26 Oktober 2010

Makna Sumpah Pemuda dari Pojok Kanayakan (II)

Oleh Mirza Ahmadhevicko*

Saat perut kenyang langit terlihat lebih terang. Sambil menunggu Pak Yamin yang sedang mandi saya keluar dan duduk di teras depan. Hujan telah benar-benar reda, hanya semilir angin sejuk yang tersisa. Awan hitam yang tadi menggantung memenuhi sebagian langit Bandung Utara kini telah hilang, mungkin tersapu angin, terbawa entah ke mana.

Anak Pak Yamin menghampiri dan duduk menyebelahi saya. Dia membakar rokok. Setelah menawarkan rokoknya kepada saya kemudian ia letakkan bungkusan rokoknya di atas meja yang ada di sebelah saya. Saya ikut membakar sebatang. Tenggorokan saya gatal saat dipenuhi asap ‘rokok-putih’. Hening sebentar. Kami berdua saling diam sebelum akhirnya dia membuka perbincangan.

“Mahasiswanya Papa ya?”

“Iya A.”

“Jurusan apa?”

“Jurnalistik.”

“Sudah semester berapa?”

“Empatbelas. Hehe….”

Loba teuing ulin nya?” katanya berusaha menerka apakah saya terlalu banyak main-main daripada belajar.

“Iya begitulah A. Sebagian teman seangkatan sudah lulus sejak lama. Sedikit lagilah. Sedang bimbingan Bab V. Semester ini semoga bisa ikut sidang.”

Teu kudu alus-alus teuing. Nu penting mah lulus heula, bisi di-DO,” sarannya kepada saya agar saya cepat lulus dan terhindar dari ancaman drop out.

“Iya A, semoga. Kalau Aa dulu kuliah cepet lulus ya?”

“Tidak cepat tapi tepat waktu, sesuai yang diprogramkan.”

“Dulu kuliah di mana gitu A?”

“Sekolah perfilman di Amerika. Akademi Film New York.”

“Wah, bisa sering ketemu aktris-aktris Hollywood ya; enak kuliah di sana?”

“Ada enaknya, fasilitas bagus. Orang-orang kompeten yang jadi dosen. Tapi ada juga nggak enaknya, jauh dari Indonesia, jauh dari si Teteh. Hahaha….”

“Pasti seru.”

“Iya seru. Apalagi mengingat masa-masa awal tinggal di apartemen. Saat itu musim panas dan saya tidak punya banyak duit untuk menyewa kamar ber-AC, jadi supaya tak terlalu gerah jendela-jendela saya buka –sepanjang hari, sepanjang malam. Suatu hari ada wanita Los Angeles yang datang masuk ke kamar saya hanya dengan mengenakan celana pendek dan kutang; dia datang sekadar minta tolong kepada saya untuk mengendorkan tali kutangnya yang katanya terlalu kencang. Hahaha…dan ternyata itu bukan cuma sekali. Macam-macam saya punya tetangga, edun-lah.”

“Hehehe….”

“Tapi yang paling membekas adalah perasaan terasing. Keadaan di sana sama sekali berbeda dengan lingkungan bermain saya di sini. Kalau kaubaca sastra tentu pernah tahu ‘Seribu Kunang-kunang dari Manhattan’, itu cerpen Umar Kayam. Jiga kitu pisanlah suasana nu urang alami. Kesepian, keterasingan, kesedihan di tengah ingar bingar ibu kota dunia. Kadang saya suka menggerutu: kenapa sekolah jauh-jauh?”

Saya ingin memburunya dengan pertanyaan lain tetapi seorang lelaki, yang mungkin asisten rumah tangga di rumah ini, datang mengantarkan dua cangkir kopi yang kelihatannya panas dan nikmat sehingga membuat saya menahan pertanyaan yang sudah siap di ujung lidah. Saat si Mang Jali, begitulah tadi ia disapa, sibuk menata cangkir kopi dan stoples kudapan, sekaligus membereskan majalah dan koran yang terbuka berserak di meja, saya mendengar suara dan langkah Pak Yamin dari dalam, “Mang, puntenlah urang jieunkeun oge nya….,” katanya meminta kopi.

