6 Januari 2010

Gus Dur Pahlawan Nasional, Suharto Penjahat Nasional!

Oleh Bintang Fajarbudi Semesta*

Suasana berkabung masih menyelimuti bangsa Indonesia. Kematian Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, mantan Presiden Republik Indonesia keempat, meninggalkan duka. Belum tujuh hari masa berkabung, ruang publik yang masih berduka diusik ambisi politik ego sektoral dari Partai Golkar.

Bermula dari rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di awal 2010 (Senin, 4/01). Salah satu agenda rapat membahas pemberian gelar Pahlawan Nasional bagi Gus Dur. Usulan itu berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa. Kiranya usul itu masuk akal dan patut dipertimbangkan. Sebab, Gus Dur selama ini berjuang untuk mencairkan demokrasi yang telah lama membeku oleh fasisme rezim Suharto. Meski sangat bernuansa politis.

Di tengah pembahasan, Gandung Pardiman dan Nudirman Munir dari Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar membahas juga usulan gelar Pahlawan Nasional kepada Suharto, mantan Presiden Indonesia kedua. Tidak lama kemudian, Agun Gunanjar Sudarsa juga dari Fraksi Partai Golkar, di dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta mempersoalkan satu keputusan Gus Dur saat dia menjabat sebagai Presiden. Yang menjadi soal baginya, yaitu Dekrit. Padahal, Dekrit yang dikeluarkan Gus Dur sebagai upaya legitimasi terakhir untuk melawan upaya-upaya pemakzulan yang inkonstitusional dari lawan-lawan politiknya. Salah satu Dekrit berbunyi, Bubarkan Golkar!

Partai Golkar terkesan munafik dan pragmatis. Partai Golkar setuju Gus Dur mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Tetapi, Suharto harus juga mendapatkannya. Apalagi Gus Dur telah melakukan kesalahan dengan membuat Dekrit pada 1999. Jika Gus Dur bisa mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dengan kesalahannya itu berarti Suharto pun bisa. Begitu logika Partai Golkar.

Publik yang sangat sadar dengan perjalanan demokrasi bangsa Indonesia heran atas logika itu. Kesan yang pertama muncul ialah Partai Golkar coba mendompleng kematian Gus Dur yang fenomenal. Momen duka itu mendapat simpati dan apresiasi masyarakat luas. Hingga mengantar pada titik kulminasi usulan gelar Pahlawan Nasional. Pendomplengan nama Suharto atas kebaikan dan jasa-jasa besar Gus Dur selama ini yang disusulkan Partai Golkar sangat tidak etis dan proporsional. Terlebih terjadi di masa berkabung.

Usulan Partai Golkar yang menginginkan Suharto mendapat gelar Pahlawan Nasional merupakan upaya cuci tangan atas kejahatan-kejahatan Partai Golkar dan pemimpin besarnya di masa lalu. Upaya yang sesungguhnya memperlihatkan Partai Golkar masih berwajah lama dan tidak mau bertanggung jawab terhadap rakyat banyak yang selama ini dirugikan oleh mereka.

Usulan mereka mengingatkan kita atas iklan politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menggelari Suharto sebagai Pahlawan Nasional pada 2008. Sungguh pertimbangan politik yang irasional, ahistoris, pragmatis, dan tidak sensitif dengan nilai-nilai hak asasi manusia.

Gus Dur Antitesis Suharto

Gus Dur berbeda dengan Suharto. Gus Dur adalah ‘antitesis’ Suharto. Sebagai antitesis, ia berlawan. Ia tidak terdamaikan dengan tesis awal. Ia bertolak belakang. Sekaligus ia menawarkan pemecahan dan penyelesaian. Kita lihat satu per satu.

