25 Oktober 2010

Makna Sumpah Pemuda dari Pojok Kanayakan (I)

Oleh: Mirza Ahmadhevicko*

Sumpah Pemuda
Kami putera dan puteri Indonesia

mengaku

bosen jadi Bangsa Indonesia,

kalo bisa gak tinggal di Tanah Air
Indonesia,
dan sangat malu Berbahasa Indonesia


Jogja, 28 Oktober 2008


Hahahahaha….Tawa Pak Yamin lepas begitu saja saat ditanya bagaimana tanggapannya atas sajak yang ditulis penyair Saut Situmorang yang saya bacakan tanpa ekspresi yang meyakinkan.

“Anak muda sekarang masih ada kekritisannya dalam menyikapi keadaan nasional terutama dalam hal berbangsa dan bernegara,” jawabnya.

Puisi macam itu minta dibaca dengan cara khusus. Jangan cuma lurus-lurus saja atau cuma secara harfiah.

“Saya pernah juga mendengar puisi senada yang dibuat Hamid Jabbar. Kalau saya tidak salah judulnya Proklamasi, 2,” lanjutnya.

Isinya,
Kami bangsa Indonesia
dengan ini menyatakan

kemerdekaan Indonesia

untuk kedua kalinya!


Hal-hal yang mengenai

hak asasi manusia,

utang-piutang,

dan lain-lain

yang tak habis-habisnya

INSYAALLAH

akan habis

diselenggarakan

dengan cara saksama

dan dalam tempo

yang sesingkat-singkatnya!


Jakarta, 25 Maret 1992

Atas nama bangsa Indonesia

Boleh-Siapa Saja

“Mungkin sebagian orang kita akan gusar bahkan marah mendengarnya, namun sebagian lain akan tersenyum, bahkan terbahak karena isinya yang lucu seperti hanya main-main belaka. Puisi yang tadi kau baca dan puisi yang saya baca juga membuat kita tergugah bahwa kenyataannya setelah lebih dari delapan dekade Sumpah Pemuda dan 65 tahun setelah proklamasi, Indonesia belum mampu berdiri tegak dan berdaulat. Indonesia belum 100% merdeka. Saya kira puisi-puisi tersebut lahir dari olah pikir dan olah rasa sastrawan kita yang jiwanya dipenuhi rasa nasionalisme. Tentu kita jangan salah sangka, biasanya nasionalisme di dalam sanubari mereka bukan sebangsa nasionalisme cangkem dan sebatas hipokrisi semata. Boleh jadi mereka adalah golongan dari warga negara yang telah menghabiskan banyak waktu dalam hidupnya untuk berjibaku dengan perenungan-perenungan dalam ranah berbangsa dan bernegara. Persoalan output-nya bernada sinisme itu lain soal. Ah, tapi jangan terlalu dipikirkan apa yang telah saya ucapkan. Saya bukan ahli dalam hal sastra, jadi, ya, jawaban saya hanya jawaban dari orang awam dan hanya bersifat umum-umum saja,” kata Pak Yamin panjang lebar.

Pak Yamin diam menunduk. Wajah tuanya tampak tersipu. Dia kini menengadahkan wajah, menatap langit sambil mengisap rokok dalam-dalam. Perlahan kepulan asap tipis keluar. Mendung menggantung, di luar. Tombol alat perekam kutekan, kumatikan. Gerimis mulai bertabur, seperti ribuan jarum yang tumpah dari langit beserta deru angin kencang yang berkesiur menggoyang daun-daun pepohonan yang tumbuh di sekeliling halaman. Tegakan pohon yang berjajar membuat rumah ini seperti berada di tengah hutan, lengkap dengan suara unggas dan burung-burung.

Sebelum memulai obrolan, tadi, saya sempat berkeliling menikmati keteduhan lanskap di bawah rerimbun pohon-pohon aneka bebuahan. Beberapa diantaranya dapat saya kenali: beberapa jenis mangga, rambutan, durian, kelengkeng, pepaya, jambu air dan jambu klutuk, belimbing, srikaya, markisa, salak, dan nanas selain pohon yang bukan penghasil buah, seperti rasamala, tanjung, mahoni, angsana, alba merah, dan jati emas.

