26 Agustus 2010

Berlawan Dari Tanah Rantau

Wawancara bersama Eni Lestari, Ketua Aliansi Migran Internasional dan Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong dengan Andri Cahyadi*.

“..bagi saya keputusan ini berat, meninggalkan keluarga, tidak melanjutkan pendidikan, menjadi pekerja kontrak tanpa perlindungan, dan beruntung saya tidak mati.” (Eni Lestari)


Buah busuk imperialisme dan kapitalisme modern adalah memaksa orang berpindah-pindah. Migrasi. Perang imperialis menciptakan pengungsi dan pelarian setiap hari. Cerai berai. Jutaan orang dipaksa mengadu nasib dalam belantara buas “pasar bebas.” Model ekonomi-kapitalis menciptakan kantong-kantong populasi buruh migran di berbagai belahan dunia. Mereka tercerabut dari akar sosial dan budayanya. Dari perantauan mereka berjuang.

Diperkirakan 600 ribu jiwa lebih meninggalkan Indonesia setiap tahunnya. Berbondong-bondong dari desa-desa yang semakin miskin sejak krisis ekonomi-kapitalis mengguncang wilayah Asia Tenggara 1997 dan ikut diperparah oleh krisis finansial dunia 2008. Kini, 200 juta jiwa menjadi buruh migran di dunia. Mereka yang bermigrasi umumnya kaum perempuan. Pergi menjadi pembantu rumah tangga di negara orang. Meski pun puluhan kasus kekerasan terjadi dan mengakibtkan korban jiwa buruh migran, pemerintah tetap memilih bertindak lamban. Keinginan politik membela buruh migran oleh PBB, ILO, dan pemerintah-pemerintah masih sebatas wacana.

Dalam rangka memperingati 100 tahun gerakan perempuan, pada tanggal 13-15 Agustus di Montreal, diselenggarakan International Women’s Conference. Salah satu peserta yang hadir adalah Eni Lestari, ketua Aliansi Migran Internasional/International Migrant Alliance (IMA) dan perwakilan ATKI (Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia) yang berbasis di Hongkong.

Berikut ini petikan wawancara dengannya:

P: Apa persoalan pokok yang dihadapi BMI dan apa target perjuangan ATKI di Hongkong?

J: Dari segi isu atau pengorganisiran? Dari segi pengorganisiran, kita lebih maju dibandingkan negara lain. Lebih terorganisasi. Karena keinginan kuat dari Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong untuk mengubah kondisinya sendiri melalui organisasi dan mobilisasi. Kita memiliki ruang untuk itu di Hong Kong. Kita berhasil memperkuat partisipasi politik buruh-buruh migran dalam memperjuangkan isu-isu dan tuntutan kepada konsulat RI di Hongkong mau pun pemerintah di tanah air serta pemerintah Hong Kong itu sendiri.

Persoalan pokok BMI adalah privatisasi dan outsourcing. Proses bermigrasi sebagai buruh migran itu telah lama dilegalisasi dalam bentuk UU dan kebijakan. ILustrasinya begini, pemerintahan Megawati menetapkan UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) dimana pemerintah telah mendelegasikan tugas dan tanggung-jawabnya kepada pihak private-agency (PJTKI di Indonesia dan agen swasta di luar negeri). Buruh migran itu seolah-olah tidak boleh mandiri-mengurus dirinya. Harus berhubungan melalui agen. Ketika kita meminta perlindungan kepada pemerintah, agen-agen ditunjuk untuk bertanggung jawab oleh pemerintah. Padahal, kondisi di lapangan, agen-agen itu justru bagian dari masalah yang dihadapi oleh buruh migran. Kita jadi stres sendiri dibuatnya.

Tiga persoalan utamanya adalah:
1.Buruh migran tidak boleh memproses sendiri yang berubungan dengan hak-hak dan pekerjaannya tanpa melalui agensi
2.Sebagai imbalan “jasanya”, agensi diperbolehkan mengambil uang berapa pun dari buruh migran, dan
3.Tidak ada sanksi dan mekanisme hukum yang diterapkan kepada PJTKI di Indonesia dan agensi di luar negeri bila terbukti melakukan pelanggaran kontrak atau pungutan illegal di Hongkong

Dengan begitu, buruh migran menjadi tidak berdaya. Kami tidak memiliki posisi tawar kolektif. Dari sanalah kita mulai bertanya dan menganalisa sendiri. Pada kasus Hongkong, persoalan yang kita temukan, mereka (staf) yang bekerja di konsulat Hongkong ternyata banyak yang menjabat sebagai penasihat asosiasi Agen-Agen TKI di Hong Kong/APPIH. Usut punya usut ada indikasi kolusi dan korupsi antara agen-agen ini dengan pajabat-pejabat konsulat. Ya, memang akhirnya ke situ-situ juga ujungnya.

