2 November 2010

Makna Sumpah Pemuda dari Pojok Kanayakan (III - Habis)

Oleh Mirza Ahmadhevicko*

Kami berpisah di simpang kamar mandi. Saya belok kiri, sedangkan Pak Yamin lurus terus ke belakang. Di ambang pintu, saya masih sempat berpikir: mengapa jadi begini? Mengapa saya begitu saja menyetujui dan kemudian menuruti apa yang disarankannya. Bukankah sudah lama saya tidak melakukan ritual. Saya seperti terempas ke masa yang lampau, teringat imbauan-imbauan dari Bapak-Ibu yang seperti tak bosan menanyakan apakah saya sudah menjalankan kewajiban harian, paling tidak sehari lima waktu. Saya mengingat betapa seringnya terjadi perbantahan menyangkut hal tersebut. Semakin kuat nada imbauan yang mereka sampaikan maka akan semakin keraslah penyangkalan yang saya persiapkan.

Apa yang terjadi dengan hari ini? Mungkinkah perasaan malu dan segan yang lebih mendesak sehingga tak ada penolakan bahkan rasanya saya melangkah begitu ringan saat bersiap melakukan ritual? Apakah karena perasaan bahagia yang membuat saya seolah ada di tengah taman bunga? Betapa menyenangkan bisa menghadap tuhan dalam keadaan bahagia; jauh dari rusuh dan gulana.

Empat rakaat terselesaikan. Tak lama kemudian adzan kembali terdengar. Empat rakaat lagi yang harus saya dirikan. Saya panjatkan berbagai pujian dan sanjungan kepada tuhan dan nabinya atas pengalaman hari ini yang sungguh tak terduga. Segala sesuatu yang tak terbayangkan saat di permulaannya muncul menjadi peristiwa. Akhirnya, rencana wawancara terwujudkan pula. Wawancara ini telah, dan akan terus, menyatakan banyak hal untuk materi esai yang telah saya janjikan. Mungkin karena itu saya merasa senang melaksanakan sembahyang. Meski tadi saya hanya seperti sedang bermonolog. Namun, saya menyimpan keyakinan bahwa tuhan memperhatikan sambil menunggu akhir segala doa dan munajat yang saya haturkan.

Saya keluar kamar tempat sembahyang. Jajaran punggung-punggung buku menyambut di lorong samping ruang televisi yang menyala tanpa penonton. Sekilas terlihat dan terdengar acara kuis yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan bodoh kepada selebritas ibu kota yang bicara beraku-aku ria disertai tuturan ganjen antara “Oh my God”, “Please dong”, “Sumpeh loch”, dan seterusnya.

Ada perasaan lucu yang menyeruak saat menyadari bahwa sekarang tv telah menjadi kiblat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia yang mungkin di antaranya berada dalam ketaksadaran bahwa dirinya sedang digiring ke dalam dunia penuh slogan gaya hidup dan budaya instan. Ada rasa geram saat menyadari bahwa saya adalah bagian dari mereka juga. Seperti juga musik dari band-band banci yang kerap disambut histeris oleh pemujanya yang melahirkan manusia-manusia berperangai lembek tetapi cepat marah. Ingin rasanya menggerutu lebih panjang dan lebih lebar lagi kalau tidak ingat lokasi di mana saya berada dan untuk apa saya berada di sini. Saya seperti kembali mendarat di bumi, berpijak di atas kenyataan sehari-hari. Kaki terus melangkah menapaki granit kotak dalam ukuran lebar yang menuju halaman belakang.

Saya mendapati Pak Yamin sedang memilah dedaunan di depan kandang kambing. Rupanya dia juga memelihara hewan yang satu itu. Posisinya memunggungi saya yang datang dari arah rumah. Di sudut lain terlihat Mang Jali sedang menyapu sisa serutan dan potongan kayu di sebentuk pendapa yang menjadi workshop pembuatan furnitur.

“Gemuk-gemuk ya Pak?”

“Hmmm. Lama juga kau berdoa. Apa saja yang kauminta? Hahaha…” kepalanya menoleh sebentar dan kembali fokus pada apa yang sedang dikerjakannya. Pertanyaan yang dilontarkannya menohok perasaan sehingga saya hanya menjawabnya dengan senyum dan tawa kecil saja.

“Mengapa yang itu dipisahkan dari kumpulannya, apa mereka sedang dikawinkan; atau terbuang?” tanya saya sambil menunjuk dua ekor yang terpisah kandang.