Lumut yang tumbuh di bebatuan yang disusun membentuk sejalur setapak menegaskan bahwa cahaya mentari sangat sedikit yang berhasil menembus kelebatan pekarangan rumah Pak Yamin di kawasan Pojok Kanayakan, tidak terlalu jauh dari Simpang Dago.

Hujan membesar. Bintik-bintik airnya berkilau di atas bebatuan. Kehijauan dedaunan semakin kentara saat semua menjadi basah. Sempat tebersit tanya di kepala: ini rumah apa kebun raya?

Kepulan asap terakhir baru saja keluar dengan perlahan. Hampir tiga menit lamanya terjadi jeda. Saya tak ingin mengusik ketenangannya. Bukankah kedatangan saya di pagi buta akhir pekan ini sudah cukup dianggap sebagai gangguan yang serius meski dia tidak mengatakannya.

Kamis kemarin saya mendatanginya dan meminta waktu untuk melakukan wawancara seputar tema Sumpah Pemuda. Kemudian janji tersepakati. Dia memberi saya kesempatan di akhir pekan. Wawancara ini adalah wujud dari janji yang ditepati.

“Menurut Bapak, seberapa penting Sumpah Pemuda bagi pergerakan kemerdekaan?”

“Sangat penting. Penting sekali. Sebetulnya, apa yang sekarang kita sebut sebagai teks Sumpah Pemuda, seperti yang dipelesetkan oleh penyair Saut yang tadi kaubaca itu adalah rumusan yang dibacakan di sesi penutupan Kongres Pemuda Indonesia II yang digelar di Jakarta pada 27 – 28 Oktober 1928. Konon, menurut sebuah kisah, ketika Mr. Sunarjo, eks aktivis Perhimpunan Indonesia, sedang membacakan pidato yang terakhir, Mohamad Yamin menyodorkan sehelai kertas yang berisi tulisan kepada ketua sidang, Soegondo, sambil berbisik, ‘Saya punya konsep untuk penutupan’, dan Soegondo tersenyum sembari menandatangani kertas tersebut sebagai tanda persetujuan seraya memberikannya kepada anggota panitia yang lainnya yang akhirnya juga menyetujui konsep Yamin. Maka begitulah, di akhir acara dibacakanlah putusan kongres pemuda-pemudi Indonesia. Setelah membacakan nama-nama organisasi yang hadir lalu pimpinan sidang membacakan apa yang kemudian kita sebut sebagai teks Sumpah Pemuda itu. Sekian tahun kemudian rumusan kongres tersebut semakin lazim disebut sebagai Sumpah Pemuda.

“Meski tidak memperkenalkan sesuatu yang baru dalam soal pemikiran, namun peristiwa itu setidaknya mengemukakan beberapa soal. Pertama, Sumpah Pemuda adalah pernyataan akan keharusan kontinuitas dalam perkembangan nasionalisme yang mengatasi ikatan etnis, daerah, agama, dan sebagainya. Kedua, kata ‘Indonesia’ telah disebut dengan tegas, maka, ketika itu pula sesungguhnya tekad ke arah ‘kemerdekaan bangsa’ menjadi cita-cita yang otentik. Keempat, ‘bahasa Indonesia’ telah diakui sebagai bahasa persatuan. Lebih dari itu hubungan sosial yang setara pun dipatrikan mengingat bahasa Melayu yang diangkat menjadi bahasa Indonesia itu tidak mengenal tingkatan-tingkatan bahasa. Kelima, kelima atau keenam? Iya kelima, kehadiran sebuah bangsa dilihat sebagai realitas, tidak lagi sebatas bayangan, sehingga pada awal dekade 30-an terjadi perdebatan serius yang lebih dikenal sebagai ‘Polemik Kebudayaan’ dan akan sulit dipahami tanpa mempertautkannya dengan Sumpah Pemuda. Inilah polemik pertama tentang keindonesiaan yang pernah terjadi dan tetap menjadi polemik paling bermutu sampai dengan sekarang. Keenam, sulit dilupakan bahwa kesemua proses ke arah terbentuknya tekad yang dirumuskan Sumpah pemuda itu bermula dari hasrat akan kemajuan –suatu situasi yang lebih baik yang mengatasi keadaan yang kini dialami. Mungkin itulah mengapa saya katakan bahwa Sumpah Pemuda merupakan langkah penting dalam perjuangan berbangsa dan bernegara –juga dalam hal berbahasa.”