Pemerintahan SBY itu, kalo kita bicara jujur ya, memang menargetkan remitansi setiap tahun untuk mengirim 1-2 juta jiwa (TKI) per tahun melalui BNP2TKI. Namun, sebenarnya fungsi badan ini sama persis seperti agen (baca: PJTKI) yang mencari-cari calon TKI ke desa-desa. Mereka juga mengurus urusan administrasi. Memang benar, ada pencapaian oleh BNP2TKI pada kasus pengiriman TKI ke Korea Selatan. Tapi, semua itu karena faktor G to G (kerjasama antara pemerintah dengan pemerintah). Tidak ada lagi calo (agen/penyalur swasta) yang terlibat dalam proses penempatan TKI ke Korea. Namun, pada konteks kebijakan dan perlindungan buruh migran yang fundamental, pemerintah SBY, tidak menciptakan perubahan yang berarti bagi BMI.

P: Apa pendapat anda soal hak berpartisipasi dan berpolitik bagi kaum perempuan di Indonesia?

J: Hak sejati perempuan untuk berpartisipasi dan berpolitik itu belum ada. Meski pun sekarang ada kuota 30% di parlemen, toh aturan mainnya masih memarjinalkan perempuan. Jika perempuan bersikap kritis di dalam aturan yang masih seperti itu akan mengakibatkan ia memilih bekerja sama dengan mayoritas karena faktor feodal dan male dominated atau pilihan lainnya ia bisa sangat vocal, akan tetapi, menjadi tidak populer.

Anggapan perempuan lemah, terutama pada konteks buruh migran yang dianggap tidak bisa mengurus dirinya sendiri, masih terjadi sampai saat ini. Kami ini hanya dianggap perempuan desa, berpendidikan rendah dan sekali lagi cuma perempuan. Untuk itulah mereka (pemerintah dan konsulat LN) berargumen buruh-buruh migran membutuhkan agensi, karena kami perempuan.

P: Konferensi yang anda hadiri kemarin itu tentang apa? Dan apa kapasitas anda di undang ke kota ini?

J: Ini adalah konferensi perempuan internasional. Pertama kali diadakan di Montreal, Kanada dalam rangka memperingati 100-tahun gerakan perempuan Internasional. Yang biasa diperingati pada setiap 8 Maret. Bersama-sama kelompok-kelompok perempuan dari beberapa negara, kita ingin membangkitkan lagi perjuangan perempuan internasional. Apa yang membedakan, kita mengakui akar penindasan perempuan adalah imperialisme dan feodalisme untuk beberapa negara. Bentuk itu muncul dalam penindasan yang dialami oleh kaum buruh perempuan khususnya, bahkan pada tatanan yang sifatnya publik sekali pun, sebagian kaum perempuan, masih ditempatkan sebagai warga kelas dua. Mereka hanya dipandang sebagai komoditi belaka.

Saya hadir mewakili International Migrant Alliance (IMA) sebagai ketuanya. Juga, sebagai ketua ATKI-Hongkong.

P: Anda adalah ketua IMA saat ini, bisa berbagi cerita dan apa agenda IMA?

J: IMA ini formasi baru. Lahir pada bulan Juni tahun 2008. Niat utamanya untuk mengkoordinasikan gerakan buruh migran global yang anti imperialisme. Sekaligus, merespon fenomena migrasi yang semakin massal. Termasuk, eksploitasi yang semakin menjadi-jadi pada tingkat akar rumput. IMA ikut memperjuangkan hal-hal yang fundamental bagi buruh migran seperti; hak untuk tinggal, hak untuk bekerja, bahkan hak untuk berpindah-pindah pekerjaan.

IMA sendiri adalah aliansi formal buruh migran akar rumput yang umumnya berstatus kontrak. Tapi, ada juga mereka yang sudah memiliki status sebagai imigran dan tetap bekerja sebagai buruh migran juga ikut tergabung dalam IMA. Saat ini IMA berasal dari aliansi 19 negara. Terdiri dari 120 organisasi buruh migran. Keanggotaannya meliputi Asia, Afrika dan Amerika Latin.