“Mereka bukan binatang jalang; mengapa mesti dibuang?” jawabannya menunjukkan bahwa dia juga seorang pembaca Chairil. Saya sengaja berusaha bergurau dengan sedikit menyitir penyair besar Indonesia yang dengan ‘Aku’-nya membuat dunia menoleh kepadanya. Pernyataannya dilanjutkan, “Itu dua kambing baru. Mereka sengaja dikarantina untuk beberapa waktu dengan tujuan menguji apakah mereka benar-benar sehat atau mengidap penyakit.”

“Kelihatannya Bapak cukup paham perihal bagaimana memelihara kambing yang baik.”

“Tidak juga. Saya masih terus belajar karena pada prinsipnya segala sesuatu ada caranya, ada ilmunya, sehingga tidak boleh sembarangan. Saya juga banyak belajar dari Mang Jali.”

“Saya sama sekali buta perihal kambing meskipun saya sangat suka makan sate kambing.”

“Hahaha…mudah diterka. Bukankah kaubagian dari generasi instan. Jangan-jangan kau pun tak tahu apakah kambing itu beranak atau bertelur.” Ada nada sinis dalam jawabannya dan saya tidak bisa menyangkalnya.

“Bagaimana kalau sakit; apakah Bapak akan memanggil dokter hewan untuk memeriksanya?” tanya saya sekenanya sembari melangkah mendekati kandang.

“Tentu saja. Masa saya harus ke dukun; itu lebih tidak masuk akal. Meskipun demikian sangat jarang kambing-kambing itu terserang penyakit, terutama yang gawat-gawat. Untuk beberapa penyakit ringan saya masih bisa mengatasinya. Salah satu yang paling sering adalah kambing-kambing yang keracunan daun singkong yang banyak mengadung sianida. Mang Jali biasanya saya suruh menusukkan tangkai pelepah daun pepaya ke dalam pantat kambing agar bisa cepat kentut. Cara tersebut sering menyelamatkan kambing dari kematian.” Jawabannya membuat saya sadar betapa bodoh pertanyaan yang saya lontarkan. Di dalam hati saya tersenyum lebar betapa pertanyaan bodoh saya direspon dengan cukup pintar sehingga saya masih juga bisa mendapatkan pengetahuan dari ranah pengalaman Pak Yamin dalam menangani kambing yang sakit. Perhatian saya tertuju pada kandang berbentuk panggung sekira semeter tingginya yang terbuat dari balok-balok kotak berdinding bambu yang dianyam; beratap tinggi dari alang-alang yang dijalin dan tersusun rapi memanjang.

“Bagaimana penelitianmu; sudah selesaikah?”

“Sudah Bab V; masih dalam bimbingan.”

“Percepatlah! Apa judulnya?”

“Harian Rakjat –studi tentang kelahiran, perkembangan, dan peranannya 1951 – 1965”

“Jangan mempersulit diri sendiri. Cepat selesaikan. Pulang kampung dan beternak kambing.”

“Hehehehe…,” tawa saya tak tertahan.

“Mengapa tertawa? Aneh dengan saran saya?” matanya membeliak mempertanyakan sarannya yang saya remehkan. Bagaimana tidak, saran yang ditawarkannya terdengar seperti main-main belaka. Saya melihat bayangan kesiasiaan dari tawaran Pak Yamin saat mata saya memandang ke arah kandang ayam dan Mang Jali yang sekarang disibukkan oleh belasan ayam kate yang berebut makan. Saya tidak menjawab sehingga dia melanjutkan, “Kaum intelektual jangan malas bekerja; maksud saya kerja tangan tak hanya kerja otak. Pekerjaan yang pertama tak kalah mulia dengan pekerjaan yang kedua.”

“Saya ingin melakukan apa yang menyenangkan saya, apa yang saya senangi saja.”

“Kalau memang benar begitu prinsip hidupmu, biarkan saya tidak sepaham. Jawabanmu itu seperti menandakan bahwa kau menghamba pada kesenangan belaka. Mahasiswa kita di Belanda pada zaman pergerakan dengan sadar meninggalkan berbagai kesenangan yang tersedia di negeri oranye untuk sebuah cita-cita yang mungkin sekarang terdengar basi bahkan mungkin absurd: kemerdekaan bangsa. Mereka seperti tidak tertarik dengan pelacuran, mariyuana, kokain, dan kesenangan lain yang tersedia di sana.” Mungkin wajah saya sekarang sedang memerah karena mendengar jawabannya yang lugas dan tajam.

