3 September 2011

Misbach: Islam-Komunisme Harus!

Oleh Prasetyo Serna Galih - Bingkai Merah

Pertentangan antara Islam dan komunisme menjadi salah satu huru hara sosial di peradaban manusia. Pertentangan itu bahkan menyeret nyawa manusia untuk dikorbankan. Setidaknya itu yang terjadi di negeri ini pada akhir tahun 1965.

Beberapa ormas Islam bersama dengan prajurit ABRI membantai orang-orang yang disangkakan sebagai komplotan PKI – dituduh sebagai dalang peristiwa 1 Oktober 1965. Untuk melihat pertentangan dua ajaran itu, alangkah baiknya kita melihat seorang tokoh pergerakan negeri ini yang justru memadukan dua ajaran sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme Belanda.

Misbach nama tokoh ini. Julukannya 'Haji Merah'. Tidak banyak literatur sejarah nasional yang mengungkap perjuangannya. Ia sosok yang menyatukan ajaran Karl Marx (Komunisme) dan Muhammad SAW (Islam). Di saat yang sama, kolonialisme selalu mengadu kelompok anti imperialis - komunisme - dengan kalangan agama, terlebih Islam. Alhasil, perpaduan antara Komunisme dan Islam begitu ditakuti kolonial.

Misbach lahir di Surakarta tahun 1879 di desa Kauman. Nama 'Misbach' diperoleh setelah ia menunaikan ibadah haji ke kota suci, Mekkah. Orang tuanya memberi nama Ahmad sewaktu ia kecil. Lantas berubah menjadi Darmodiprono setelah ia menikah. Selain mendapat pendidikan di pesantren, ia pernah merasakan pendidikan di sekolah Bumi Putera meski bertahan hanya 2 bulan.

Misbach saat beranjak dewasa memutuskan untuk terlibat di dalam perjuangan melawan kolonial. Selama di Surakarta, ia aktif membangun Serikat Islam Surakarta.

Misbach memandang, keadaan negeri yang terjajah tidak bisa dilepaskan dari keinginan para misionaris Belanda yang menyebarkan agama Kristen di bumi Nusantara selain juga untuk mengeruk kekayaan alam negeri ini.

Oleh karena itu, ia memandang tidak bisa dilepaskan perjuangan Islam dari keterkaitan dengan ajaran Komunisme yang juga berkeinginan untuk melepaskan manusia dari kaum penjajah.

Namun, bukan berarti Misbach menjadi tokoh mubaligh Islam yang sangat rasial. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Islam yang dekat dengan kaum papa dari berbagai lapisan, mulai dari buruh, petani, pedagang, sampai tokoh-tokoh pergerakan. Ia juga tidak segan-segan melemparkan kritik terhadap ormas Islam atau mubligh Islam di jaman itu yang dipandang bersikap koopertatif dengan penjajah Belanda, seperti Muhammadiyah dan Serikat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto.

Tjokroaminoto merupakan korban dari kerasnya pemikiran Misbach. “Semprong Wasiat: Disiplin Organsisi Tjokroaminoto Menjadi Racun Pergerakan Rakyat Hindia”; merupakan tulisan beliau di tahun 1923 untuk mengkritik Serikat Islam Putih pimpinan HOS Tjokroaminoto.

Di tahun itu pula, ia menguraikan keterkaitan antara Komunisme dan Islam untuk dijadikan alat perjuangan melawan penjajah Belanda. Pemaparannya dilakukan di depan Kongres Partai Komunis Indonesia (PKI) tanggal 4 Maret 1923. Kongres itu dihadiri perwakilan 16 Cabang PKI, 14 cabang Serikat Islam Merah, dan beberapa serikat komunis lainnya.

Pemaparannya berisi tentang keadilan dan kemanusiaan berdasar prinsip ajaran Karl Marx disertai ayat-ayat Alquran yang sangat relevan. Salah satunya, dalam AlQuran dijelaskan mengenai perubahan suatu kaum tidak akan terjadi tanpa adanya usaha dari kaum itu sendiri untuk terbebas dari kondisi ketertindasannya (Surat Arra'du ayat 11).

Menurutnya, perubahan dari masyarakat terjajah menuju masyarakat tanpa kelas yang tanpa penindasan tidak akan terwujud jika tidak dilakukan oleh tangan-tangan aktif manusia. Sebab, suatu yang tidak nyata justru melemahkan manusia itu sendiri sebagai mahluk sempurna seperti terjelaskan dalam ajaran Islam.

