

Kampung Depang terbilang baru. Warga di sana membangun kampung itu sejak tahun 2007. Sebenarnya, Kampung Depang merupakan tempat pelarian warga miskin yang digusur dari beberapa tempat.

Pada 2007 telah terjadi penggusuran kampung-kampung di sekitar Cempaka Putih Jakarta Timur. Pun pada Januari 2008 telah terjadi penggusuran besar-besaran disertai pembakaran oleh Satpol PP di kawasan Rawasari. Warga di sana pindah ke beberapa tempat di sekitar wilayah yang digusur. Sebagian pulang ke daerah asal. Beberapa di antara mereka datang dan tinggal di lahan kosong milik Bulog, Departemen Pangan (Depang), Rawasari. Jumlah warga miskin yang tinggal di sana dibatasi. Hingga sekarang, tidak lebih dari 500 kepala keluarga yang tinggal di sana.

Letaknya dekat gudang Bulog dan perumahan Departemen Pangan. Gudang itu salah satu gudang milik Bulog yang banyak terdapat di Jakarta. Gudang itu lebih berfungsi sebagai tempat penyimpanan arsip-arsip Bulog sejak Bulog pertama kali didirikan.

Di sekitar kampung terdapat tempat pemancingan ikan. Tempatnya relatif bersih karena berada di atas tanah lapang. Namun, ada satu gundukan sampah dari warga perumahan yang selalu dibakar warga Kampung Depang. Terkesan, warga perumahan membuang sampah, warga Kampung Depang mengurusnya. Di sana juga terdapat lapangan bola berbatasan langsung dengan perumahan warga kelas menengah atas. Meruncingkan kondisi yang kontras. Pemandangan umum yang terlihat di setiap sudut kota Jakarta.

Di tanah lapang persis di depan rumah warga, acara pergantian tahun baru berlangsung. Sejak pukul 19.00 anak-anak sudah berkumpul sambil membawa terompet. Mereka menunggu kakak-kakak yang selama ini mengajar mereka. Seringkali terompet berbunyi. Seakan anak-anak tidak sabar ingin merasakan pergantian tahun baru.

Tidak lama, kawan-kawan dari Bingkai Merah datang secara bergelombang. Sejumlah 13 orang. Kedatangan mereka disambut oleh asap tebal dari pembakaran sampah yang berjarak sekitar sepuluh meter dari rumah warga. Beberapa di antara mereka merasa risih karena tidak terbiasa. Anak-anak antusias menghampiri mereka. Beberapa anak-anak langsung mengajak bermain.

Acara memang tidak berjalan sesuai rencana. Kawan-kawan berharap banyak warga berkumpul. Namun, di malam tahun baru itu, mereka keluar ke berbagai tempat. Jangan mengira mereka merayakan tahun baru di berbagai tempat seperti warga lainnya. Mereka keluar rumah untuk berjualan terompet atau menjual barang dagangan lainnya. Memanfaatkan kesempatan malam tahun baru untuk menambah penghasilan. Tohir, salah satu penadah barang bekas, menyempatkan waktunya untuk berjualan sebelum bergabung di acara itu.

“Tadi saya jualan terompet dulu di Monas, tapi nggak lama karena dikejar-kejar Satpol PP. Kami dilarang berjualan di sana. Banyak yang ditangkap. Untung saya lari duluan. Nih, terompet masih banyak, padahal modalnya juga lumayan. Jadi rugi”, kata Tohir.

Meski demikian, acara malam tahun baru di tempat itu memberi kesan yang mendalam. Keceriaan dan keaktifan anak-anak menjadi bumbu penyedap yang tidak bisa ditandingi oleh apa pun dalam memeriahkan suasana. Lagu-lagu yang menggambarkan potret dan protes kaum marjinal didendangkan. Sebagian anak-anak ikut menyanyikannya. Semakin menumbuhkan semangat perlawanan.

Kuis dengan hadiah-hadiah sederhana meningkatkan andernalin anak-anak. Mereka semakin antusias. Berbagai pertanyaan coba dijawab. Hingga semua hadiah habis.

