29 November 2010

Hegemoni Rezim Orde Baru dan Kekuatan Media

Oleh Yogi Suryana*

Sampai saat ini mungkin masih terlintas dalam ingatan kita saat rezim Orde Baru, Soeharto berkuasa. Saat itu, relasi kekuasaan begitu kental terasa. Kekuatan negara sangat mempengaruhi kehidupan sosial dan politik. Kisah itu selalu hangat dalam pembahasan di masyarakat dan kalangan intelektual, bahkan mungkin pada masa yang akan datang.

Kekuatan Media, militer, dan kebijakan represi dari negara dijadikan sebagai alat untuk mematenkan kekuasaan rezim yang terbukti melalang selama 32 tahun. Aromanya terasa hingga saat ini.

Hegemoni Orde Baru Pasca G-30-S
G-30-S atau Gerakan 30 September merupakan titik awal Soeharto dengan Orde Barunya melangsir ke kursi kekuasaan tertinggi. Alih-alih G-30-S dianggap sebagai gerakan pengkhianatan dan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) kepada pemerintah Soekarno. Komunisme pun dianggap ancaman bagi negara.

Bukti-bukti yang terbatas pada saat itu tidak dapat diandalkan. Angkatan Darat merekayasa sebagian besar bukti ketika menyulut kampanye antiPKI selang beberapa waktu kemudian. Fiksi-fiksi sejarah dibangun melalui berbagai media hegemonik. Narasi penyiksaan oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dengan cara menyilet alat kelamin korban dipaksakan ke dalam ingatan kolektif massa. Alhasil, fiksi sejarah diamini sebagai fakta sejarah yang berkembang dari generasi ke generasi.

Proses hegemoni dimulai dengan terbitan-terbitan Angkatan Darat (AD). Informasi dan laporan-laporan palsu tumbuh subur. Terorisme AD menjadi garda terdepan di dalam menjalankan proses hegemoni mereka. Masyarakat yang ingin memberikan laporan dan kesaksiannya dihadapkan dengan moncong senjata. Militerisme menjadi bahasa tunggal saat itu.

Surat kabar, majalah, dan pamflet satu suara. PKI disalahkan dan menjadi dalang dari G-30-S. Atas dalih itu, semua anggota dan simpatisan PKI dan kebijakan politik Soekarno ditangkap secara represi. Mereka ditahan tanpa proses pengadilan. Banyak diantaranya disiksa dan dibunuh. Bukan hanya tentara pelakunya, sebagian masyarakat ikut membunuh. Mereka ada yang dipaksa, ada yang bergerak karena menelan materi-materi hegemoni AD.

Di dalam membangun ideologi pembenaran bagi kediktatorannya, Mayor Jenderal Soeharto menampilkan diri sebagai juru selamat. Ia seolah-oleh menumpas G-30-S. Literatur mencatatkan secara paksa fiksi sejarah itu.

Setelah Soeharto berkuasa menjadi presiden melalui kudeta merangkaknya, ia menggerakan aparatur negara untuk menanamkan materi propagandis ke masyarakat. Secara massal, pemerintahan Soeharto membuat buku-buku sejarah, kurikulum pendidikan secara menyeluruh, monumen-monumen, nama jalan, museum, film, upacara peringatan, dsb, dsb. Semua itu dilakukan untuk menguatkan proses hegemoni masyarakat, sehingga tercipta budaya bentukan yang diharapkan kekuasaan Orde Baru.

Proses hegemoni yang dipraktekan oleh Rezim Soeharto di atas menunjukkan dengan gamblang bahwa media memiliki kekuatan hegemonik yang sangat besar. Sekalipun soal fiksi-fiksi sejarah. Terbukti fiksi-fiksi sejarah itu seolah diyakini sebagai kebenaran sejarah. Masyarakat telah menjadi korban dari pembohongan dan pembodohan massal. Hal itu sejalan dengan teori Antonio Gramsci.

Hegemoni Menurut Antonio Gramsci
Antonio Gramsci (1891-1937) merupakan salah satu penganut Marxian asal Italia yang mempunyai gagasan sentral tentang Hegemoni. Meskipun sebelumnya banyak tokoh pemikir Marxian yang mempunyai ide dan gagasan tentang Hegemoni (Plekhanov, Karl Marx, dan Lenin), namun ketiga tokoh itu kurang mengonsepkan teori hegemoni bersifat sentral dalam teori sosial Marxisme.

