2 Juli 2010

G-20 Memotong Defisit, Demonstran Berlawan!

(Liputan G-20 Toronto 25-27 Juni 2010)
Andri Cahyadi

Di Toronto, duabelas ruas jalur terlihat sesak. Mereka berlomba saling menghimpit. Bendera-bendera berkibar di atas jendela pada barisan mobil-mobil yang sedang menuju ke utara. Kebanggaan para imigran berterbangan. Bagaikan kebanggaan nasional pada piala dunia yang sampai detik ini menyihir perhatian dunia. Jalanan semakin bertambah sesak dimana banyak orang menuju jantung kota.

Penutupan dan pengalihan jalan-jalan terasa mengubah ruang dan mobilisasi. Sudut kota kini terpagar. Tembok-tembok pengamanan kokoh berdiri memagari lokasi pertemuan para pemimpin G-20. Ribuan polisi bersenjata berat patuh menjaga di sekelilingnya. Pagar-pagar itu menelan harga miliaran dollar. Mega-proyek yang berbuah untung bagi korporasi jasa konstruksi, jasa keamanan, dan penyedia peralatan militer.

Wajah Toronto berubah pekan ini. Kemewahan dan kesenangan di sana-sini kini tinggal hamparan zona militer. Aroma fasisme begitu terasa. Pertemuan pemimpin negara-negara G-20 di Toronto telah berhasil membuat sebagian warga meninggalkan Toronto.

Gema Keadilan Global dan Solidaritas Taman Allen
Di depan pintu berwarna merah, mereka berdiri mengantri. Satu persatu orang memenuhi Massey Hall. Massey Hall merupakan gedung pertunjukan di Toronto. Gedung itu memilki kapasitas sebanyak 3.000 kursi. Di tempat itu, acara Gema Keadilan Global dihadiri tidak hanya oleh para peserta aksi. Publik Toronto pun ikut mengantri membeli tiket. Sore itu Massey Hall menarik perhatian banyak orang.

Acara Gema Keadilan Global merupakan ajang ‘provokasi’ dari tokoh-tokoh alternatif internasional. Pun sebagai bentuk oposisi terhadap pertemuan G-20. Mereka secara tegas menentang segala bentuk kebijakan G-8/G-20. G-20 tidak ubahnya pertunjukan sirkus. Berisi badut-badut yang terlihat kebingungan.

“Bukan saja mereka sangat membosankan, mereka tidak tahu harus berbuat apa. Uni Eropa bergerak ke arah yang satu. Sementara, Amerika Serikat bergerak ke arah yang berlainan,” kata Dr. Vandana Shiva dengan lugas menelanjangi ketidakberdayaan G-20.

Menurut Dr. Vandana Shiva, persoalan dunia teramat besar untuk diputuskan oleh duapuluh orang itu saja. Dengan enam milyar penduduk di bumi, keduapuluh pemimpin itu tidaklah benar-benar mewakili apa yang seharusnya menjadi masa depan umat manusia.

“Korporasi raksasa yang semakin dominan mempengaruhi banyak kebijakan pemerintah. Mereka begitu banyak telah merusak alam dan habitat lingkungan hidup di berbagai belahan dunia. Tidak ada jalan lain, kecuali menghentikan segala bentuk ekspolitasi yang merusak dan membunuh umat manusia perlahan,” lanjutnya.

Seruan menyelamatkan lingkungan juga datang dari Clayton Thomas-Muller. Ia adalah aktivis Aboriginal dan tar sands campaigner yang bergerak dalam wadah Indigenous Environmental Network. Dengan berapi-api ia mengingatkan, tanah yang kita pijak malam ini adalah buah kolonialisme yang masih berjalan. Kolonialisme telah menindas nasib jutaan bangsa Indian-Amerika selama beratus-ratus tahun lamanya.