Gus Dur sangat mengedepankan keberagaman (pluralisme). Sedangkan Suharto keseragaman. Hal itu dapat kita lihat dengan upaya Gus Dur memberi ruang bagi kebebasan beragama dan mendukung potensi-potensi beragam bangsa yang ada di wilayah Indonesia. Pun kemajuan pergerakan perempuan. Istrinya menjadi salah satu pejuang kesetaraan perempuan. Ia juga membebaskan dinamika pergerakan kelompok-kelompok politik sepanjang tidak melanggar konstitusi. Sedangkan, Suharto mengedepankan politik monopoli (Golkar sebagai mesin politik super), sentralisasi informasi, jawaisasi kerdil, militerisme di segala bidang, domestikasi dan objektivikasi subordinat perempuan, dan memelihara diskriminasi atas kaum tiongkok secara umum di ruang publik.

Gus Dur sangat humanis kebalikan dari Suharto. Gus Dur sangat menghargai hak asasi manusia. Ia akan sangat marah saat kemanusiaan dicederai meski itu kelompok yang berbeda darinya. Ia mendorong agar peristiwa-peristiwa dehumanisasi sejak tahun 1965 hingga di masa pemerintahannya diusut sejalan dengan demokrasi, hukum, dan hak asasi manusia. Bahkan Gus Dur sangat “dekat” dengan orang-orang kiri. Jangan heran, Gus Dur suka sekali membaca tulisan-tulisan orang-orang kiri dari Uni Sovyet. Karya Lenin Vladimir llych dan Tolstoy salah satunya. Beberapa karya Karl Marx dibacanya sewaktu dia muda.

Sementara itu, Suharto telah melakukan dehumanisasi sepanjang 32 tahun berkuasa. Suharto telah membunuh jutaan orang sejak 1965. Pada tahun 1965, diperkirakan tiga juta lebih orang-orang kiri dibunuh demi meladeni ambisi negara-negara imperialis dan mengantarkan dia pada puncak kekuasaan. Tidak berhenti di sana saja. Sesudahnya, dia menghabisi lawan-lawan politiknya dengan represi. Beberapa di antaranya “hilang” hingga kini, tidak jelas dimana.

Suharto pula yang menyiapkan pacu landas pesawat tempur kapitalisme untuk menghabisi seluruh sumber daya Indonesia. Titik awal dari sistem ekonomi pasar bebas (neoliberalisme) yang dianut oleh penguasa sampai saat ini. Titik awal proses pemiskinan rakyat berlipat dasarwarsa. Sementara elit kekuasaan, terlebih Suharto sekeluarga, berlimpah kekayaan.

Kekayaan yang menumpuk pada puncak kekuasaan yang dikendalikan Suharto memelihara gurita yang giat korupsi. Ia membentuk banyak lembaga atau yayasan untuk penumpukan modal. PBB dan Bank Dunia menempatkan Suharto berada di tempat teratas sebagai mantan kepala negara terkorup sedunia dan harus diminta pertanggungjawaban di hadapan rakyat dan dunia internasional. Kedua lembaga itu mencatat Suharto telah menggelapkan uang sebanyak US$ 15-35 miliar selama 1967-1993.

Setelah reformasi tercetus, Gus Dur sebagai Presiden mengecam sekaligus gencar mengusut korupsi yang dilakukan keluarga Cendana. Ia mengajukan Suharto ke pengadilan umum. Pada 6 Desember 1999, Gus Dur menunjuk Marzuki Darusman, Jaksa Agungnya, untuk mengusut kekayaan Soeharto. Akhirnya Suharto dikenakan tahanan rumah dan aset-aset Soeharto disita. Namun, usaha Gus Dur tidak berjalan mulus. Pada 29 September 2000, majelis hakim PN Jakarta Selatan menetapkan kasus itu tidak bisa diteruskan.

Gus Dur tidak menyerah sampai di sana. Pada 6 Juni 2001, Gus Dur mengangkat Baharuddin Lopa (Barlop) menggantikan Marzuki Darusman yang dinilai lemah. Barlop terkenal sebagai jaksa yang tegas tidak pandang bulu dan keras dalam menjalankan tugasnya. Semasa dia hidup dan bertugas sebagai Jaksa Agung, Bob Hasan berhasil dipenjarakan ke Nusakambangan, selain Arifin Panigoro, Nurdin Halid, dan Akbar Tandjung. Saat itu juga kasus korupsi terbesar yang melibatkan kekaisaran Cendana sedang diusut sebelum akhirnya ia wafat.

