3 November 2010

Selebrasi Kebhinekaan Indonesia

Jakarta, Bingkai Merah – Selebrasi kebhinekaan Indonesia digelar di halaman Museum Fatahilah (31/10). Selebrasi dalam bentuk parade dan panggung budaya itu merupakan momentum untuk menegaskan kembali sikap toleransi di tengah keberagaman budaya. Sekaligus, penguatan sikap untuk menuntut negara menjamin keberagaman yang ada di Indonesia.

Selebrasi kebudayaan yang dihadiri oleh setidaknya seribu orang menampilkan pergelaran kesenian dan identitas budaya dari tiap provinsi. Hal itu menunjukan kepada dunia bahwa Indonesia merupakan negara paling multi etnis dan agama. Namun, kebhinekaan masih menjadi slogan yang tidak terselenggara dengan baik di Indonesia.

Menurut pihak penyelenggara dari Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) di dalam siaran persnya, negara telah melakukan pembiaran atas serangkaian penyerangan antar masyarakat sipil, tekanan demi tekanan antara kelompok yang merasa sebagai “mayoritas” kepada kelompok yang distigma “minoritas”, dan terus bertambahnya daftar korban kekerasan yang terwujud dari sikap-sikap intoleransi tanpa pernah ada penyelesaian.

Atas dasar itu, sejak 25 Oktober, lebih dari 500 orang dari 33 provinsi menghadiri Konsolidasi Bhineka Tunggal Ika ke II. Konferensi itu menjadi komitmen bersama untuk menjaga Indonesia yang beragam dan berkeadilan sosial.

Keadilan Pondasi Kebhinekaan Indonesia
Beberapa utusan dari provinsi menyatakan bahwa keadilan merupakan pondasi kebhinekaan Indonesia. Hal itu terungkap di konferensi. Kebhinekaan bukan sekadar warna budaya yang berkibar sendiri-sendiri. Tetapi di dalamnya memuat substansi sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Ketika terjadi distribusi ekonomi yang tidak merata dan hak sosial dan politik yang terpinggirkan di daerah-daerah, maka hal itu melukai kebhinekaan.

Hal yang sama disampaikan Anis Ronsumbre, utusan dari tanah Papua. Menurutnya, bangsa-bangsa telah sepakat untuk membentuk negara kesatuan Indonesia di atas kebhinekaan. Namun, di dalam pelaksanaannya menyimpang. Banyak masyarakat adat dipinggirkan hak-haknya. Mereka menjadi kelompok yang tercerabut dari tanah kelahirannya sendiri. Terlihat jelas pada kondisi rakyat di tanah Papua.

Menurut Anis, saat ini rakyat di tanah Papua pada puncak ketidakpuasan. Selama ini rakyat Papua hanya diobjekan. Sumber daya alam disana dieksploitasi oleh investor asing secara membabi buta. Perampasan tanah adat kerap terjadi. Mereka yang memperjuangkan hak-hak rakyat direpresi oleh militer bersenjata lengkap dengan labelisasi “separatis”. Sementara itu, pemerintah belum juga membuat kebijakan yang menyejahterakan rakyat Papua, meskipun sudah diterbitkannya UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

“Rakyat Papua menghendaki evaluasi atas UU No. 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Undang-undang itu gagal menyejahterakan rakyat Papua. Kami berharap pemerintah membuka dialog tentang substansi persoalan masyarakat Papua,” ujar Anis penuh harap.

Soal konflik berbasis agama, Anis menjelaskan, di tanah Papua bisa menjadi contoh bagi daerah-daerah lain yang dilanda konflik bebasis agama. Rakyat Papua selama ini hidup rukun antar keyakinan yang ada. Semua agama dan keyakinan bebas berkembang. Tidak ada satu pun rakyat Papua yang memecah persatuan itu. Mereka sering menyelenggarakan kegiatan keagamaan bersama, baik antar agama dan komunitas adat sebagai upaya menjaga keharmonisan. Anggapan salah jika rakyat Papua menyukai permusuhan.

“Yang menyebabkan kita bertikai antar agama karena ada kelompok yang berusaha mendominasi dan memaksakan agenda kelompoknya di tengah masyarakat yang beranekaragam,” ujar Anis lebih lanjut.

Resolusi Jakarta
Konsolidasi Bhineka Tunggal Ika ke II menghasilkan Resolusi Jakarta. Ancaman kebhinekaan oleh kelompok ekstrem dan aparatur negara, kebijakan yang tidak mengakomodir kearifan lokal, diskriminasi hak dasar masyarakat adat, dan eksploitasi sumber daya alam yang menyengsarakan rakyat merupakan rumusan dari Resolusi Jakarta.

Selain itu, Resolusi Jakarta merekomendasikan, antara lain hapuskan semua bentuk diskriminasi dengan mengamandemen segala kebijakan yang diskriminatif dalam hal budaya, sosial, ekonomi, dan politik, dan nasionalisasi sumber daya alam di bawah pengawasan rakyat. Sebagaimana kewajiban pemerintah menyelenggarakan semua itu. (bfs)

Foto: Candra Irawan/Bingkai Merah.

---------------------
Foto-foto selengkapnya lihat di sini (Foto-foto: Yogi Suryana, Candra Irawan, Kornelius Pinondang, Prasetyo Serna Galih, Heru Suprapto).



Komentar :

ada 0 komentar ke “Selebrasi Kebhinekaan Indonesia”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id