Amy Goodman dari Democracy Now! juga mengingatkan pentingnya melahirkan dan melibatkan publik untuk membuat media independen. Menurut dia, media-media besar dan industri telah terkontaminasi kuasa dan modal. Bahkan, media-media itu rela menjual demokrasi palsu kepada publik. Pada era keterbukaan informasi, media yang memiliki independensi dan menjunjung kejujuran, sangat diperlukan untuk membangun dunia baru.

Pemaparan Amy Goodman ditutup dengan jeda selama limabelas menit. Setelah itu, ruangan kembali gelap. Kini panggung hanya bercahaya termaram. Pertunjukan perkusi oleh perempuan-perempuan Raging Asian Women (RAW) membuai suasana.

Diskusi kembali dimulai. Kali itu duta besar Bolivia untuk PBB, Pablo Solon, memaparkan pendapatnya. Ia mengatakan bahwa permasalahan dunia kapitalis dan korporasi yang menguasai banyak negara adalah soal model. Pemerintah Bolivia kini menguasai 85% keuntungan dari usahanya menasionalisasi perusahaan tambang dan minyak asing.

“Untuk itu, kami mampu menciptakan taraf hidup yang lebih baik bagi warga Bolivia. Pelan-pelan bersama rakyat Bolivia keadilan sosial itu lahir,” ujar Pablo.

Pembicara berikutnya Naomi Klein, kolumnis dan penulis buku yang pernah mendapatkan Award-Winning Journalist. Ia mengulas kembali suatu artikel How Canada Made G-20 Happen yang telah terbit sepekan sebelumnya dan menjadi fokus surat kabar Globe and Mail.

Ia menganggap publik perlu mengetahui sejarah lahirnya G-20. Menurutnya, G-20 lahir dari sebuah amplop yang berisi daftar negara-negara. Paul Martin dan Larry Summer pada akhirnya mengabaikan alasan regional power-geopolitical power. Atas dasar subyektivitas keduanya, akhirnya lahir G-20, sebuah klub terkuat secara ekonomi.

“Saya bacakan kembali kutipan yang cukup menarik itu di sini: Thailand was the nexus of the Asian banking crisis, but Indonesia was more influential in the region. Indonesia in; Thailand out. Chile was tempting, because it was democratic and well-run, but Argentina was a bigger player. Argentina got the seat. Saudi Arabia was strategically important and a good friend of the United States. The Saudis would get an invite,” ujarnya.

Gema Keadilan Global malam itu ditutup dengan pidato Maude Barlow dari Councils of Canadians. Klein menyerukan kepada mereka yang hadir untuk bersedia rally menuju taman Allen. Dimana puluhan tenda-tenda para demonstran yang datang dari berbagai provinsi dan dunia menginap di sana. Sebelumnya, ribuan orang telah turun ke jalan sejak siang menargetkan mendirikan tenda di tengah-tengah kota (25/6). Namun, gerakan dari koalisi organisasi dan ribuan akar rumput, serikat-serikat buruh, kaum komunis dan anarkis, LGBT, kaum perempuan mendapat perlawanan dari puluhan ribu polisi. Target aksi gagal. Tenda-tenda akhirnya berdiri di taman Allen.

Di bawah siraman sinar rembulan ribuan orang pun bergerak menuju taman Allen. Mereka berteriak mengecam pertemuan G-20 yang begitu mahal dan tidak ada gunanya. Penangkapan dan penghadangan sempat terjadi hingga memicu ketegangan. Namun, solidaritas dan semangat perlawanan tumpah ruah yang dirayakan di taman Allen.

Demostrasi Damai 26 Juni dan Taktik Black Bloc
Helikopter berterbangan di langit Toronto. Satu persatu membawa pemimpin G-8 dari tepi danau Huntsville. Sepanjang jalan terlihat basah. Udara pun terasa lembab.

Di kejauhan orang-orang keluar dari subway. Mereka membuka payung kemudian merapihkan jas hujan. Berbaur ke dalam barisan yang mendengarkan pidato Olivia Chow. Polisi bersepeda juga mulai berdatangan. Massa bertambah banyak memenuhi pelataran konsulat Amerika Serikat.