“Mereka bukan kaum masokhis yang bahagia dan bersukacita menjalani siksaan. Setelah suntuk bergaul dengan buku-buku dan berbagai risalah, beberapa dari mereka justru melewati waktu liburan di dalam penjara karena dianggap makar dan mengganggu stabilitas kehidupan di Hindia Belanda. Sebagian besar dari kita yang hidup sekarang, tidak mau mempersulit diri untuk hal-hal yang berada di luar kepentingan pribadi. Tidak hanya mahasiswa yang kini telah begitu pragmatis dan individualistis, bahkan dosen-dosen pun demikian. Yang mereka butuhkan hanyalah kehidupan yang normal atau mapan; rumah, mobil, saldo bank yang terus bertambah, anak-anak yang bersekolah internasional di mana pelajaran sejarah dihapuskan, istri cantik dan kalau bisa dua atau tiga orang simpenan mahasiswi. Itulah fakta hari ini, sangat berbeda dengan zaman pergerakan.” Beberapa helai daun jati melayang berputar lepas dari tangkai rantingnya.

“Tan Malaka rela bersusah-susah membangun sekolah bagi anak-anak kuli kontrak di Tanjung Morawa di Deli sana; dan itu dilakukannya setelah ia lulus dari Belanda. Apa yang dilakukannya membuatnya ‘berurusan’ dengan tuan tanah dan gubernemen. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah juga tak bisa disebut ‘menyenangkan’; seandainya itu bisa dijadikan pelajaran.”

“Saya ingin menjadikan pengalaman-pengalaman mereka menjadi pelajaran. Saya kira sangatlah baik bisa belajar dari sepak terjang para pahlawan. Mengenai pahlawan. Belakangan ini sedang ramai diperbincangkan kemungkinan-kemunginan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada beberapa tokoh yang telah meninggal. Apa pendapat Bapak mengenai Soeharto?”

“Iya, saya ikut mendengarkan perdebatan yang sering kali nyaris berubah menjadi debat kusir menyangkut hal itu di televisi dan koran. Kalau saya ditanya sih akan menjawab boleh saja setiap orang memiliki penilaian; baik itu setuju maupun tidak setuju. Bagaimana pun 32 tahun menjadi penguasa tertinggi bukanlah suatu hal yang mudah. Setidaknya diperlukan resep canggih yang bisa mempertahankan kekuasaan tetap dalam pelukan. Soeharto adalah salah satu dari sedikit ‘orang hebat’ yang pernah ada di negeri ini, tetapi pahlawan tidak harus seorang hebat, begitu pun sebaliknya, tidak setiap orang hebat layak disebut pahlawan. Kita tahu bahwa banyak orang hebat yang sebenarnya tidak lebih dari seorang maling.”

“Apakah jawaban itu bermaksud bahwa Soeharto tak layak?”

“Tentu saja. Setidaknya itulah jawaban saya. Jika kaupunya jawaban berbeda tak apa, namun saya ingin tahu apa yang menjadi landasan dari jawabanmu itu. Tentu saja jawaban itu tidak hanya terdiri dari impresi-impresi saja. Sesuatu yang harus bisa dipertanggungjawabkan, paling tidak.”

“Saya juga tidak setuju atas rencana itu meski saya tidak banyak tahu menyangkut pribadi dan kebijakan-kebijakan yang justru menyengsarakan masyarakat kita ini di zaman itu. Menurut Bapak hal apa yang terbilang parah?”

“Banyak sekali, namun yang jarang dikemukakan oleh banyak ahli adalah mengenai transmigrasi. Itu salah satu kebijakan parah yang meskipun tujuannya baik namun proses untuk menuju tujuan itu dikerjakan dengan sangat serampangan. Konflik antara warga lokal dengan transmigran sering membuat kita terancam dalam bahaya disintegrasi. Hampir semua kerusuhan berbau SARA dipicu oleh dua kutub masyarakat seperti itu. Salah satu contoh di Kalimantan. Sejak 1970 proyek transmigrasi dijalankan bersama dalam paket-paket eksploitasi hutan, pertambangan, termasuk apa yang saat itu begitu terkenal dengan sebutan Program Sejuta Hektar Lahan Gambut adalah beberapa program yang selalu membuat persinggungan konflik terjadi dan terus meruncing.

