Jakarta, Bingkai Merah – Di dalam memperingati Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret, ratusan perempuan menggelar Konferensi Perempuan Indonesia di depan Istana Negara (8/3). Konferensi yang mewakili berbagai daerah di Indonesia itu diadakan untuk menggugat pemerintah yang dinilai membuat dan membiarkan perempuan jatuh ke dalam kondisi krisis.
Menurut mereka, kondisi krisis perempuan Indonesia mengarah pada kehancuran. Indikatornya antara lain, penghasilan penduduk miskin kurang dari $ 1 per hari (Rp9000/hari), perempuan menghabiskan 50-70% waktu untuk kerja yang sebagian besar tidak dibayar atau upah yang sangat rendah, perempuan mengalami kekerasan fisik, psikologis, dan seksual, dan perempuan mengalami risiko kematian saat hamil dan melahirkan dimana setiap 100.000 kelahiran hidup terdapat 248 perempuan meninggal.
Selain itu, perempuan menjadi sasaran fundamentalisme agama untuk tubuh dan kebebasan politiknya dan menanggung hutang untuk pangan, transportasi, pendidikan, kesehatan, jaringan sosial sebesar Rp453.569 ribu per bulan.
Dalam aksinya, mereka mengajak seluruh perempuan Indonesia untuk membebaskan diri dari krisis pangan, seksualitas, ketenagakerjaan, politik, dan keberagaman dengan 10 Tuntutan PKK (Perempuan Keluar dari Krisis). Tuntutan itu diajukan kepada pemerintah yang dinilai gagal mensejahterakan perempuan. Pemerintah dinilai lebih mengedepankan kebijakan yang neoliberal dan mendiskriminasi perempuan.
10 tuntutan PKK berisi, turunkan harga bahan pangan; dukung keterwakilan perempuan dalam politik dan ruang publik; cabut kebijakan yang mendiskriminasikan perempuan; hentikan kekerasan, berikan jaminan dan perlindungan hukum bagi perempuan; kebebasan informasi dan media yang ramah terhadap perempuan; peningkatan akses pelayanan publik, kesehatan dan pendidikan; kembalikan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya alam; perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia untuk pekerja perempuan; lindungi kebebasan beragama dan berkeyakinan; dan hentikan investasi yang merusak lingkungan dan merugikan perempuan.
Aksi yang diselenggarakan oleh Barisan Perempuan Indonesia, Gerakan Perempuan Anti Diskriminasi, dan Komunitas untuk Indonesia yang Adil dan Setara itu cukup meriah. Selain spanduk besar, poster-poster, pernak-pernik aksi, pameran foto berjalan, dan pengaturan tempat mimbar konferensi, aksi itu juga mengetengahkan kondisi krisis dari Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Indonesia Timur, Jawa, dan Jabodatabek dalam bentuk teaterikal.
Beberapa kali polisi menunda aksi dan memaksa mereka tidak menggunakan pengeras suara, sehingga mengganggu kelancaran aksi. Bahkan, salah satu polisi sempat mematikan langsung sumber pengeras suara.
Sempat terjadi kericuhan soal pengeras suara itu. Hal yang menandakan pemerintah Susilo Bambang Yudoyono dan Boediono belum berpihak kepada perempuan. (bfs)
Foto: Bingkai Merah.
begitulah hebatnya kepemimpinan negara kita!!!
Sampe demo menyuarakan hati rakyat aja sampe dilarang menggunakan pengeras suara dengan alasan ada tamu negara!
Berarti sudah sangat jelas bahwa pemimpin kita tak mau mendengarkan keluhan rakyat mengapa gak mikir kok rakyat sampe demo andaikan pemimpin negri ini benar'' menjadi wakil rakyatnya tak perlu lah kita ini demo!
Aq melihat ditempat q mukim mencari sesuap nasi para pemimpinnya gak seperti pemimpin indonesia yang anti kritik disini demokrasi bener'' ditegakkan tak ada larangan berdemo dan tak akan ada polisi'' yang menganiaya para pendemo!