Jakarta, Bingkai Merah - Hari raya Imlek yang jatuh pada hari minggu, 14 February 2010, dirayakan oleh para etnis Tionghoa di berbagai daerah di Indonesia. Tak terkecuali di Jakarta. Tepatnya di Petak 9, Glodok, Jakarta Barat. Daerah Glodok terkenal dengan sebutan Pecinan. Di daerah itu berdiri salah satu Vihara yang banyak didatangi para etnis Tionghoa untuk bersembayang dan merayakan Imlek.
Vihara Dharma Bakti terletak di jalan Kemenangan III/13, Jakarta barat. Komplek Vihara Dharma Bakti terdiri dari beberapa Vihara kecil, seperti Vihara Hui Tek Bio.
Bapak Yap seorang etnis Tionghoa keturunan Kalimantan yang tinggal di daerah Petak 9 dan bekerja sebagai penjual nasi uduk memaknai imlek sebagai hari kemenangan dan perjuangan di tahun berikutnya. Bapak dua orang cucu itu di hari raya Imlek ikut berpartisipasi merayakan Imlek di Klenteng Dharma Bhakti. Di hari raya imlek tahun ini, Bapak Yap ikut bantu-bantu di Klenteng Hiu Tek Bio yang terdapat di dalam komplek Klenteng Dharma Bhakti.
Bagi Bapak Yap, perayaan Imlek di tahun ini tidak jauh berbeda dengan perayaan Imlek tahun-tahun sebelumnya. “Kalo dulu zaman Pak Harto, kita gak boleh merayakan. Jadi, kita merayakan secara sederhana saja. Nah, mulai jaman Gus Dur jadi presiden, kita bisa merayakan imlek dengan bebas tanpa takut dilarang”, ungkap bapak Yap.
Menjadi etnis Tionghoa di jaman Pak Harto jadi Presiden sangat berat. Tindakan-tindakan diskriminatif ia rasakan dari pejabat pemerintah kota. Juga dari lingkungan sekolahnya dulu. "Dulu pas awal buka usaha nasi uduk di depan rumah, tetangga warga asli sini masih banyak yang mencibir, bahkan pernah didatangi Tramtib untuk membubarkan dagangan saya. Padahal rumah saya di gang. Alasannya mengganggu pengguna jalan dan motor”, tutur Bapak Yap.
Seiring iklim kebebasan, Bapak Yap merasakan keberagamanya tidak lagi menjadi permasalahan. Walau ia akui tidak sepenuhnya tindakan diskriminatif itu terhenti. Baginya kebebasan untuk merayakan Imlek adalah hak asasi orang Tionghoa. Hal itu cermin keberagaman bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam-macam suku bangsa dan etnis.
Imlek tidak harus dirayakan dengan bermewah-mewah. Menurutnya, makna imlek sebenarnya adalah perjuangan ke tahun depan yang lebih baik. “Tahun ini penuh dengan perjuangan bukan saja saat imlek kita merayakan secara besar-besaran tapi di kehidupan sehari-hari setelah imlek yang menentukan”.
Perayaan Imlek di keluarga bapak Yap sangat sederhana. Di sana tidak ada akanan khas yang disajikan. Semua itu menurut Bapak Yap cuma simbol. Yang paling penting adalah doa kita kepada Yang Kuasa untuk menjalani kehidupan di tahun depan dengan penuh perjuangan.
Lain halnya dengan Bapak Lim (40 tahun) yang tinggal di daerah Plumpang, Jakarta barat. Ia datang ke Vihara Dharma Bhakti bersama istri dan tiga anaknya. Mereka terbiasa bersembayang di Vihara itu. Pak Lim, seorang wirausaha itu, memaknai Imlek sebagai bentuk perubahan tingkah laku dalam keseharian menjadi lebih baik terutama dalam segi perekonomian. “Di tahun macan ini, kita harus merubah karakter-karakter kita yang tidak baik agar bertahan”, tutur Bapak Lim.
Kebebasan berkeyakinan yang dialami Bapak Yap dan Bapak Lim saat ini merupakan jasa Presiden Gus Dur. Gus Dur menjadi panutan dan pahlawan bagi sebagian besar etnis Tionghoa. Hal itu tercermin dari penuturan bapak Lim, “saya berdoa bukan hanya untuk keluarga dan kerabat, tapi juga buat almarhum Gus Dur. Berkat beliau kami bisa merayakan Imlek tanpa takut dilarang oleh aparat”.
Sepengalaman Bapak Lim saat kecil dan muda, merasakan tindakan-tindakan diskriminatif. Ia sering dihina oleh lingkungan tempat tinggalnya. Ia sering dimaki, “dasar cina” atau kata-kata lain yang menyingung perasaannya. Selain itu, ia pernah mendapatkan perlakukan diskriminatif dari pejabat pemerintah saat pembuatan KTP atau SIM atau untuk melamar menjadi PNS.
“Saya dulu mencoba melamar menjadi PNS di Bandung, tidak diterima dengan alasan tidak jelas. Padahal perlengkapan administratif sudah lengkap”, kata Bapak Lim.
Harusnya tindakan diskriminatif dari masyarakat dan pemerintah kepada etnis Tionghoa harus dihentikan. Hal itu sesuai semboyan Negara Indonesia, Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu jua). Semboyan itu lahir sebagai satu kesimpulan tentang keberagaman bangsa Indonesia. (PSG)
Foto: Candra Irawan
15 Februari 2010
Tahun Macan Kayu, Tahun Penuh Dengan Perjuangan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar :
Posting Komentar
Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.
Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.
Terima kasih.