Misbach kemudian turut mempopulerkan istilah “sama rata sama rasa”. Dalam salah satu tulisannya pada tahun 1926 yang dimuat di Medan Muslimin, Misbach menuliskan bahwa agama berdasarkan atas sama rata sama rasa kepada Tuhan yang maha kuasa, dan hak persamaan untuk segenap manusia (Nasehat, 1 April 1926).

Konsep itu menawarkan bahwa manusia diwajibkan untuk menghormati manusia lainnya dengan persamaan yang adil, tidak berat sebelah yang akan menimbulkan diskriminasi dan berujung kepada penjajahan antar manusia. Kedudukan atau jabatan manusia yang lebih tinggi tidak bisa menjadikan manusia mempunyai hak untuk menindas atau berprilaku tidak adil. Jika kondisi itu tercipta, sudah menjadi kewajiban manusia lain untuk melakukan perlawanan atas kondisi itu.

Penghisapan yang terjadi antar manusia disebabkan karena adanya sistem kapitalisme dalam berbagai bentuk dan metodenya. Satu-satunya senjata untuk menghancurkan kapitalisme adalah komunisme yang mendambakan tatanan masyarakat tanpa kelas, tanpa penghisapan manusia atas manusia.

Selain berdakwah dan mengorganisir kaum tertindas, Haji Misbach juga bergerak di ranah jurnalistik sebagaimana yang dilakukan banyak tokoh pergerakan lainnya.

Bersama dengan Mas Marco Kartodikromo, mereka berdua membangun organisasi bernama Indiansche Journalisten Bond (IJB) – didirikan oleh Mas Marco. Misbach juga aktif di dua media koran, yaitu Medan Muslimin dan Islam Bergerak.

Di dalam perjalanannya, Misbach memunculkan banyak tulisan yang berisikan perjuangan seorang mubaligh terhadap kondisi ketertindasan yang terjadi di masyarakat.

Penjara merupakan risiko yang umumnya diterima sosok manusia seperti Misbach. Ia merasakan dinginnya jeruji besi pada 7 Mei 1919. Tertangkap karena “ulah”nya menggambarkan mengenai kerjasama jahat antara penguasa lokal (Pakubuwono X) dengan penjajah Belanda.

Saat itu, ia juga menggambar komik yang dimuat di harian Islam Bergerak tertanggal 20 April 1919. Setelah itu, ancaman dan hukuman kurungan menjadi sahabat setia Misbach dalam perjuangannya.

Malaria yang akhirnya mengakhiri perjuangannya saat diasingkan oleh Belanda di Manokwari, Papua. Ia wafat pada 24 Mei 1926.

Selama di pengasingan, ia begitu dikucilkan. Ia hanya diperbolehkan membaca AlQuran yang selalu menjadi teman setianya. Yang setiap saat menguatkan perjuangan kelasnya yang bersandar pada Komunisme. Meski demikian, ia berhasil menuliskan karya besarnya yang bisa kita baca sampai saat ini, Islam dan Komunisme.

Bagi ratusan orang yang hidup pada zamannya mungkin akan selalu terngiang dengan ucapannya yang sangat berani, “jangan takut, jangan khawatir, jangan takut di gantung, jangan takut di buang”.

Ucapannya, "jangan takut di buang" menjadi sebuah kenyataan yang ia rasakan tidak hanya dari kebijakan kolonial Belanda saat itu. Namun, berlanjut sampai detik ini. Sekarang, ia menjadi sosok yang terbuang dalam ingatan sejarah para generasi penerusnya. Mengenaskan.

Padahal menurutnya, di dalam konteks Indonesia sampai saat ini, wajah Islam semestinya selaras dengan Komunisme. Terlebih Islam berada di dalam pojok pertarungan antara sisi kepentingan yang membangun Islam dan kemanusiaan dan sisi lain, menghancurkan Islam sekaligus kemanusiaan.

Menjadi relevan perkataan Haji Misbach di bawah ini,
"Siapa yang tidak menyetujui dasar-dasar komunisme, mustahil ia Islam sejati. Sebaliknya, juga mustahil ia Komunis sejati, bila ia memerangi Islam yang bertujuan masyarakat tanpa kelas."

Tunggu apalagi, Islam-Komunisme, Harus!

*Dari berbagai sumber.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Misbach: Islam-Komunisme Harus!”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id