“Apa jadi itu dosen-dosenmu mau menginap di sini?” Pak Yamin bertanya sambil melangkah ke arah gerbang, memungut sampah pelastik kemasan es krim yang tergeletak di samping pot pohon suplir berdaun lebar. Mungkin Fahmi, cucunya, yang telah membuang sampah sembarangan.

“Jadi. Mungkin Kamis depan mereka sudah sampai di Bandung. Pablo Berger tak jadi ikut. Dari Jambi dia langsung kembali. Ada urusan mendadak sepertinya. Cuma tiga orang yang akan ke sini. David Klein, Harlan Bosmaijan, dan Julia Solomonof –mereka mahaguru di bidang penyutradaraan, editing, dan penulisan naskah. Denger-denger sih mereka mendapat masalah dan harus berhadapan sama preman-preman yang disewa perusahaan sawit di Jambi. Belum jelas detil persoalannya," jawab anaknya.

“Perusahaan sawit memang suka sembarangan bikin land clearing. Seharusnya Dephut cepat tanggap untuk soal-soal seperti itu.”

“Mau bikin film dokumenter ya A?” saya berusaha mengikuti pembicaraan.

“Film advokasi lahan. Masyarakat seringnya dirugikan dalam hal kepemilikan tanah. Selain pembalakan liar, persoalan perkebunan sawit juga penuh dengan kasus-kasus lingkungan yang tak pernah masuk pemberitaan," katanya.

“Gimana mau jadi berita kalau yang punya perusahaan juga sekaligus pemilik tv dan koran-koran. Tahu sendirilah Indonesia,” Pak Yamin membuat pernyataan enigmatik; dan saya memburunya, “Indonesia? Kenapa Pak?” tanya saya tanpa pretensi apa-apa.

“Iya begitu itu. Hahaha…ada cerita lucu. Setahun yang lalu, waktu sedang ramai-ramainya perayaan atas terbentuknya kabinet yang baru, ada seorang ilmuwan bertanya kepada pimpinan kabinet, ‘Kabinet anda sebagian besar diisi oleh tukang polusi yang sekaligus juga membiayai kampanye anda. Tidakkah anda peduli dengan pemanasan global dan nasib jutaan umat manusia?’ tahu apa jawaban orang yang ditanya, ‘Ah, ilmuwan nggak jelas!’ dan saat seorang tokoh agama bertanya, ‘Anda lahir sebagai umat beragama: tidakkah anda kuatir dengan hari pengadilan dan panas api neraka?’Lagi-lagi dengan ringan keluar jawaban, ‘Ah, agamawan nggak jelas!’ Itu contoh kecil betapa orang-orang di atas berusaha menutup mata dari berbagai fenomena nyata. Itu terjadi di Indonesia. Negara Bangsa yang sebentar lagi akan ramai-ramai memperingati hari Sumpah Pemuda. Kurang ajar.”

Mang Jali datang membawa pesanan: secangkir kopi kental dan panas. Saya beranjak ke dalam mengambil alat perekam yang masih tersimpan di dalam tas, bersama ponsel, buku, handuk, nalgene, sweater, dan beberapa penghuni kecil lainnya.

Sudah jam sebelas lewat sekarang ini. Ada dua pesan masuk. Saya baca, “Nikmati murahnya nelp & terima telp, gratis terima sms, Blackberry & layanan XL posko haji di tanah suci. Komunikasi murah, ibadah lebih berkah.” pengirimnya XL info. Tidak penting. Pesan kedua dari nomor asing, “Mbak bsok kamis q nikah siri. Skalian q jg pindah di cokro ikut suami. Q minta pengertianne mbakku ikut ngerumati bapak. Q mohon.” Hah, apa ini? Nggak ngerti. Pemilik nomor 0813-9211-758 pasti telah salah kirim. Tak perlu dipikirkan. Saya kembali ke depan dengan alat perekam di tangan.

Di teras, Pak Yamin tinggal sendiri saat saya kembali. Sambil mengembuskan asap rokok ia meraih cangkir yang terlihat mengepulkan uap panas. Nikmat sekali melihatnya mereguk kopi. Seolah itulah puncak kenikmatan dunia.