Gagasan hegemoni pertama kali diperkenalkan pada 1885 oleh para Marxis Rusia, terutama oleh Plekhanov pada 1883-1984. Gagasan tentang Hegemoni telah dikembangkan sebagai bagian dari strategi untuk menggulingkan Tsarisme. Istilah itu menunjukkan kepemimpinan hegemonik yang harus dibentuk oleh kaum proletar dan wakil-wakil politiknya dalam satu aliansi dengan kelompok-kelompok lain, termasuk beberapa kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi Tsaris.

Bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh sebelumnya, Gramsci lebih maju dengan Lenin. Gramsci mengembangkan strategi untuk digunakan dalam masyarakat Eropa Barat berdasarkan pembedaan yang dibuat di antara "perang gerak" atau demonstrasi yang dilakukan di Rusia pada 1917 dan serangan langsung terhadap negara, dan "perang posisi" yang di lakukan di Eropa Barat.

Tujuan dari adanya perang posisi adalah mencapai hegemoni bagi kaum proletar dalam masyarakat sipil sebelum perebutan kekuasaan negara oleh partai komunis. Dengan adanya perang posisi, Gramsci menganggap kaum proletar mampu melahirkan intelektual dari kaum proletar sendiri, Sedangkan Lenin lebih melakukan penekanan pada peran dari kepemimpinan teoritis. Ia menyatakan “peran pejuang barisan depan hanya dapat dipenuhi oleh suatu partai yang dibimbing oleh teori yang lebih maju".

Istilah hegemoni sendiri berasal dari bahasa yunani, egemonia, yang artinya penguasa atau pemimpin. Bila dikaitkan apa yang diungkapkan oleh Antonio Gramsci tentang hegemoni, yaitu upaya seseorang atau kelompok dominan untuk menguasai atas tubuh mau pun pikiran, ide serta gagasan orang lain atau kelompok tertentu yang tidak dominan, gagasan ini dapat diartikan sebagai sistem kekuasaan
sosial-politik kelas dominan untuk menguasai kelas di bawahnya.

Ada tiga model pokok yang menurut Gramsci mempunyai keterkaitan dalam suatu formasi sosial yang membentuk landasan konsep Hegemoni. Yaitu, perekonomian, negara, dan masyarakat sipil.

Gramsci lebih memberikan penekanan pada negara atau masyarakat sipil, sehingga hal itu juga yang membedakan antara Gramsci dengan karya-karya Marxis lainnya. Namun, bukan berarti Gramsci mengabaikan perekonomian. Menurutnya, Marxisme jangan menjadi ekonomisme, yaitu pandangan bahwa landasan ekonomi menentukan superstruktur, seperti agama, politik, seni, budaya, pendidikan atau hukum.

Perekonomian, istilah ini digunakan untuk mendefinisikan bentuk dominan produksi pada satu wilayah dan suatu waktu, merupakan sarana teknis produksi dari adanya hubungan-hubungan sosial produksi yang dibangun berdasarkan pembedaan kelas-kelas dikaitkan dengan kepemilikan sarana produksi.

Negara, merupakan sarana kekerasan negara (polisi dan militer) yang dijadikan alat negara.

Sedangkan istilah masyarakat sipil mengandung arti organisasi-organisasi lain dalam suatu formasi sosial yang tidak merupakan bagian dari proses produksi material dalam perekonomian, bukan merupakan organisasi yang didanai oleh negara, tetapi merupakan lembaga-lembaga yang relatif panjang secara waktu dan dijalankan oleh orang yang di luar dari kedua bidang (ekonomi dan negara).

Kekuasaan Negara Melalui Media
Berdasarkan pada teori hegemoni Gramsci, kekuasaan bagian dari proses hegemoni itu. Maka, kekuasaan diartikan sebagai kondisi kemampuan seseorang atau kelompok bertujuan untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain atau kelompok sesuai dengan keinginan penguasa dan untuk mencapai kekuasaan itu dibutuhkan strategi-strategi mempertahankan dan melestarikan kekuasaan. Bahkan, dengan menautkan kekerasan melalui militerisme.

Pertautan kekuasaan dan kekerasan seringkali terwujud dalam bentuk yang plural. Ada yang mengabsahkan pemakaian segala cara, meski pun buruk yang penting kekuasaan tetap terjaga. Akan tetapi, praktik dominasi kekuasaan tidak semata-mata diadakan melalui kekerasan fisik. Antonio Gramsci adalah teoris pertama yang menyatakan kekuasaan dapat dilanggengkan melalui strategi hegemoni tanpa kekerasan. Berbagai macam alat untuk melakukan strategi hegemoni oleh penguasa pun dilakukan melalui pendidikan, kebijakan, dan media.