“Pola pertanian tanaman pangan secara intensif kenyataannya tidak cocok dengan iklim dan SDA tempatan sehingga program tersebut sangat tampak sebagai Jawa Sentris. Bahkan, hal tersebut juga dikukuhkan dengan pemberian atau pengubahan nama desa ke dalam nama-nama Jawa seperti Sido Rukun, Sedya Mulya, Sumber Sugih, dll. Di Jambi bahkan para transmigran dengan prakarsa dari pemerintah telah menyerobot lahan yang terdiri dari hutan dan belukar habitat hidup Orang Rimba. Hal serupa juga terjadi di Suku Sakai, Singkut, Talang Mamak, dan masih banyak lagi. Transmigrasi juga sering menjadi sarana islamisasi yang artifisial dan itu semua berujung pada konflik antarsesama. Kerusuhan di beberapa wilayah di Kalimantan, Lampung, Nangroe Aceh Darussalam, Ambon, dan Papua, selalu melibatkan antara warga lokal dengan pendatang yang umumnya adalah para transmigran. Potensi konflik masih terus ada sampai dengan saat ini selama orang pribumi selalu merasa dirampok sumber daya alamnya oleh para transmigran. Selain itu, perasaan warga lokal menjadi warga kelas dua dan teralienasi di tanah leluhurnya juga menjadikan transmigrasi bukan malah menjadi sumber perekat bangsa tetapi malah menjadi sumber disintegrasi. Mendasarkan penilaian dari satu soal itu saja setidaknya sudah terbayang siapa dan bagaimana Soeharto memimpin negeri ini. Tidakkah itu lebih cocok disebut rezim bandit yang haus darah sembari terus mengumbar senyuman yang membius. Bagi saya dia tak layak dipromosikan menjadi Pahlawan Nasional. Dedengkot rezim fascisme mau jadi pahlawan di negeri demokratis, yang bener aja?” Selesai menjawab Pak Yamin melangkah ke rumah tanpa mengatakan sepatah-dua patah kata yang bisa menjadi keterangan ke mana atau apa yang akan ia lakukan; haruskah saya menunggunya di sini, di depan kandang kambing ini atau harus mengikutinya ke dalam. Karena tanpa keterangan maka saya menunggunya di sini.

“Si Bapak kamana?”

“Nggak tahu Mang, ke dalam.”

“Oh,” Mang Jali menghampiri saya; berjalan ke arah kandang kambing. Ayam-ayamnya telah kenyang dan sudah masuk kandang. Kambing-kambing di dalam kandang masih makan, masih memamah biak. Dari sela-sela rerimbun dedaunan masih terlihat langit barat yang tersepuh merah dan rombongan kapinis yang terbang berombongan.

“Gemuk-gemuk ya Mang.”

“Makanan ternak di sini sangat diperhatikan. Pak Yamin disiplin soal makanan. Dia sedih kalau hewannya kurus dan terlantar.”

"Si Mamang rajin euy! Mang Jali tinggal di mana?”

“Caket A, di ditu.” Mulutnya menunjukkan arah tempatnya tinggal. Pandangan saya berkeliling menikmati keluasan halaman belakang yang dipenuhi tetumbuhan dan berbagai kandang hewan. Asap masih mengepul dari tumpukan sekam dan potongan kayu yang dibakar bersama dedaunan dan rumput kering.

“Itu si Bapak keluar.” Mang Jali memberi tahu kedatangan Pak Yamin. Langkahnya tak mengarah ke tempat kami. Tangannya melambai memanggil saya agar mengikutinya ke sebuah dangau kayu di sebelah barat halaman. Dia telah lebih dahulu sampai dan langsung duduk saat saya datang berbarengan dengan seorang lelaki lain, mungkin asistennya yang lain lagi, yang mengantarkan minuman dan kudapan.

“Mari kita minum kopi lagi; dan ini juga ada ubi dan pisang rebus.”

“Terima kasih Pak, sehari ini sudah banyak saya merepotkan Bapak.”

“Iya, kausudah benar-benar merepotkan saya. Tetapi tak mengapa, saya senang juga dibuat repot oleh mahasiswa dengan cara seperti ini. Pertanyaanmu dan perbincangan kita mengenai orang-orang dan peristiwa-peristiwa besar membuat saya terus diingatkan bahwa sebenarnya saya, kita, bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan mereka semua. Kesadaran semacam itu penting agar kita tidak besar kepala merasa sok menjadi orang besar, orang penting. Padahal seujung kuku pun tidak!” tangannya meraih cangkir kopi dan meminum beberapa teguk.