“Bisa kita lanjutkan pembicaraan mengenai Sumpah Pemuda, Pak?”

“Bisa. Bagian mana yang tadi tertunda?”

“Perhimpunan Indonesia.”

“Ya. Perhimpunan Indonesia.”

“Apakah benar bahwa kata ‘Indonesia’ pertama kali digunakan oleh perhimpunan yang berdiri di Belanda tersebut dan bagaimana dengan Iwa Kusumasumantri, seberapa penting posisinya?”

“Dinamisme pemuda juga terlihat pada para mahasiswa pribumi yang bersekolah di Belanda. Hal tersebut ditandai dengan didirikannya Indische Vereeniging pada 1908, kemudian berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging pada 1922, dan kembali berubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada 1924. Perubahan nama perhimpunan juga diikuti dengan perubahan nama majalah yang diterbitkan oleh mereka yang mulanya bernama Hindia Putra berubah menjadi Indonesia Merdeka –sebuah nama yang cukup provokatif pada masanya. Tidak hanya di Belanda, penggunaan nama ‘Indonesia’ memang kemudian menjadi sangat penting dan pengaruhnya juga menular ke Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda. Di tahun 1924 pula Partai Komunis Hindia mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia. Menjawab pertanyaan tadi maka sudah diketahui bahwa P.I adalah organisasi pergerakan yang pertama mempopulerkan nama ‘Indonesia’. Namun, mungkin selanjutnya kau akan bertanya-tanya, dari manakah kata ‘Indonesia’ itu dipungut?

“Penamaan Hindia Belanda mulai dipertanyakan oleh para tokoh pergerakan. Penggunaan kata tersebut seolah membenarkan bahwa negeri ini hanyalah ‘daerah sampingan’ dari anak-benua India. Saat itulah literatur antropologi dan sejarah mulai dibuka dan ditelaah. Seiring pencarian nama yang kiranya lebih tepat, konsep ‘bangsa’ pun mengalami pemekaran makna. Para pencari saat itu tertarik dengan sebuah esai Ernest Renan yang berjudul ‘Qu’est ce que une nation?’ yang menyebut bangsa sebagai ‘un princip spirituel’ dan bertolak dari ‘le decir vire ensamble’, tetapi apa namanya? Pencarian terus dilakukan. Kemudian atas usul Iwa, ‘Indonesia’ digunakan sebagai pengganti ‘Hindia Belanda’. Perkiraan saya, dengan mengikuti tulisan yang dibuat Bung Hatta, tampaknya ‘Indonesia’ diambil dari kajian yang dilakukan oleh Adolf Bastian meski pun jauh sebelumnya ilmuwan lain, G.S.W. Earl dan James Logan sudah menggunakan nama ‘Indonesia’ untuk menyebut segugusan pulau yang kini bernama Indonesia.”

“Mengenai Iwa, Pak?”

“Tidak banyak sebetulnya yang saya ketahui mengenai Pak Iwa dalam relevansinya dengan pergerakan dan Sumpah Pemuda. Salah satunya melalui Blumberger yang menulis bahwa pada saat kepemimpinan Iwa Kusumasumantri, periode 1923-1924, P.I betul-betul merupakan wadah bagi pergerakan mahasiswa Indonesia di luar negeri yang menetapkan bahwa hanya satu jalan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia yaitu jalan nonkooperasi. Salah satu poin penting dalam Anggaran Dasar P.I menyatakan, ‘Masalah yang menentukan dan yang terpokok dalam setiap masalah kenegaraan ialah pertentangan kepentingan antara yang berkuasa dan yang dikuasai’. Setelah menyelesaikan studi di Leiden, 1925, ia ditugaskan oleh P.I, yang saat itu dipimpin oleh Hatta, ke Moskow bersama Semaun. Di saat itulah ia melahirkan sebuah buku berjudul The Peasant Movement in Indonesia.”

“Apakah Iwa juga banyak menulis di Indonesia Merdeka?”