Media pada dasarnya mempunyai fungsi dan peran untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Posisinya begitu strategis di masyarakat. Bahkan, media mampu membentuk struktur dan tatanan sosial baru masyarakat. Dalam sembilan tesis yang dijelaskan oleh Raymond Williams, ada salah satu yang menjelaskan tentang pembahasan di atas. Salah satunya soal media televisi. Televisi dapat mengakomodir kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang besar dan kompleks di satu sisi, tapi sekaligus anomi.

Bagi penguasa, media merupakan alat yang mujarab untuk menggiring masyarakat kepada kepatuhan dan kepentingan penguasa. Media bisa saja dijadikan sebagai alat propraganda. Sehingga, tidak heran kerja sama kepentingan politik sering terjadi antara elite politik dengan organisasi kepemilikan media massa. Kolaborasi itu untuk membangun struktur masyarakat sebagaimana yang mereka inginkan dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Melihat kondisi seperti itu, Gramsci menilai media massa merupakan perangkat hegemoni dari penguasa.

Pada kenyataannya hal itu terjadi di seluruh dunia. Namun, perwujudannya berbeda. Di negara otoriter atau junta militer kegiatan media massa di bawah "todongan senjata". Sedangkan di negara demokratis pemilik media massa turut serta dalam penentuan kebijakan kekuasaan politik.

Di Indonesia, misalnya, telah terjadi kolaborasi antara penyelenggara kekuasaan politik dengan pemilik media. Sehingga, tidak heran pemilik media massa menjadi pengurus partai politik tertentu. Bahkan, pemilik media massa juga memegang kekuasaan politik, seperti menteri. Selain itu, media massa bahkan menjadi pendukung suatu partai atau kandidat pemegang kekuasaan politik. Pesan yang disajikan cenderung menumbuhkan citra positif dari program partai atau kandidat.

Dalam kondisi saat ini, mungkin agak sulit melihat posisi kenetralan media. Ia tidak lepas dari kepentingan manusia, dalam hal ini penguasa atau pun pengusaha. Media, dengan teks, gambar, dan berbagai simbol lain kemudian menjadi teror yang menyusup di balik kesadaran manusia. Ia bisa menjadi sebentuk teror yang baik, mencerahkan, dan mencerdaskan. Sebaliknya, media massa juga bisa menjadi mimpi buruk. Menjadi teror kesadaran, lalu menggiring kesadaran kita pada apa yang dikehendaki media.

Terlepas dari pro dan kontra, teori kultivasi mengemukakan bahwa realitas pada media dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya. Kejadian yang disajikan oleh media mana pun (televisi, koran, radio, dan internet) dianggap sebagai representasi keadaan sesungguhnya di masyarakat. Hal itu pernah dialami pasca kejadian Bom Bali II. Media di dalam maupun di luar negeri memberitakan kondisi di seluruh Indonesia dalam kondisi tidak aman. Padahal, berita itu bertolak belakang dengan kondisi sesungguhnya. Media seolah membuat hiper realitas, membesar-besarkan realitas dengan menaikan skala isunya.

Kemampuan lain media massa adalah menimbulkan efek langsung dan tidak langsung. Informasi kemacetan yang diinformasikan melalui televisi mau pun radio akan mempengaruhi para pengemudi untuk mengambil jalur lain agar terhindar dari kemacetan. Namun, yang paling penting adalah efek tidak langsung, sesuatu yang terasa perlahan, namun pasti. Secara tidak sadar perilaku kesehariannya adalah proses peniruan (social Learning) secara perlahan dari yang disajikan oleh media. Perilaku itu dilakukan karena publik menjadi terbiasa dengan apa yang dilihat di media. Ada proses psikologis internalisasi di sana. Akhirnya membentuk budaya tertentu. Misalnya dalam contoh yang sederhana, perilaku sosial mode pakaian dan rambut.

Dengan demikian, siapa yang mengendalikan pesan media massa dapat pula mengendalikan opini publik. Siapa yang mengendalikan opini publik dia pun akan memiliki kekuasaan.

*Penulis adalah anggota Divisi Fotografi Bingkai Merah.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Hegemoni Rezim Orde Baru dan Kekuatan Media”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id