“Tadi Bapak mengatakan bahwa Sumpah pemuda bermula dari hasrat untuk maju ke depan. Saya masih kurang mengerti. Dapatkah sedikit dijabarkan?”

“Hahaha….pertama saya ingin sedikit mengoreksi logika berbahasamu yang lucu. Tidakkah berlebihan saat kau mengatakan ‘maju ke depan’; saya pikir cukuplah kau katakan ‘maju’ dan itu sudah mewakili ‘gerakan ke depan’, mana ada maju ke belakang atau mundur ke depan. Rasanya hal-hal kecil seperti itu sedikit banyak berhubungan dengan logika. Selain lucu, bentuk-bentuk semacam itu membuat bahasa kita menjadi tidak efektif. Hahaha. Apa tadi? Oiya. Begini. Penjajahan melahirkan kesengsaraan. Sudah menjadi hukum alam bahwa manusia pada dasarnya selalu mengangankan kebahagiaan, artinya sebuah kondisi di luar sengsara dan itu diandaikan hanya bisa dicapai dengan cara keluar dari kondisi terjajah; bebas dari penindasan. Karena itulah pemuda dan masyarakat bergerak menyongsong zaman baru yang bebas dari kesengsaraan. Meskipun kaum pribumi telah memiliki kesadaran tersebut, namun, mereka sama sekali buta dalam hal metode. Mengenai hal ini kau bisa membacanya dalam Zaman Bergerak, buku yang diadaptasi dari disertasi Takashi Shiraishi di Cornell University.“

Dia menjelaskan sembari berjalan, masuk ke ruang tengah, mengambil bungkusan rokok di atas meja dan kembali melangkah ke arah kursi betawi tempatnya duduk. Saya masih menghadapinya. Di meja tergeletak alat perekam digital dengan lampu hijau yang menyala tanda sedang bekerja; dua cangkir kopi yang sudah tak lagi panas, asbak dengan beberapa puntung, dan koran pagi yang belum dibaca. Hujan belum reda.

“Hasrat untuk maju membuat beberapa kaum pribumi terdidik di dalam mau pun di luar negeri merasa perlu mendirikan organisasi. Strategi lain yang ditempuh adalah dengan menerbitkan tulisan-tulisan dalam jurnal, koran, majalah, maupun buku –pokoknya kebudayaan cetak mulai dikenalkan, terutama di kota-kota besar. Bacaan-bacaan yang dihasilkan oleh para pemimpin pergerakan masuk dalam katagori "bacaan politik". Hampir semua bacaan yang diproduksi oleh para pemimpin pergerakan apakah bentuknya novel, roman, surat perlawanan persdelicht dan cerita bersambung, isinya menampilkan kekritisan dan perlawanan terhadap tata-kuasa kolonial. Dan di sinilah catatan sejarah harus dikoreksi, sesungguhnya Sastra Indonesia sejak mula sejarahnya merupakan sastra protes, “ lanjutnya.

Pak Yamin terdiam, mungkin karena terganggu suara dering ponsel yang memperdengarkan bagian depan dari lagu L’Internationale; ini sebuah kesalahan fatal. Seharusnya tadi saya tidak lupa mematikan ponsel sebelum memulai wawancara. Setelah meminta izin kepadanya saya beringsut ke halaman, menjawab panggilan masuk yang ternyata dari seorang teman. Dia, si penelepon, membutuhkan teman yang bisa diajaknya untuk memanjati tebing-tebing karst di Kelapa Nunggal. Sebuah tawaran menarik yang terpaksa harus saya tolak dengan alasan bahwa ambang batas waktu sudah terlalu dekat sedangkan esai bertema Sumpah Pemuda yang saya janjikan belum juga bisa saya rampungkan. Beberapa literatur sudah terbaca, beberapa dosen telah diwawancarai, namun sudut pandang dan fokus yang akan dikemukakan belum juga konkret di dalam pikiran.