“Tentu saja. Hampir semua anggota P.I telah menyadari betapa penting arti tulisan bagi kemajuan pergerakan yang mereka perjuangkan. Termasuk Iwa, Hatta, Ahmad Subardjo, Gatot Tanumiharja, Nasir Datuk Pamunjak, Moh. Natsir, Darmawan Mangunkusumo, Sukirman Wiryosanjoyo dan yang lainnya. Melalui Indonesia Merdeka pula lahir sebuah manifasto politik yang tegas di awal 1925, ‘Hanya suatu Indonesia yang merasa dirinya satu, sambil menyampingkan segala perbedaan antara satu golongan dengan golongan lain dapat mematahkan kekuasaan penjajah. Tujuan bersama, pembebasan Indonesia, menuntut adanya suatu aksi umum yang insyaf, bersandar atas kekuatan sendiri dan bersifat kebangsaan.’ Bahkan pledoi Bung Hatta di pengadilan Den Haag juga menggunakan judul ‘Indonesia Merdeka’.”

“Berarti andil P.I dalam pergerakan memang cukup besar?”

“Cukup besar. Perhimpunan itu jugalah yang ikut mendorong lahirnya organisasi pergerakan pemuda Indonesia di Mesir –Jamiah Khairian, di India --Persindom, di Irak --Makindom, dan di Mekah –Pertindom. Di Jakarta yang saat itu masih bernama Batavia pengaruh P.I yang berprinsip nonkooperasi juga mendorong lahirnya Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia. Azas dan tujuannya pun serupa, ‘Berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia Raya Merdeka.’”

“Pada tahun 1926 terjadi pemberontakan rakyat di Banten, hal serupa juga terjadi di Silungkang pada tahun 1927. Apakah dua peristiwa itu juga berkaitan dengan gelora semangat kemerdekaan yang mulai merebak di seantero wilayah Indonesia?”

“Tentu saja berkaitan. Peristiwa di Banten dan Silungkang, atau sebetulnya lebih luas lagi yaitu di Jawa dan Sumatera, boleh jadi adalah embrio perang rakyat Indonesia. Meski beberapa pihak mengeyampingkan dua peristiwa tersebut, mungkin karena disinyalir motor penggeraknya adalah PKI, namun suka tidak suka peristiwa tersebut sangatlah penting.”

“Konon Tan Malaka tidak menyetujui pemberontakan tersebut. Apa pendapat Bapak?”

“Tan Malaka menganggap Keputusan Prambanan sebagai bunuh diri massal. Bukan pemberontakan terhadap kolonial yang ditolaknya melainkan cara dan waktu yang dinilai prematur saat itu olehnya. Di dalam Semangat Muda dia menulis, ‘Semua pemberontakan Indonesia, kalau Rakyat belum matang revolusioner akan sia-sia belaka. Semua macam putch, pemberontakan tiba-tiba dari satu golongan kecil, harus kita singkiri dan musuhi. Kalau pemberontakan semacam itu sekiranya menang, maka Indonesia merdeka itu akan segera jatuh di tangan seorang militer. Dalam hal ini tiadalah politik dan rakyat yang berkuasa melainkan tangan besi seorang militer. Hal ini terjadi di Tiongkok pada tahun 1911, di mana kekuasaan politik segera lepas dari Dr. Sun Yat Sen dan jatuh di tangan Yuan Shi Kai & Co.’ Itulah, meskipun tadi saya katakan bahwa peristiwa Banten dan Silungkang cukup penting, namun, peristiwa tersebut hanyalah letupan kecil yang dengan mudah dapat diatasi oleh pemerintah kolonial. Bahkan, setelahnya kehidupan pergerakan di tanah air menjadi sangat sulit. Kolonial penjajah semakin ketat melakukan pengawasan. Pada titik inilah sikap Tan Malaka terbukti benar dan bijaksana; meskipun demikian peristiwa Banten dan Silungkang tetap tak boleh dilupakan.”

Pak Yamin terdiam agak lama. Raut mukanya seperti berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tenggorokan saya terasa kelu. Ada jeda sekitar semenit. Saya meneguk kopi yang mulai kehilangan panas. Kesejukan bertambah dingin, membuat saya ingin kencing. Saya tahan karena ada perasaan tanggung yang mengganjal.

