15 Juni 2010

Peringatan Phe Chun di Kampung Cina Benteng

Shinta Nuriyah Wahid bersama Warga Menolak Penggusuran

Tangerang, Bingkai Merah – Peringatan Phe Chun di Kampung Cina Benteng terasa beda (12/7). Warga Cina Benteng memperingati Phe Chun di dalam keprihatinan dan kewaspadaan tinggi di tengah ancaman penggusuran paksa oleh Pemerintah Kota Tangerang.

Peringatan yang dihadiri oleh ratusan warga miskin yang terancam digusur itu diisi oleh muatan penolakan penggusuran. Peringatan itu diawali dengan orasi politik dari warga, pendamping, dan Shinta Nuriyah Wahid yang secara khusus datang untuk memberikan dukungannya.

Chun Siong, warga, sekaligus Ketua RT 02, merasa mendapat penguatan atas perhatian dan bantuan dari banyak pihak yang mendukung penolakan penggusuran paksa, terlebih dari Shinta Nuriyah Wahid.

“Kami tidak akan cengeng. Kami tidak akan menangis atau mengancam bunuh diri. Dengan dukungan dari banyak pihak, kami akan mempertahankan tanah dan bangunan yang kami miliki sejak dulu yang menjadi hak kami. Kami ingin penataan ulang bukan penggusuran”, kata Chun di sela orasinya.

Tuntutan penataan ulang berasal dari seluruh warga Kampung Cina Benteng. Mereka secara sadar menolak penggusuran paksa yang terus diupayakan oleh Pemerintah Kota Tangerang karena tidak memberikan solusi dan tidak manusiawi. Penataan yang diinginkan warga adalah kampung yang ditata agar indah, nyaman, dan aman tanpa menghilangkan hak atas tanah, rumah, dan bangunan sosial dan budaya yang secara turun-temurun dilestarikan oleh warga.

Penataan ulang selaras dengan hak warga yang dijamin di dalam konstitusi. Hal itu sejalan dengan Isnur, perwakilan pendamping yang selama dua bulan ini terus mendampingi warga. Ia berpendapat bahwa negara sudah melakukan kontrak kepada rakyatnya sejak diproklamirkannya negara Indonesia agar tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Upaya penggusuran paksa yang dilakukan Pemerintah Kota Tangerang mengabaikan hal itu.

“Tidak ada pengutamaan berdasarkan ras, agama, dan golongan tertentu. Semua memperoleh kesempatan yang sama dan dijamin untuk memiliki tempat tinggal yang layak, dan mengembangkan budayanya. Oleh karena itu, bersama-sama kita tagih janji negara Indonesia untuk melindungi rakyatnya. Ketika negara akan melakukan penggusuran dan penindasan, maka negara sudah ingkar janji”, lanjutnya.

Hal senada diungkapkan oleh Shinta Nuriyah Wahid. Ia ikut menyatakan prihatin atas upaya penggusuran yang akan dilakukan oleh Pemerintah Kota Tangerang.

“Saya ikut merasakan bagaimana sulitnya beban kehidupan masyarakat yang dihadapkan oleh ancaman penggusuran. Saudara-saudara tidak sendiri di dalam melawan penggusuran di Kampung Cina Benteng. Masih banyak kelompok masyarakat di luar sana yang empati dan mendukung perjuangan menolak penggusuran”, kata Shinta Wahid.

Menurutnya, pemerintah harusnya mendukung rakyatnya, tetapi justru memberikan justifikasi moral yang menjatuhkan, sehingga kaum miskin dan marjinal kian terkapar di dalam kemiskinan.

Makna Phe Chun atas Kepemimpinan Bangsa
Keperihatinan Shinta Nuriyah Wahid juga dirasakan warga Kampung Cina Benteng. Di Peringatan Phe Chun, warga merindukan pemimpin seperti Qu Yuan yang identik dengan Peringatan Phe Chun.

Qu Yuan dilahirkan pada 340 BC. Ia salah satu anggota keluarga dari tiga keluarga terhormat pada Kerajaan Chu. Qu Yuan adalah seorang penasihat bagi Raja Huai yang memerintah dari 328 BC sampai 299 BC. Karena kepandaian dan kejujurannya, banyak pejabat korup yang iri dan ingin menyingkirkannya.