Hujan turun sedari pagi. Gedung-gedung pencakar langit menghilang di balut pekat kabut. Hari itu (26/6) diperkirakan 10-15 ribu orang turun ke jalan.

Kongres buruh Kanada, aktivis pecinta lingkungan, LGBT, Anarkis, Komunis, Komunitas Imigran, Aliansi Damai, Koalisi Anti Perang, dan Aktivis untuk Keadilan Iklim, bersepakat untuk berlawan dengan konfrontasi.

Para pemimpin alternatif semalam juga telah berikrar. Inilah saatnya untuk menghentikan kerusakan oleh kapitalisme. Semangat berpendar pada wajah-wajah meski di bawah gerimis hujan.

Aksi dan demonstrasi aliansi sipil hari itu mendapat pengawalan teramat ketat. Sekira 10.000 ribu anggota polisi mengepung barisan peserta aksi. Tidak cukup mengintimidasi, sesekali, pihak kepolisian memprovokasi dengan menangkap beberapa peserta aksi secara asal-asalan. Menghalau barisan massa dengan mengacungkan laras senapan.

Setelah memenuhi jalan-jalan utama kota Toronto, di rinai hujan, penduduk Kanada seperti disadarkan. Kota Toronto, telah disandera dalam bayangan militerisme yang kental. Pemerintah dan kelas berkuasa pada hari itu tidak ubahnya segerombolan mafia yang didukung pasukan bayaran, lengkap dengan senjata dan penjara, ungkap beberapa peserta aksi.

Pada jalan menuju selatan, lokasi berkumpulnya para pemimpin G-20, sekelompok massa memutuskan untuk menerobos tembok keamanan. Mereka berkonvoi dengan satu komitmen, yakni konfrontasi. Setelah sehari sebelumnya mengancam akan menyerang para pemimpin G-20.

Cepat dan seakan terlatih, sekelompok massa memperagakan taktik black bloc. Black blok merupakan suatu taktik yang digunakan di dalam aksi massa untuk menekan aparat secara konfrontatif dengan berbagai metode, antara lain memasang brikade, vandalisme, penghancuran fasilitas bersimbolkan kapitalis, dan konfrontasi dengan polisi. Mereka melakukan itu dengan berbaur ke kelompok massa besar.

Disebut black bloc karena terdiri dari barisan massa radikal berpakaian hitam yang siap berkonfrontasi dengan otoritas. Black bloc sering diasosiasikan kepada kelompok anarkis. Padahal, banyak kelompok lain juga menerapkan taktik black bloc.

Dengan pakaian dan bandana yang serba hitam, mereka membakar setidaknya enam mobil polisi. Puluhan toko yang merepresentasikan perbudakan modern (sweat shop dan ketidakadilan) berantakan dan berhamburan. Kaca-kaca jendela dihujani lemparan batu dan hujaman palu. Beberapa bank dan ATM juga tidak luput mengalami pengerusakan. Grafiti pun bertebaran pada tembok-tembok di pusat finasial Toronto.

“Perang Kelas!”

“Bom bank-bank itu sekarang!”

“Kapitalis pembunuh!”

Setelah melakukan black bloc, mereka membelah jalan Queen hingga tepi jalan Young yang penuh dengan toko-toko bermerek. Mereka berlarian ke dalam barisan massa. Mencair begitu cepatnya menghindari kejaran polisi. Jejak mereka telah menghilang. Yang tersisa hanya potongan kain-kain berwarna hitam berserakan di jalan.

850 Orang Dipenjara
Kedatangan pemimpin G-20 harus dibayar mahal. Warga Toronto telah kehilangan kebebasan sipilnya setidaknya selama tiga pekan. Intimidasi, diskriminasi rasial, dan kekerasan pun dialami banyak orang.