“Itu karya siapa Pak? Lukisan itu Pak?” tanya saya sembari menunjuk sebuah lukisan yang digantung di dinding berlapis kayu pada selasar.

“Pengantin Revolusi, Hendra Gunawan. Kalau yang di sana karya Sudjojono, judulnya Prambanan,” jawabnya seiring tangannya yang meraih kopi dan bungkus rokok secara hampir bersamaan.

Saya bangkit dan mendatangi arah yang ditunjukkan olehnya, berusaha melihat lukisan yang disebutnya sebagai karya Sudjojono itu. Samar-samar saya seperti pernah mendengar nama dua pelukis yang disebutkannya itu. Bagus-bagus; yang satu ceria dengan rombongan orang berpakaian dalam aneka warna, seperangkat alat musik –mungkin tanjidor, sepeda, dan umbul-umbul serta bendera merah putih; yang kedua suram dengan puing-puing bangunan dan sesosok siluet yang berdiri mematung di tengah jalan. Tidak banyak yang bisa saya serap dari dua lukisan tersebut. Bukan karena lukisannya yang gagal, jelas itu karena pengetahuan dan rasa seni saya yang kurang, bahkan buruk.

“Rupanya Bapak gemar mengoleksi lukisan juga ya?” kata saya saat kembali tiba di dekatnya. Iseng tanpa terlalu berharap mendapat jawaban. Dia masih duduk bersila di atas kursi lebar, seperti tadi.

“Beberapa pelukis saja. Di dalam saya masih menyimpan Afandi, Basuki Resobowo, Agus Djajasuminta, dan Henk Ngantung. Selain tertarik dengan lukisan-lukisan mereka, saya menghargai tanggungjawab sosial mereka yang begitu kuat,” jawabnya.

Jeda sebentar.

“Mengenai Tan Malaka, Prof. Moh. Yamin sejarawan romantik, penyair cum pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya ‘Tan Malaka Bapak Republik Indonesia’ memujinya sebagai ‘tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…," lanjutnya.

“Bapak kembali menyebut Mohamad Yamin. Apakah karena kesamaan nama sehingga Bapak gemar mengutipnya?”

“Hahaha….Bukan hanya karena itu, tetapi menyangkut Sumpah Pemuda, dialah bintangnya. Setelah rumusan kongres dibacakan kemudian ia didaulat untuk memberikan pidato. Bagian yang saya rasa penting dan masih bisa saya ingat adalah, ‘Pemuda Indonesia, (persatuan Indonesia) bukan masalah keyakinan, bukan masalah benar atau tidak benar. Persatuan Indonesia adalah masalah yang berakar dalam diri kita masing-masing, suatu masalah yang membangunkan kesadaran kita yang paling dalam. Mau tidak mau kita semua tergolong bangsa Indonesia, mau tidak mau di dalam tubuh kita mengalir darah Indonesia.’”

“Pak, saya pinjam kamar mandinya; mau pipis.”

“Silakan. Sudah tahu’kan cara memakainya?” sambil mengangguk dan tersenyum saya berjalan cepat menuju target sasaran. Di ruang dalam, sepanjang jalan menuju kamar mandi, tercium aroma kayu manis; dan saat kembali ke depan suara adzan dari masjid yang entah di mana terdengar mendayu. Alat perekam saya biarkan terus bekerja. Semoga batere tak habis di tengah perbincangan.

“Saya pernah membaca Nyanyi Sunyi Seorang Bisu –Memoar Buru yang ditulis Pramudya Ananta Toer. Dalam salah satu suratnya, entah kepada siapa saya sudah lupa, Pram mengaku kesal kepada Mohamad Yamin yang saat diangkat menjadi menteri PPK, mungkin kalau sekarang Mendiknas, membuat kebijakan yang sangat tidak menguntungkan bagi banyak sastrawan dan penulis yang menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Kalau tidak salah Pram mengaku hancur berantakan karena penghasilannya diputus oleh kebijakan pertama yang dikeluarkan Moh. Yamin. Bahkan, Pram sampai harus bercerai dengan istrinya karena benar-benar pailit. Balai Pustaka yang mulanya sebagai lembaga penerbitan dan percetakan dipangkas fungsinya hingga tinggal sebagai percetakan. Apakah Bapak tahu atau pernah membacanya juga? Bagaimana pendapat Bapak?” saya melihat Pak Yamin kembali menyulut rokok, entah sudah berapa batang yang ia habiskan di sepanjang perbincangan hari ini.