Gus Dur juga berani membuka skandal korupsi Yayasan Dharma Putra yang berhubungan dengan Kostrad. Selain itu, Gus Dur memecat Jenderal Wiranto yang menghalangi reformasi militer untuk keluar dari ruang sosial-politik.

Intinya, Gus Dur sebagai Presiden pertama terpilih secara demokratis, telah menaruh kembali kereta demokrasi dan negara hukum pada relnya bagi semua elemen masyarakat (meski banyak pembajakan di sana-sini). Hal yang sangat penting untuk membangun bangsa yang lebih maju dan beradab. Berbeda sekali dengan Suharto yang memerintah rakyat secara otoritarian fasistik dan korup.

Perbedaan jejak perbuatan antara Gus Dur dan Suharto di atas menunjukkan suatu antitesis yang bulat telah terbukti.

Publik dan Kesadaran Palsu
Beberapa orang masih berpendapat bahwa Suharto layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional meski fakta-fakta sejarah menunjukkan banyak kejahatannya. Publik yang berbicara demikian adalah orang-orang yang semasa rejim Orde Baru telah dininabobokan (hegemoni) dan belum bangun sampai saat ini. Mereka telah masuk ke alam ilusi tentang pembangunan merata, pertumbuhan ekonomi, pemerataan penduduk, pendidikan berkualitas, kepemimpinan karismatik, dsb, dsb. Selebihnya adalah anak-anak didik dan antek-antek rejim Orde Baru yang terus mencoba melanggengkan alam mimpi itu.

Pada sistem sosial yang berlandaskan pada penindasan dan eksploitasi, orang-orang dibuat sadar untuk tidak menyadari landasan tersebut. Penguasa Orde Baru melanggengkan kondisi itu dengan mengontrol berbagai media dan sumber-sumber daya reproduksi sosial. Informasi yang tersentralisir, monopoli media, aparatus negara yang militeristik, manipulasi konstruksi sejarah, jargon-jargon ilutif, pendidikan yang membelenggu, produk-produk budaya manikebuis, infrastruktur-infrastruktur ahistori, dongengan tahyul dan mistik, suprastruktur ideologis (norma, moralitas, gagasan politik kelas, dan nilai-nilai ideal) status quo, dan domestikasi perempuan merupakan modus-modus peninakboboan publik yang sangat halus, bahkan sering tidak nampak.

Agen-agen hegemoni menyebar ke seluruh lapisan masyarakat. Selain apparatus negara, rohaniwan, filsuf, penyair, sejarahwan, dan guru-guru membantu mengendalikan golongan tertindas dengan gagasan-gagasan dan material yang selaras status quo. Pola dan mudus yang serupa dilakukan rejim saat ini. Rejim Neo Orde Baru yang otoritarian malu-malu dan korup.

Gagasan kolektif itu bermula dengan cara represi dan mengendalikan semua material dialektika agar semua rakyat tunduk atas gagasan itu. Setelah itu direproduksi (berkembang biak) dengan segala sumber daya materil pada generasi berikut menjadi kesadaran kolektif.

Kesadaran publik yang meyakini bahwa Suharto memiliki jasa-jasa besar bagi pembangunan bangsa Indonesia hasil dari perembesan kesadaran kelas berkuasa yang menindas. Ideologi ini menyamarkan modus dominasi dan proses penindasan membuat segala sesuatu nampak wajar-wajar saja bagi si tertindas mau pun akhirnya bagi si penindas. Inilah publik yang sadar tapi kesadarannya palsu.

Kepantasan Menjadi Pahlawan Nasional
Menukik dari perbandingan jejak jasa antara Gus Dur dan Suharto dan relevansinya dengan gelar Pahlawan Nasional, perlu diperlihatkan secara objektif kriteria penetapan gelar Pahlawan Nasional.