“Setuju Pak, wawancara ini bagi saya paling tidak menjadi peta-kompas yang mengeluarkan saya dari kebingungan.” Saya ikut mengangkat cangkir kopi, meminumnya dan mengambil sepotong ubi bewarna ungu.

“Kebingungan memang bagian dari sejarah. Kalau peta navigasi berubah, tidak hanya kelasi yang hilang akal tetapi kapten dan juru mudi pun harus kembali belajar. Kini anak bangsa tengah merindukan kembali Ibu dan Bapak bangsanya. Sejarah adalah ingatan, semacam warisan yang disimpan dan diturunkan dalam kesadaran kolektif agar kita tahu bahwa banyak orang sebelum ini telah bersusah payah mengumpulkan baru dan pasir serta menggali pondasi agar terbangun rumah yang sekarang melindungi kita dari panas dan hujan.”

“Tadi Bapak menolak menyematkan tanda Pahlawan Nasional kepada Soeharto. Bagi Bapak, siapakah pahlawan generasi ini?”

“Orang muda. Banyak orang muda yang mesih tetap konsisten mengikuti idealisme mereka. Salah satu dari mereka adalah Butet sang pendiri ‘sekolah alam’ itu. Pendidikan adalah kunci penting untuk mengakhiri penjajahan dan pembodohan. Mungkin kauperlu mengulang apa yang telah sejak pagi kita perbincangkan. Kita harus kembali ke masa the founding generation. Dengan segala perbedaan dan kelemahan mereka sebagai manusia, setidaknya ada dua kesamaan mendasar yang dapat kita perhatikan. Pertama, semua terpelajar dan terdidik. Kedua, semua aktif dalam kegiatan mengajar dan mendidik. Mungkin memang dari sanalah narasi nasional bermula: orang tua yang terpelajar dan terdidik menghendaki anak-anak yang juga terpelajar dan terdidik. Mereka rata-rata well informed, suatu keadaan yang dimungkinkan karena mereka adalah orang-orang yang well read. Selanjutnya yang dibaca itu dapat dipergunakan secara bermanfaat karena mereka termasuk well equipped. Tanyakanlah kepada Tan Malaka atau Sjahrir, kepada Tjokroaminoto atau Soekarno, kepada Tirto Adhisoerjo atau Mas Marco, maka mereka akan memberikan jawaban dan siap mempertahankan pendapatnya. Zaman itu adalah saat demokrasi berlangsung seperti idealnya, maksud saya mereka siap berbeda pendirian meski tak mesti bermusuhan. Lawan politik bukan berarti musuh politik.” Cahaya semakin merendah. Pohon-pohon telah berubah menjadi siluet dalam keremangan senja. Saya masih berusaha mencari akhir dari wawancara ini.

“Bukankah bangsa ini sudah merdeka, maksud saya, apakah masih terjadi penjajahan dan siapakah yang Bapak sebut sebagai penjajah?”

“Kita belum merdeka 100%. Kermerdekaan itu setidaknya mengandung tiga komponen yang membangunannya: self reliance, independence, dan self determination. Hatta dan Sjahrir lebih kuat memberi penekanan pada self reliance yaitu otonomi terhadap setiap individu dalam memutuskan apa yang harus dikerjakan dan mempertanggungjawabkan kenapa hal itu harus dikerjakan. Soekarno fokus pada independence, sedangkan Tan Malaka melihat kemerdekaan terwujud jika, dan hanya jika sebuah kelompok sosial memiliki kesanggupan dalam menentukan nasibnya dan tidak menggantungkan peruntungannya pada kelompok sosial yang lain –self determination.

“Meskipun periode perang fisik telah lama selesai, namun, bukan berarti penjajahan ikut berhenti. Saat ini tengah berlangsung perang kebudayaan. Modal asing juga ikut menjajah kedaulatan bangsa. Mereka tidak bekerja sendirian; mereka menggaet dan mengajak pemerintah kita untuk ikut bekerjasama dengan mereka. Sadar atau pun tidak sadar, sebagian elit di negeri ini telah menjelma penjajah bagi sebagian besar rakyat kebanyakan. Salah satu yang sudah sangat ramai dibicarakan adalah persoalan Papua. Meskipun kita telah banyak mengambil untung dari emas, tembaga, gas, dan hutan yang melimpah di sana namun kita seolah buta sehinga takmelihat kemiskinan dan kebodohan yang masih menggurita. Salah satu sumbangan penting yang telah dilakukan Butet adalah aktif dengan cara turun langsung membawa ilmu pengetahuan kepada masyarakat kita yang dimarjinalkan oleh negara. Ia berusaha menginklusifkan pendidikan yang sampai dengan hari ini masih ekslusif. Kaum kerah putih di negeri ini masih memerlukan budak-budak yang siap dibayar murah untuk menjalankan berbagai bisnis yang mereka jalankan. Kebutuhan akan hal itu membuat mereka sebisa mungkin melestarikan kebodohan. Kau dapat bayangkan bagaimana jika kebodohan bisa dihapuskan; ke mana lagi mereka bisa mendapatkan kuli-kuli yang rela dibayar murah hanya karena paksaan keadaan dan rongrongan perut yang lapar.”