“Hahaha…kasihan sekali Pramudya kalau memang betul cerita yang kausampaikan itu. Saya tidak tahu. Selain Tetralogi Buru dan beberapa karya awal seperti Bekasi dan Kranji Jatuh, Ditepi Kali Bekasi, Perburuan, dan Cerita dari Blora, nyaris saya belum membaca karya-karyanya, termasuk yang tadi kau sebutkan itu, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu.”

“Halo-halo…bubur kacang hijau sudah matang. Siapa yang mau?” terdengar suara sang menantu yang segera disambut teriakan-teriakan bernada gurauan dua orang cucu Pak Yamin yang berlari menyerbu dapur. Pak Yamin bangkit dari kursi dan masuk entah untuk keperluan apa.

Hampir lima menit saya menikmati angin yang mempertontonkan gugurnya dedaunan tua dari pohonnya; induk ayam dan anak-anaknya yang berlalu ke arah belakang; jerit tongeret yang seperti ingin memecah keheningan. Tanah dan bebatuan masih terlihat basah dan mentari tak menjadi semakin terik sejak redanya hujan. Perasaan nyaman membuatku rindu rumah. Ah, sudah hampir tiga bulan saya tak pulang. Meski hampir setiap hari Bapak atau Ibu menelepon. Namun, tetap terasa beda dibanding langsung bertatap muka. Terkadang perasaan kesal tak mudah ditekan, terutama saat pertanyaan serupa seperti terus diulang-ulang: kapan sidang?; kapan lulus?; kapan wisuda?; semua dengan tanda tanya besar dan tebal. Jika dipikir ulang, sebenarnya tidak salah kalau mereka menanyakan hal itu, namanya juga orangtua dan bukankah hampir semua ongkos yang kukeluarkan berasal dari kantong mereka. Nantilah, beres bimbingan Bab V saya akan pulang sambil membawa jadwal sidang.

“Hai kok melamun. Di tinggal Papa ya? Papa lama kalau sholat. Surat yang dipilihnya panjang-panjang, sabar aja. Ini silakan dicoba, kalau kurang nanti ambil sendiri di dapur ya,” sang menantu membawakan semangkuk besar bubur kacang hijau dan roti tawar. “Sok dicobian!!!” dia kembali masuk dan saya belum sempat berterimakasih. Biarlah, nanti saja, sekaligus saat berpamitan pulang.

Segera kuhirup bubur hangat yang tersajikan. Gula kelapa, jahe, dan kayu manisnya menciptakan sensasi yang menyenangkan. Baru setengah mangkuk saja hangat mulai terasa menjalari tubuh. Tepat saat suapan terakhir Pak Yamin keluar. Wajahnya terlihat lebih segar. Bagian depan rambutnya masih basah. Mungkin benar ia habis sembahyang.

“Wah sudah habis semangkuk; saya ketinggalan.”

“Hehe, iya Pak, maaf tidak menunggu lebih dulu. Lezat sekali buburnya. Apa bisa dilanjutkan Pak?”

“Mari. Apa yang ingin kautanyakan?”

Saya tergeragap karena sebetulnya belum siap. Saya masih menikmati kehangatan efek dari bubur yang saya tandaskan, sehingga belum konsentrasi benar. Beginilah repotnya mewawancara tanpa membawa draft pertanyaan yang sekiranya bisa dijadikan pegangan. Tanpa draft pertanyaan wawancara menjadi tidak terstruktur dan saya akan mudah terjebak dalam situasi blunder. Bermaksud hanya asal tidak diam saya mulai mengajukan pertanyaan, “Mengenai Tetralogi Buru, hal apa yang paling menarik? Maukah Bapak berbagi mengenai hal itu?”