“Maaf Pak. Pembicaraan terpaksa terganggu. Saya tadi lupa menonaktifkan ponsel,” saya berusaha berapologi saat kembali duduk di kursi yang ada di hadapannya.

Koran yang sedang dibukanya kembali ia tutup dan lipat.

“Maaf, sampai di mana, ya, tadi itu. Kalau tidak salah tentang peran organisasi dan tulisan-tulisan tokoh pergerakan. Kalau bisa disimpulkan, sebenarnya seberapa jauh peranan pers dan media massa dalam pergerakan pemuda?”

“Karena kaum terdidik menempati posisi minoritas maka diperlukan media untuk menyebarkan ide-ide anti-kolonialisme dan anti-imperialisme agar secara luas dapat mencapai sasarannya yang lebih luas, yakni masyarakat yang saat itu lazim disebut kaum kromo atau proletariat. Artinya dengan menyebarkan ide-ide tersebut dengan kata lain ‘bangsawan pemikir’ juga telah mengupayakan pendidikan bagi masyarakat. Hal yang juga turut mendorong perkembangan pers dan barang cetakan lainnya adalah suatu kebijaksanaan penting, yakni politik etis yang dicanangkan tahun 1901. Sejak itulah dimulai fase yang lazim disebut dengan ‘Perang Soeara’ atau ‘Perang Pena’. Pada zaman pergerakan, tokoh revolusioner seperti Tirtoadhisoerjo, Semaoen, Darsono, Marco, Soeardi, Douwes Dekker, dan Tjipto adalah seorang jurnalis."

“Tentu saja yang saya katakan sebagai jurnalis di zaman pergerakan itu pada kenyataannya semakin berbeda dengan para wartawan di zaman sekarang. Saat itu para jurnalis adalah tipikal cendikiawan atau resi yang terobsesi untuk mengemban tugas profetik dan berpihak kepada masyarakat yang terpinggirkan. Mereka memiliki kesadaran akan kepentingan kelas; tidak seperti sekarang yang sepertinya alpa dan takluk pada juraganisme atau kepentingan modal. Sangat memiriskan sebenarnya saat wartawan tidak memahami realitas penindasan yang dialaminya, bahkan justru seperti menikmati ketertindasannya. Jadi kalau ditanya seberapa penting pers memegang peranan di zaman pergerakan secara singkat saya menjawab sangatlah penting. Sulit membayangkan pergerakan saat itu jika tanpa peran jurnalis, percetakan, dan rumah penerbitan. Seperti tadi sudah saya kemukakan bahwa pemimpin pergerakan saat itu sekaligus juga menjadi penulis dan jurnalis. Mereka menentang kebijakan kolonial dengan biaya yang didanai oleh saudagar batik, seperti Hadji Samanhudi yang mendanai Sarotomo atau H.M. Bakri yang mendanai Doenia Bergerak serta Hadji Misbach yang mendanai Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.”

Pak Yamin diam, seperti ingin kembali bicara tapi tak jadi. Hujan tidak mereda, dari suaranya terdengar semakin besar dan menderas. Terdengar deru mobil memasuki halaman depan terus masuk ke garasi di samping kanan.

“Itu anak saya yang bungsu. Dia sekarang jadi staf pengajar sinematografi di Sekolah Kesenian Jakarta. Setiap akhir pekan dia dan keluarganya mendatangi saya,” katanya, sebelum akhirnya suasana rumah menjadi ramai dengan suara beberapa anak-anak yang berlari berhamburan memeluk Pak Yamin yang sudah siap menyambut serbuan cucu-cucunya.

Tombol alat perekam kembali saya tekan. Kini warna hijau berubah menjadi merah yang berkedip-kedip. Saya kemudian ikut berdiri dan menyalami semua orang yang baru datang.

