31 Januari 2010

Minimnya Lahan Bermain Anak

Oleh Candra Irawan Hartadi*

Perkembangan kota yang pesat menimbulkan banyak masalah. Salah satunya perubahan fungsi lahan. Pemerintah Kota dan pihak swasta sering mengubah fungsi ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun, gedung-gedung atau fasilitas-fasilitas komersial. Berdampak hilangnya fasilitas umum yang biasa digunakan oleh warga. Salah satunya fasilitas bermain anak.

Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1997 tentang Penyerahan Prasarana Lingkungan, Utilitas Umum, dan Fasilitas Sosial Perumahan Kepada Pemerintah Daerah, terlihat jelas setiap pengembang perumahan diwajibkan membangun sarana dan prasarana, di antaranya fasilitas tempat bermain. Kenyataannya, hampir semua tempat bermain digabung dengan fasilitas olah raga, Taman Kanak-kanak, atau fasilitas ibadah dalam satu ruang terbuka (open space), khususnya yang berada di Perumahan Rumah Sederhana. Tidak jarang, lokasi ruang terbuka disediakan pada lahan-lahan sisa.


PBB mencatat, hingga tahun 2005 separuh dari anak-anak yang tinggal di kota semakin hari kehilangan tempat bermain. Hal itu tercermin dari banyaknya anak-anak yang bermain di tempat-tempat yang bukan semestinya tempat bermain. Mereka bermain di jalanan, bantaran kali, dan taman-taman kota.

Secara alamiah, dunia anak adalah dunia belajar dan bermain, bukan dunia bekerja mencari uang. Menurut Hughes (1999), bermain merupakan kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable).1 Hanya sekadar berlari-lari keliling taman, jika kegiatan itu dirasakan menyenangkan oleh anak, maka kegiatan itu pun sudah dapat disebut bermain. Pearce (1980) menyatakan ruang bermain merupakan tempat dimana anak-anak tumbuh dan mengembangkan intelegensinya. Tempat dimana mereka membuat kontak dan proses dengan lingkungan, serta membantu sistem sensor dan proses otak secara keseluruhan.2 Sementara itu, Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia, dalam bukunya Human Development menyatakan anak berkembang dengan cara bermain. Lewat bermain, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif, dan kemampuan berinteraksi dengan orang lain akan berkembangJadi, betapa pentingnya ruang bermain bagi anak.

Pemerintah pun menyadari pentingnya nilai bermain untuk tumbuh kembang anak. Terlihat di dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 11: Setiap anak berhak beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak sebaya, bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Minimnya fasilitas bermain ternyata mempunyai dampak terhadap anak-anak. Sebagai fasilitas umum, kadang mereka menggunakan ruang terbuka tersebut sebagai tempat bermain.

Perubahan fungsi tempat bermain anak menjadi gedung-gedung komersil atau perumahan terjadi karena penanaman investasi yang tidak memerhatikan kebutuhan lokal. Banyak pengembang wilayah dan kota terkesan “dikorbankan” untuk kepentingan investor. Mereka terkadang mencampuradukan antara pandangan subjektif tentang nilai dengan tujuan akhir perubahan sosial yang disebut kemajuan, kemanusian dan berkebudayaan.

Di mana lagi anak-anak bisa bermain dengan alam. Di antara pepohonan, mereka bermain bola di lapangan rumput. Mereka tidak perlu menghabiskan waktu bermain Play Station/game net. Hal itu berdampak dengan menguatnya egoisme dan individualisme mereka. Mereka jadi tidak memiliki semangat kebersamaan. Hal yang dipupuk dan dipelajari dari permainan-permainan tradisional yang menggunakan ruang bermain memadai.

Bermain layangan, bermain karet, bermain sepak bola yang terlihat pada gambar-gambar itu dilakukan di jalan dan di atas rumah. Di masa lalu, anak-anak dapat bermain bola di lapangan. Hal itu disebabkan tanah lapang sudah tidak dimiliki lagi oleh warga, melainkan oleh investor yang melakukan pembangunan. Anak-anak yang tinggal di kota bukan tidak mungkin semakin kehilangan ruang bermain akibat pembangunan yang tidak memperhatikan konsep tata ruang kota.

* Penulis adalah anggota Divisi Fotografi Bingkai Merah.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Minimnya Lahan Bermain Anak”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id