“Sampai hari ini, bagi saya Tetralogi Buru adalah novel terbaik dalam khasanah sastra kita yang pernah saya baca. Bentuk novel historis yang dipilihnya mampu mendobrak kebuntuan sastra kita yang seperti bingung berputar-putar dalam inovasi teknik tanpa jiwa sehingga terisolasi dari masyarakatnya atau mengumbar kesenangan murahan yang bernama pop. Saya pernah membuat catatan singkat bahwa Tetralogi Buru merupakan manifesto filosofis dan keterlibatan politik juga visi Pram untuk masa depan. Pram melalui novelnya tersebut berpandangan bahwa sekarang adalah Abad Rakyat dan Ilmu Pengetahuan; Minke atau mungkin Pram seperti membuat sebuah penolakan simbolis terhadap belenggu feodalisme.”

“Maukah Bapak membuat pertautan antara Tetralogi Buru dan kondisi kekinian dalam relevansinya dengan Sumpah Pemuda?”

“Boleh saja. Hahaha…tetapi saya berharap ini tidak membuat kau malas untuk mencoba sendiri; mencari segi-segi lainnya dan tidak melulu mengekor pada temuan-temuan orang lain. Ide ‘kemajuan’ dan ajakan memasuki ‘dunia maju’ yang mendorong lahirnya organisasi rakyat dan pemuda serta memenuhi tulisan-tulisan yang tersebar di berbagai jurnal, majalah, dan barang cetakan lainnya juga menjadi ‘roh’ di dalam Tetralogi Buru. Ide tersebut mendapatkan bentuknya dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Bagaimana pun kemajuan yang bisa diraih jangan sampai membawa kebangkrutan kultural. Bangsa Indonesia haruslah tetap menjadi bangsa Indonesia. Jangan sampai ‘kemajuan’ membuat ‘bangsa’ tercerabut dari identitas kulturalnya dan kehilangan identitas ‘kebangsaannya’. Ilustrasi untuk hal tersebut dapat dibaca dalam Bumi Manusia. Pada perkenalan diri di halaman pertama, Minke hadir sebagai produk kolonialisme berumur delapan belas cetakan sistem pendidikan kolonial yang diberikan untuk kalangan priyayi –pendidikan yang juga bisa dilihat sebagai pedang bermata dua yang berpotensi melahirkan dualitas. Selanjutnya Minke merasa makin terkucil dari budaya Jawanya. Semakin dunianya terbuka oleh pendidikan Barat, semakin rengganglah ikatan yang menautkan dirinya dengan akar kejawaannya. Sikapnya terhadap latar belakang etniknya diwarnai dengan ambivalensi yang mengalami peningkatan kualitas seiring berjalannya cerita.”

“Adakah pasase, potongan dialog, atau paragraf yang pernah Bapak kutip dari dalamnya?”

“Entahlah. Sudah sangat lama buku-buku itu tidak kembali saya baca. Kalau tidak salah, satu di antara yang masih membekas adalah dari Rumah Kaca, ‘Semua ikan besar busuk mengelompok jadi pelaksana kekuasaan. Semua ikan kecil busuk bertebaran dalam kehidupan.’ Tampaknya kausudah lelah ya melakukan wawancara ini? Ada baiknya kalau kaucuci-muka, atau ambil wudlu dan sholat. Sebentar lagi habis waktunya.”

“Eh iya, Pak. Benar juga. Terima kasih.”

“Silakan. Saya juga harus ke belakang, memberi makan hewan peliharaan, kasihan sudah lewat siang, mereka mungkin sudah sangat kelaparan. Nanti kalau sudah, kaubisa ikut ke belakang kalau berkenan. Mungkin agak lama juga saya di belakang,” begitu kata Pak Yamin.

Rupanya dia punya tugas. Wawancara yang saya lakukan jangan sampai mengganggunya apalagi saya lihat dia termasuk orang yang disiplin dan tegas. Mungkin perbincangan selanjutnya akan terjadi di belakang –sebuah wilayah tempat dia mengembangbiakkan unggas dan burung-burung. Saya melirik jam dinding. Sudah hampir setengah tiga. Kami meninggalkan teras depan.

*Penulis adalah fasilitator komunitas Orang Rimba di Jambi.
------------
Wawancara sebelumnya klik di sini.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Makna Sumpah Pemuda dari Pojok Kanayakan (II)”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id