Beberapa saat kemudian meja dipenuhi dengan buah tangan yang terdiri dari kue-kue dan panganan lainnya.

“Mami itu lihat gigi si Om ompong dan hitam-hitam kayak gigi Fahmi. Pasti kalau habis makan cokelat gak sikat gigi,” terdengar suara seorang cucu Pak Yamin yang perempuan. Mungkin Fahmi adalah nama adiknya dan yang bicara itu kakaknya.

“Eh, jangan nakal, ya, gak boleh ngomong begitu; itu ‘kan temannya Aki. Gak boleh, itu tidak sopan,” kata perempuan, menantu Pak Yamin, sambil tersenyum melihat ke arahku dan Pak Yamin.

Di teras depan terlihat bocah lelaki yang bernama Fahmi sedang memainkan air hujan yang turun sebagai pancuran dari atap berbentuk limasan. Saya senyum-senyum saja sembari bingung bagaimana menyikapi kejujuran dan kepolosan anak-anak yang umurnya mungkin tak lebih dari delapan tahun.

Pak Yamin beranjak ke dapur, melongok meja makan, berbicara sedikit dengan sang menantu dan kembali menghampiri saya. Pak Yamin mengajak saya berpindah ke teras samping. Hanya alat perekam yang saya bawa. Cangkir kopi separuh kosong dan aneka kudapan kami tinggalkan.

Sepanjang jalan menuju teras samping saya melewati deretan lemari berisi buku-buku, sebuah kamar untuk sholat, dan dinding yang dipenuhi foto-foto keluarga: gambar anak-anaknya yang mengenakan toga. Pak Yamin sewaktu muda di tengah orang-orang berkulit hitam yang mengenakan koteka –mungkin di Papua; dia dan istrinya yang duduk dikelilingi oleh anak-anak yang berdiri berjajar di belakangnya, dia yang bertopi caping dengan arit tergenggam di tangan kanan diambil setengah badan, dirinya yang sedang bersalaman dengan rektor-tua yang kini sudah meninggal dunia, serta beberapa foto lain yang tidak sempat saya perhatikan.

“Tampaknya keluarga Bapak cukup bahagia,” ujar saya.

“Hahaha…. Begitukah yang kaulihat? Mungkin benar. Setidaknya saya cukup puas. Tugas saya sebagai orang tua telah purna. Semua anak-anak mendapat pendidikan yang cukup dan kini mereka telah berkeluarga. Dua orang di Indonesia, tinggal di Jakarta dan Balikpapan; dan yang lainnya ada di luar; yang tertua di Jepang, yang kedua di Kanada. Adiknya di Australia. Ya semoga mereka semua bahagia karena telah memilih sendiri jalur hidupnya masing-masing.”

“Iya, semoga Pak. “

Sambil berbicara dia meraih sebungkus rokok, mengeluarkan isinya sebatang, meletakkan kembali bungkusnya, meraih satu dari dua korek api gas yang ada di meja, dan mulai membakar ujung rokoknya. Bau tembakau dan cengkeh meruap.

“Djisamsoe, rokok para dewa!” tawanya kembali berderai. Saya nyengir dan mulai ikut tertawa, menemani tawanya.

“Apakah Bapak setuju jika kelahiran Budi Utomo dijadikan penanda lahirnya kesadaran nasional sehingga kini dijadikan patokan dan menandai masa Kebangkitan Nasional?”

“Begitulah yang ditangkap oleh banyak sejarawan. Padahal murid-murid STOVIA yang mendirikan Budi Utomo adalah pemuda-pemuda Jawa yang juga ikut mempengaruhi persepsi mereka mengenai nasion. Kalau kau ada waktu cobalah baca The Dawn of Indonesian Nationalism: the early years of Budi Utomo, 1908 – 1918. Di dalamnya kau akan dapati bahwa nasionalisme yang dipahami di dalam Budi Utomo adalah Nasionalisme Jawa; nasionalisme yang masih berdasarkan ikatan kultural (nasionalisme cultureel).