Target jangka panjangnya memperjuangkan, memperkuat, dan mengangkat hak-hak dan suara buruh migran pada tingkat global. Semisal, melobi PBB, aktif berdiskusi dan melakukan intervensi kepada ILO (International Labour organization) seperti yang sedang kita lakukan sekarang. IMA juga berfungsi sebagai alat penyadaran pada tataran global untuk menyuarakan hak-hak buruh migran internasional.

P: Dua hari yang lalu, Indonesia memperingati 65-tahun kemerdekaannya, apa yang diharapkan kawan-kawan buruh migran di Hongkong?

J: Pertanyaan yang menarik. Setiap Agustus, kita selalu melakukan refleksi. Apa makna kemerdekaan itu bagi kita? Maka, setiap Agustusan, kami juga menerbitkan edisi khusus tentang “Buruh Migran dan Kemerdekaan.” Memang secara ritual tidak melaksanakan upacara, namun, kami mengadakan kegiatan, semisal; fashion show yang menggunakan dua warna, Merah dan Putih. Tujuannya secara politik mempertanyakan lagi, benarkah kita sudah merdeka? Sampai sekarang kami belum percaya Indonesia itu sudah merdeka total. Kenapa? Jika Indonesia sudah merdeka, kami seharusnya tidak berada di luar negeri. Generasi-generasi mendatang tidak lagi terpaksa meninggalkan tanah air hanya untuk survive.

Kita memang telah merdeka dari penjajahan negara lain, tetapi, belum merdeka dari penjajah di dalam negeri.

P: Apa gerakan sosial buruh migran saat ini harus ‘banting-setir’ menjadi gerakan politik? Apakah anda pribadi berminat bergabung dengan partai politik? Apa pendapat anda?

J: Kenapa tidak. Kami rasa selama ini kami sudah berpolitik. Jika ditanya lagi, apakah kami bisa menjadi partai politik? Jawabnya, kenapa tidak. Tapi, tergantung, menjadi partai politik di tengah-tengah partai yang sudah kaya raya, korup, dan isinya para mafia, ya kita tidak mau. Buat apa berkompetisi dengan mereka? Namun, apabila ada kondisi yang memungkinkan akar rumput bisa berada dalam partai yang jujur dan sejati memperjuangkan harkat martabat mereka, saya rasa boleh dicoba. Saya pribadi, tidak punya hasrat untuk ke sana (berpolitik). Namun, jika hal itu memang bisa membantu buruh migran dan memuluskan kebijakan buruh migran, kenapa tidak.

P: Apa masih relevan memilih bekerja di luar negeri saat ini untuk rakyat miskin guna memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi mereka?

J: Saya tidak punya hak mengatakan bahwa saya tidak setuju dengan orang pergi keluar negeri. Untuk mencapai ke sana banyak sekali yang harus dikorbankan, termasuk siap dibunuh di jalan. Pengorbanannya adalah hidup kita sendiri. Saya pribadi, tidak ingin orang miskin bekerja ke luar negeri. Namun, saya tidak berhak melarang mereka mencari makan.

Sekali lagi, bagi saya, ini (bekerja ke luar negeri) adalah keputusan yang berat, meninggalkan keluarga, tidak melanjutkan pendidikan, menjadi pekerja kontrak tanpa perlindungan, dan beruntung saya tidak mati. Banyak, yang akhirnya meninggal dunia dan tidak ada intervensi dari pemerintah soal hal itu. Menurut saya pribadi, solusi dari semua persoalan ini kembali ke perjuangan untuk mengsejahterakan rakyat di negeri sendiri dan sungguh-sungguh memerdekakan mereka dari semua bentuk penghisapan. Sebab, hanya dengan cara begitu rakyat tidak perlu miskin dan terpaksa mencari pangan di negeri lain yang lebih makmur.

Saya berharap Konvensi Pekerja Rumah Tangga yang sedang diperjuangkan akan berhasil. Hal itu sangat penting. Untuk itu, pemerintah harus lebih akuntabel.

*)Penulis adalah penggiat media rakyat, Bingkai Merah.

Foto: Andri Cahyadi.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Berlawan Dari Tanah Rantau”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id