Pihak kepolisian dinilai terlalu berlebihan. Tidak hanya peserta aksi, beberapa jurnalis juga mengalami intimidasi dan kekerasan oleh aparat. Dua miliar dollar, dua puluh ribu anggota polisi dikerahkan, merusak kesehatan demokrasi di Ontario.

Pihak kepolisian tidak cukup berdalih semua demi pengamanan. Terlebih, mereka begitu brutal dalam menghadapi para oposisi. Semisal, sebuah rumah didatangi pada jam empat pagi buta. Satu keluarga harus mengalami acungan senjata dan ketakutan oleh serangan polisi yang membabi buta mencari para pemimpin aksi perlawanan terhadap G-20.

Penangkapan telah berlangsung selama dua pekan. Pihak kepolisian Toronto melempar dalih lainnya ‘penangkapan adalah bagian dari taktik pengamanan untuk mencegah demonstrasi yang menggunakan kekerasan.’ Setidaknya 850 orang ditangkap. Terdiri dari peserta aksi, jurnalis, mereka yang tidak terlibat aksi, hingga penderita cacat mental ditangkap. Mereka dipaksa mendekam di dalam bui.

Laporan-laporan dan keberatan kini beredar di media-media independen lokal. Banyak cerita berbagai perlakukan diskriminatif hingga ancaman deportasi dikenakan kepada aktivis imigran dan organiser aksi perlawanan terhadap G-20. Pihak kepolisian tanpa malu lagi justru membangun wacana dan berkoar-koar mencari kambing hitam beserta berbagai pembenaran melalui media-media pendukungnya.

G-20 Potong Defisit
Akhirnya para pemimpin G-20 mencapai kesepakatan final communiqué (Minggu, 27/6). Mereka bersepakat, pada 2013 kedupuluh negara anggota G-20 memotong defisit negaranya hingga 50%. Dalam konteks Indonesia, dengan defisit sekitar 2.1% atau sebesar Rp129.8 triliun harus diturunkan menjadi Rp64.9 trilliun dalam waktu tiga tahun (2013). Caranya dengan memotong anggaran-anggaran belanja pada berbagai sektor publik.

Target itu kemudian diwujudkan pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Antara lain, memotong subsidi BBM, memotong subsidi listrik (yang berkonsekuensi naiknya harga TDL), pemotongan anggaran kesehatan, memotong dana Jamkesmas, dan menunda berbagai proyek-proyek publik lainnya.

Hal-hal itu yang sejak dua tahun lamanya ditentang banyak orang di dunia. Ribuan orang telah turun ke jalan di Toronto dan jutaan orang pada peringatan hari buruh sedunia (1 Mei 2010). Mereka marah dan menolak membayar krisis kapitalis.

Jutaan rakyat miskin dan rakyat pekerja yang akhirnya harus membayar semua kehancuran itu. Krisis finansial yang melanda dunia sejak tahun 2008 silam adalah ulah para mafia bankir-bankir dan tindak kejahatan korupsi yang menggejala pada korporasi-korporasi finansial raksasa Amerika Serikat. Subprime Moorgate Crisis di Wall Street adalah biang kerok dari krisis-ekonomi-politik yang kini menghantam Yunani, memporakporandakan Thailand dan menghancurkan beberapa negara-negara miskin di Eropa lainnya.

Dengan kebijakan talangan (bail out) yang telah dilakukan oleh pemerintah AS dan RI, yang sukarela menolong beberapa bank, salah satunya adalah bank century, maka secara ekonomi makro negara-negara anggota G-20 mengalami defisit anggaran sejak kebijakan talangan digelontorkan.

Kesepakatan mengurangi defisit (50%) yang telah dicapai mengartikan bahwa kita yang akhirnya dipaksa membayar dan menanggung krisis para mafia kapitalis global.

Foto: Andri Cahyadi

Komentar :

ada 0 komentar ke “G-20 Memotong Defisit, Demonstran Berlawan!”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id