6 Maret 2010

Rejim SBY dan DPR Gagal Menyejahterakan Perempuan

Jakarta, Bingkai Merah – Belasan organisasi perempuan berkumpul menyatakan rejim Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan DPR semakin menindas perempuan dengan kebijakan-kebijakannya yang tidak sensitif jender dan neoliberal (Jumat, 6/3). Pertemuan itu merupakan forum konsolidasi belasan organisasi perempuan dalam rangka Seabad Perlawanan Perempuan Internasional 8 Maret 1910 – 2010. Pertemuan yang berbentuk dialog interaktif itu dihadiri oleh Anwar Maaruf dari Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia), Aida Milasari dari Cedaw Working Group Indonesia, dan Ruth Indiah Rahayu dari Barisan Perempuan Indonesia (BPI) sebagai narasumber.

Berbagai organisasi perempuan dari beragam sektor yang hadir di pertemuan itu mengungkapkan beberapa indikator kegagalan rejim yang berkuasa selama ini terhadap kesejahteraan perempuan. Di wilayah domestik, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap perempuan dan anak terus meningkat setiap tahunnya. Menurut catatan Komnas Perempuan, sebanyak 52.000 kasus KDRT terjadi sepanjang 2009. “Itu hanya jumlah yang dilaporkan oleh korban atau saksi. Lebih banyak dari itu, beberapa korban enggan menempuh jalur pidana. Mereka lebih banyak tidak mau berurusan dengan hukum atau mereka cukup memilih jalur perdata, perceraian”, kata Johanna dari LBH APIK.

Persoalan perempuan memang begitu pelik. Perempuan dihadapkan pada kultur patriarki, budaya yang meninggikan lelaki dibanding perempuan, yang menindas mereka di wilayah domestik, rumah tangga, bahkan privat, tubuhnya. Tak hanya itu, perempuan juga ditindas di wilayah publik. Beberapa peraturan dibuat oleh rejim yang mendiskriminasi perempuan.

“UU Pornografi, Perda-perda diskriminatif, seperti Perda Qanun di Aceh, Perda Pelacuran di Tengerang, dan Perda Ketertiban Umum di DKI Jakarta merupakan bentuk konkret penindasan perempuan oleh negara. Seringkali perlakuan hukum tidak dirasa adil oleh korban dan penggugat”, begitu yang dikatakan Umi Fadira dari LBH APIK.

“SBY pernah menyatakan akan membatalkan perda-perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas, namun kenyataannya itu tidak pernah terjadi. Hanya Perda Qanun yang pernah ditinjau. Selain itu, SBY engan meninjau perda-perda lainnya”, katanya.

Secara rinci penindasan perempuan di wilayah publik terungkap di banyak sektor. Di sektor buruh, buruh perempuan sesungguhnya sudah mati saat mereka bekerja sebelum mereka mati, begitu kata Natiyem, buruh perempuan tekstil. “Buruh saat ini tinggal mempertahankan nafasnya dari himpitan kebijakan outsourching, menyebabkan banyak pabrik tutup meski tidak pailit. Ribuan buruh perempuan di PHK”, lanjut Natiyem di dalam testimoninya.

Hal senada diungkapkan Anwar Maaruf. “Kebijakan ekonomi negara ini cenderung ke arah neoliberal menyebabkan banyak terjadi PHK. Terlebih saat nanti negara menerapkan perjanjian Pasar Bebas Asia China (CAFTA)”, katanya.

Di kelompok perempuan nelayan, di beberapa daerah pesisir telah terjadi reklamasi untuk membangun aktivitas bisnis dan perumahan elit oleh pemerintah daerah bersama pemodal. Aktivitas itu berdampak pada limbah yang mengalir ke laut. “Perempuan nelayan yang mendominasi aktivitas perikanan menanggung dampak limbah terhadap berkurangnya hasil tangkapan”, kata perwakilan dari Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan.

Di kelompok homoseksual, perempuan yang memilih orientasi seksual homoseks juga mengalami perlakuan diskriminatif di pekerjaan dan lingkungan sosial jika mereka diketahui orientasi seksualnya. SBY pernah menyatakan dukungannya di hadapan kelompok transjender dan prostitute. “Namun, itu terjadi saat kampanye. Selepas itu, kebijakan diskriminatif terus bermunculan mengancam keberadaan kaum homoseksual. SBY diam saja”, kata Agustin mewakili kelompok Lesbian, Biseksual, dan Transjender.