Bung Hatta menolak nasionalisme yang semacam itu. Butuh waktu tujuhbelas tahun bagi Budi Utomo untuk mengoreksi pandangannya hingga akhirnya bersama perhimpunan kedaerahan lainnya bersepakat meleburkan diri ke dalam Parindra, Partai Indonesia Raya di tahun 1935.

Kita sebetulnya bisa mempertimbangkan keberadaan SDI dan kemudian SI karena organisasi tersebut tidak mencantelkan kesamaan etnis. Di awal pendiriannya belum ada ideologisasi Islam sehingga di dalamnya tumbuh berbagai macam pemikiran. Ini menjadi menarik karena bukankah ‘bangsa’ adalah wadah bagi segala corak aliran pemikiran? Kita juga bisa mempertimbangkan kelahiran Indische Partij yang juga serius mewacanakan dan merumuskan pengertian ‘bangsa’. Di tengah pergulatan pemikiran inilah lahir tulisan penting dari Soeardi Soerjaningrat yangberjudul ‘Als ik eens Nederlander was’, atau ‘Seandainya Saya Seorang Belanda’ yang isinya kecaman keras dengan penuh ungkapan sinis atas rencana pemerintah kolonial yang akan menggelar pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Prancis di negeri jajahan yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.”

“Dari uraian Bapak, saya menangkap ada nuansa problematis dengan penetapan Budi Utomo sebagai organisasi nasional pertama. Menurut saya jawaban bapak tadi berbeda dengan tulisan-tulisan di buku-buku sejarah sekolah menengah, bahkan sampai ke perguruan tinggi yang umumnya semua bernada tegas dan asertif. Tidakkah seharusnya dilakukan pengoreksian atas informasi yang kurang tepat mengenai hal tersebut?”

“Sejarah bukanlah matematika, sehingga cara penanganannya pun berbeda. Mengenai hal tadi bola ada di tangan Negara atau dalam hal tersebut diwakili oleh Departemen Pendidikan dan terutama Pusat Kurikulum. Hemat saya seharusnya para pakar yang duduk di sana mau bersusah-susah melakukan penelitian-penelitian bersama dengan LIPI mengenai pelurusan berbagai informasi menyangkut sejarah pergerakan. Masalah akan semakin rumit jika status quo merasa terancam oleh temuan-temuan baru di lapangan. Mungkin itu jawaban saya.”

Jeda. Pak Yamin terdiam. Saya masih mengerutkan kening berusaha mencerna paparannya. Beberapa kali dia menengok ke ruang makan. Di tangannya masih terselip sebatang rokok yang mengepul. Hujan membuat udara tetap sejuk. Suara anak-anak yang berlarian terdengar dari dalam.

Saya kembali mengajukan pertanyaan, “Mengenai Iwa Kusumasumantri dan organisasi Perhimpunan Indonesia yang sudah Bapak singgung sedikit di awal perbincangan ini, saya ingin memastikan, apakah benar bahwa penggunaan kata ‘Indonesia’ pertama kali diperkenalkan oleh P.I bersama Iwa sebagai salah satu tokohnya?”

“Saya harus memberikan uraian yang agak panjang mengenai hal itu. Mungkin lebih baik kita tunda sebentar untuk makan siang. Waktu kau datang pagi tadi saya belum sempat sarapan. Hidup cuma sekali, jangan lewatkan makanan enak. Hahaha…. Mungkin karena umur, sekarang saya sebentar-sebentar merasa lapar dan parahnya saya sulit mengingat dan berpikir dalam keadaan lapar. Mari kita ke belakang. Setelah itu kita bisa melanjutkan perbincangan sampai sore atau kalau perlu sampai malam.”

Ajakannya sulit untuk saya tolak, maka saya mengikutinya, berjalan di belakang. Hujan mulai mereda, berubah gerimis seperti permulaannya.

*Penulis adalah fasilitator komunitas Orang Rimba di Jambi.
----------
Bersambung ke sini

Komentar :

ada 0 komentar ke “Makna Sumpah Pemuda dari Pojok Kanayakan (I)”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id