Berdasarkan UU No 20/2009 tentang Gelar Tanda Jasa dan Kehormatan, terdapat beberapa kriteria seseorang bisa diberi gelar Pahlawan Nasional. Kriteria itu mengemuka pada Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26. Secara garis besar berisi kriteria, “seorang yang berjuang bagi NKRI dengan pemikiran besar dan menghasilkan karya besar dengan konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi, integritas moral, keteladanan, berkelakuan baik, tidak pernah dipidana penjara minimal 5 tahun, dan berjasa bagi bangsa dan negara. Perjuangan yang luas itu bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa dan dapat mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.”

Berdasarkan kriteria di atas, secara objektif dan konstitusional kita bisa cocokkan kriteria-kriteria itu kepada Gus Dur dan Suharto. Kesimpulannya, Gus Dur lebih memenuhi kriteria-kriteria itu dibandingkan Suharto.

Persoalannya kemudian, Dewan Gelar belum terrbentuk. Lembaga ini berwenang memertimbangkan dan menentukan seorang untuk mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Inisiatif terbentuknya Dewan Gelar berada di tangan Presiden untuk memenuhi apresiasi besar dari rakyat luas.

Terlepas dari gandrung apresiasi publik (gelar Pahlawan Nasional) yang menuntut mewujud secara formal, publik harus kembali kepada semangat perjuangan Gus Dur sebagai seorang pemimpin besar. Apresiasi besar itu harus ditujukan menjadi tuntutan publik kepada negara agar mengikuti perjuangan Gus Dur. Sebab, negara saat ini memperlihatkan suatu rejim yang tidak jauh berbeda dari rejim yang sangat ditentang Gus Dur semasa ia hidup, meski dengan formasi yang berbeda. Di mana Gus Dur menjadi antitesisnya.

Sesungguhnya nilai Pahlawan Nasional sudah tertanam di dalam diri Gus Dur. Hal itu dibuktikan pada aksi-aksi nyatanya. Predikat itu diakui masyarakat luas. Sehingga, ada gelar Pahlawan Nasional atau pun tidak, bukan suatu soal. Sesungguhnya, Gus Dur sudah menjadi Pahlawan Nasional, meski tanpa “gelar” sekali pun.

* Penulis adalah jurnalis Bingkai Merah, organisasi media rakyat.

Komentar :

ada 1
Mutiara mengatakan...
pada hari 

Aku sepakat dengan karakter demokratis Gus Dur, yang jauh lebih baik dibandingkan elit politik pada masa Orde Baru. Salah satu yang aku hargai misalnya, sebagai ketua NU, Gus Dur meminta maaf secara terbuka atas keterlibatan NU dalam pembantaian rakyat tahun 1965.
Namun, aku juga ingin menyampaikan hal yang kontradiktif dari Gus Dur, yang menurut ku tidak disebutkan dalam artikel di atas. Misalnya, keterlibatan Gus Dur dalam mengkampanyekan Golkar pada pemilu 1997 bersama Tutut, anak Soeharto. Hal yang dilandasi oleh ketidaksepakatan Gus Dur pada radikalisasi massa pada tahun 98 (dan peningkatannya) menyebabkan dia mengambil langkah tersebut. Dia menolak konfrontasi terbuka dengan Orde Baru. Bahkan ketika dia bersama dengan Amien Rais dan Megawati saat diminta membuat pernyataan yang mendukung perubahan,pun menolaknya (Pertemuan Ciiganjur).
Menurutku, itu sisi lain yang perlu juga kita pelajari dari Gus Dur, ketidakpercayaannya dengan kekuatan politik mobilisasi massa, yang dalam beberapa tahun setelah 98 (saat ia menjabat) sebenarnya bisa menjadi kekuatan untuk meng-counter kekuatan lawan-lawan politik yang ingin menjatuhkannya.

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id