Begitu pun terjadi di sektor pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Yeti, Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia, menyatakan sampai saat ini orang-orang yang dihilangkan oleh rejim Orde Baru belum pernah mau disentuh untuk diungkap kebenarannya oleh rejim SBY selama dua kali pemerintahannya. Padahal, banyak pihak, termasuk dunia internasional menunggu kemauan politik rejim SBY, legislatif, dan yudikatif menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. “Ibu-ibu yang bersikeras menuntut kepastian anaknya yang belum pulang sampai saat ini di tengah ketidakpastian hukum dan politik menunjukkan pengabaian pemerintah”, katanya.

Di sektor buruh migran, Eli, korban perdagangan manusia saat bekerja di Irak, menyatakan dirinya dipaksa oleh kelompok yang memperdagangkan manusia untuk menjajakan dirinya dengan upah 4.500 dollar US. Penderitaannya semakin panjang tatkala ia memohon kepada KBRI di Irak agar dipulangkan. Namun, KBRI menolak permohonannya itu. Keberadaannya di Indonesia kini atas kerja kerasnya sendiri dibantu Migran Care.

Penindasan rejim berkuasa juga dialami perempuan miskin kota. Aliansi Rakyat Miskin yang memiliki perhatian di sektor miskin kota, menyatakan telah terjadi penindasan berlapis oleh rejim SBY dan DPR terhadap diri perempuan. Selain perempuan dipaksa mengurusi hal-hal rumah tangga, ia juga harus mencari uang di sektor publik dengan berbagai cara. Tidak terpenuhinya penghasilan menyebabkan mereka berhutang.

Selain itu, perempuan miskin kota dihadapkan pada pembatasan ruang gerak ekonomi dan tempat tinggal. Penggusuran tempat tinggal dan lahan bekerja kerap dialami oleh mereka. Penggusuran menjadi sah karena adanya kebijakan yang dibuat Pemerintah Daerah atas campur tangan para pemodal.

Ruth Indiah Rahayu di dalam penjelasannya menyatakan persoalan perempuan selalu dihadapkan pada dua tembok besar. Pertama soal keperempuannya, termasuk tubuhnya di hadapan kultur patriarki dan di hadapan neoliberalisme. Tubuh perempuan selalu menjadi sasaran kesalahan jika melenceng dari konstruksi sosial yang patriarki itu. Kedua, perempuan sebagai basis sosial akan terancam oleh agenda neoliberal yang menyengsarakan rakyat. Perempuan di dalam kultur patriarki dibebankan oleh menumpuknya tekanan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga.

Pada kajian BPI menyebutkan dalam satu hari 12 orang buruh migran perempuan meninggal di negara tempat bekerja, 1.600 buruh perempuan meninggal, 20 perempuan diperdagangkan untuk komoditi seksual dan tenaga kerja, 100 juta ribu berhutang Rp30.000 untuk biaya konsumsi rumah tangga, 12 perempuan menjadi korban kekerasan seksual, 48 ibu mati melahirkan, dan perempuan petambak kehilangan lahan 45 hektar. Selain itu, yang tragis, selama empat hari satu perempuan bunuh diri karena himpitan ekonomi dan kultur patriarki.

Data-data itu setidaknya menyimpulkan kondisi perempuan yang semakin kritis.

Atas kegagalan rejim SBY dan DPR yang membuat perempuan dalam kondisi kritis, Barisan Perempuan Indonesia bersama FOR Indonesia akan menggelar parodi Makamah Rakyat di Bundaran Hotel Indonesia Jakarta pada 8 Maret 2010, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Menurut rencana, di Makamah Rakyat, Rejim SBY dan DPR akan diadili di hadapan perempuan yang selama ini disengsarakan. Hasil putusan sidang akan disampaikan ke Istana Negara agar rejim yang berkuasa dapat mengoreksi dan memerbaiki kebijakannya terhadap kepentingan perempuan.

Perempuan berlawan sudah muak dengan rejim dan sistem yang berlaku sampai saat ini. Pada titik itu, perempuan bersama rakyat Indonesia menuntut: GANTI REJIM, GANTI SISTEM! (bfs)

Foto: LBH APIK

Komentar :

ada 0 komentar ke “Rejim SBY dan DPR Gagal Menyejahterakan Perempuan”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id