Persekutuan antara Kerajaan Chu dan Kerajaan Qin terjadi ketika Kerajaan Qin mengambil alih sebagian wilayah Chu. Di tengah masa pertempuran tersebut, Qin mengajukan usul gencatan senjata kepada Chu dan menginginkan diadakannya pertemuan membahas perdamaian.

Qu Yuan menasehati agar Raja Huai tidak bersedia datang ke Qin untuk berunding. Namun, bujukan dari para pejabat korup lebih berpengaruh di pikiran Raja Huai sehingga dia bersedia datang. Raja Huai langsung ditangkap pada saat tiba dan meninggal setelah tiga tahun di dalam penjara.

Anak tertua Raja Huai, Qin Xiang menjadi raja. Sedangkan anak lainnya, Zi Lian, menjadi Perdana Menteri. Saat kedua orang itu berkuasa, Qu Yuan langsung disingkirkan dan diusir dari istana. Di dalam pengasingannya, Qu Yuan banyak mengabdikan hidup kepada rakyat, sehingga rakyat sangat cinta dan hormat terhadap Qu Yuan.

Pada 278 BC, tentara Qin menguasai Ying, ibukota Kerajaan Chu. Berita itu membuat Qu Yuan sangat berduka. Qu Yuan sangat menyesali dirinya sendiri. Ia tidak dapat menyelamatkan Kerajaan Chu. Rasa sedih dan putus asa yang mendalam menyebabkan Qu Yuan memutuskan bunuh diri dengan menceburkan diri di Sungai Miluo.

Beramai-ramai orang mencari jenasah Qu Yuan di Sungai Miluo. Mereka memukul-mukul genderang untuk mengusir ikan-ikan agar tidak mengganggu jenasah Qu Yuan. Pencarian yang dilakukan tidak memberikan hasil. Pada keesokan harinya, mereka membungkus Ba Cang, nasi daging yang dibungkus daun, dengan melemparkan ke sungai agar ikan-ikan yang ada menjadi kenyang dan tidak mengusik jenasah Qu Yuan. Demi mengenang Qu Yuan, kebiasaan yang dilakukan itu menjadi sebuah perayaan besar bagi bangsa Tiongkok dan dikenal sebagai Perayaan Perahu Naga.

Pelemparan Ba Cang ke sungai menandai Peringatan Phe Chun. Seperti yang diperingati warga Kampung Cina Benteng. Namun, Ba Cang dibagikan ke warga miskin yang terancam digusur. Sebuah pemaknaan tradisi yang kontekstual sebagaimana makna Phe Chun yang diungkapkan Chun Siong atas krisis kepemimpinan di Indonesia.

“Adakah di bumi nusantara ini, seorang pemimpin seperti Qu Yuan yang tidak bertindak sewenang-wenang, tetapi memperhatikan kehidupan dan jerit rakyat kecil?”, kata Chun dengan penuh harap.

Pertanyaan itu menjadi refleksi bersama bagi pemerintah untuk memikirkan ulang segala kebijakan yang menyengsarakan rakyatnya. Terlebih, penggusuran paksa di Kampung Cina Benteng bukan hanya semakin memiskinkan warga setempat, juga akan menghilangkan tradisi budaya dan sejarah panjang Cina Benteng sejak 1917an.

Selain itu, kelompok warga yang terancam digusur bukan hanya warga Kampung Cina Benteng, tetapi juga kawasan di sekitarnya. Kampung Kokun, Tangga Asem, Kedong Wetan juga akan mengalami hal serupa. Di kawasan itu terdapat masyarakat dari berbagai suku dan agama yang puluhan tahun sudah tinggal di sana. Mereka membangun kelenteng, gereja, masjid, dan balai pendidikan dan kesehatan warga. Semuanya terancam digusur.

Jika demikian, terbukti apa yang dikatakan Isnur, negara telah ingkar janji di dalam menyejahterakan rakyatnya. (bfs)

Foto: hs

Komentar :

ada 0 komentar ke “Peringatan Phe Chun di Kampung Cina Benteng”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id