Waktu pun terus berlalu. Menyingsing tengah malam. Suasana yang hangat semakin dalam. Angin yang lembab bertiup perlahan. Pertanda hujan akan turun. Serbuan asap sampah yang terbakar semakin berkurang. Beberapa kembang api sudah mulai dinyalakan oleh orang lain di sekitar lapangan bola. Bunyi gelegar dan serpihan warna-warni menghias langit hitam. Penantian pergantian tahun baru seakan semakin dekat. Saat itu, waktu menunjukkan pukul 21.30.

Malam semakin larut. Rasa lapar datang. Makanan kerang sudah disiapkan beserta nasi. Anak-anak, keluarga Tohir, dan kawan-kawan menyantap makanan tahun baru itu. Canda gurau saat makan bersama menambah nikmatnya makanan. Kebersamaan semakin terasa. Kesan semakin dalam. Terlebih bagi kawan-kawan yang sepanjang hidupnya baru menapaki tanah kemiskinan Jakarta.

Eka Herlina, mahasiswi Fakultas Jurnalistik Institut Ilmu Sosial Indonesia, Depok, yang berasal dari Padang, membatalkan ajakan teman-temannya merayakan malam tahun baru di luar kota atau ikut saudaranya pulang ke Padang. Suasana yang pasti sangat meriah dan menyenangkan. Eka begitu terharu menyaksikan kegembiraan di dalam kesederhanaan selama acara itu. Kesan itu tertulis di blognya, www.mengapahanyamimpi.wordpress.com.

“Ada miris di hati gue, saat mereka berebutan Sprite dan rela mengambil gelas yang ‘tak layak’ demi bisa menikmati minuman tersebut. Apalagi saat sesi kuis dan nyanyi serta ‘kembang api’. Gue hanya mampu menangis”, begitu yang dinyatakan Eka di dalam blognya.

Selain Eka, Idris mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta yang aktif di kegiatan jurnalistik kampus, berpendapat, “sebelum saya ke tempat ini, saya punya persepsi bahwa anak-anak kampung, anak-anak jalanan, dan orang-orang miskin hanya sampah masyarakat. Namun, semua itu telah berubah sejak saya mengikuti semua proses malam tahun baru ini hingga di akhir renungan ini”.

Idris berasal dari Brebes. Ia terbiasa dengan suasana kemiskinan di desanya. Tetapi tidak seekstrim kemiskinan di kota Jakarta. Kondisi kemiskinan di Kampung Depang menggugah pikiran dan perasaannya.

Acara dilanjutkan dengan menyalakan kembang api yang bertangkai. Kembang api di bagikan ke anak-anak. Mereka menggerakkan kembang api sambil bernyanyi dan berteriak sesuka hati. Kemudian tiga kembang api besar diletuskan ke arah langit. Letusannya sebanyak enam kali untuk setiap batang kembang api. Langit berhias warna-warni. Beberapa anak-anak terdiam, asik melihat warna-warni kembang api. Sebagian lagi meloncat tinggi-tinggi, seakan ingin menggapai serpihan warna kembang api di langit. Pada batang kembang api pertama, untuk tiap letusan, anak-anak berteriak, “merdeka!”. Suasana begitu meriah. Meski sesekali hujan rintik, namun bulan purnama enggan berselimut awan tebal.

Di tengah riuh meriahnya acara itu, seorang anak berumur 12 tahun celetuk, “tetap saja tahun depan saya mulung”. Anak itu membantu orang tua mencari barang-barang bekas setiap hari. Pada usia itu, ia menarik sendiri gerobak yang bertumpuk barang-barang bekas. Tinggi tumpukan barang-barang itu dua kali lipat tinggi badannya.

Harapan kosong yang diutarakan anak itu menggambarkan kondisi warga miskin lainnya. Selama tahun 2009 dan tahun-tahun sebelumnya kondisi ekonomi warga miskin tidak meningkat. Padahal, janji-janji manis wakil-wakil rakyat dan presiden yang terpilih saat ini masih teringat di pikiran warga miskin. Mereka yang menjabat di DPR dan pemerintahan adalah penipu ulung yang terus menerus membodohi warga miskin.

*Penulis adalah kontributor Bingkai Merah.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Mengakhiri Tahun 2009 Tanpa Perubahan”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id