“Sekarang ini tumbuh banyak kelompok paguyuban di antaranya juga termasuk kepemudaan. Apakah hal tersebut akan berperan penting dalam kehidupan berbangsa?”

“Seharusnya iya, namun saya melihat banyaknya paguyuban justru membuat kita menjadi semakin tidak guyub. Ada cerita lucu menyangkut hal tersebut. Di suatu pertemuan yang dihadiri oleh banyak perwakilan organisasi dan kelompok sosial, atau yang sekarang lebih lazim disebut Ornop, NGO, atau LSM, pembawa acara memimpin doa dengan mengatakan, ‘Marilah sekarang kita berdoa menurut funding kita masing-masing.’ Hahaha! Bagi mereka funding menduduki tempat yang sama dengan agama bahkan Tuhan. Cara berpikir yang demikian boleh jadi membuat kita miris, bukankah perbedaan-perbedaan tersebut sering kali berbuah konflik karena adanya perbedaan kepentingan dari setiap lembaga donor yang telah menghidupi mereka.” Kalimatnya belum selesai saat adzan kembali terdengar. Matahari telah terbenam meninggalkan segaris warna merah di ufuk barat. Mungkin inilah akhir dari wawancara hari ini. Belum pasti benar. Ada perasaan ingin terus melanjutkan perbincangan, mungkin nanti setelah magriban, tetapi di sisi lain sejujurnya saya juga telah merasa penat dan rasanya materi wawancara juga sudah cukup.

Pak Yamin mengajak saya masuk ke rumah dan menjalankan sholat secara berjamaah dan disambung dengan makan malam. Kembali saya mengikutinya di belakang. Saya ikuti saja semua ajakannya: sembahyang dan makan. Betapa berat hati saya saat berpamitan pulang. Betapa tidak, saya seolah membenarkan istilah yang berkembang di pergaulan teman-teman kuliahan. Kami mengistilahkannya dengan sebutan SMAK Dago –Sudah Makan Angkat Kaki Dasar Goblog.

“Jadi kau mau pulang; tidak mau melanjutkan perbincangan? Apakah karena ini Sabtu malam? Ya sudah, saya tak bisa dan tak mau memaksa.” Ucapan Pak Yamin di teras depan sesaat sebelum saya keluar dari gerbang.

Tidak lebih dari sekejap saya sudah berada di ujung gang. Lalu-lintas di Jalan Insinyur Juanda padat merayap. Langit Dago seperti dipenuhi eter dan serbuk halusinogen yang membuat semua orang tampak begitu gembira. Papan-papan iklan yang berderet memenuhi tepian jalan penuh lampu warna-warni seperti menyihir ribuan orang untuk terus mengonsumsi, merayakan hidup dengan cara banyak-banyak membeli. Mungkin benar bahwa itu semua semu belaka, sama seperti semunya cahaya bintang yang terlihat indah meski nyatanya itu cahaya bintang dua setengah milyar tahun yang silam dan sekarang si bintang itu sudah hilang dari rimba angkasa raya entah ke mana.

Malam mengendap di jalanan. Deretan mobil yang menunggu nyalanya lampu hijau di depan bersabar dalam diam. Pemuda menggoyang-goyangkan kepala mengikuti alunan ritme musik di belakang kemudi. Pemuda yang lain asyik tertawa-tawa dalam obrolan di balik kaca jendela mobil. Saya urung menyetop angkot dan memilih berjalan perlahan menuju kamar kontrakan seorang kawan di Tubagus Ismail. Orang-orang sibuk bergulat dengan urusan, pikiran, dan angan-angannya masing-masing. Sepanjang perjalanan saya berusaha mereka-reka bentuk konstruk yang akan dipakai dalam esai. Masih ada tiga malam yang bisa dipakai untuk menyelesaikan tulisan mengenai Sumpah Pemuda. Ini hari Sabtu, 23 Oktober dan saya janji akan menyerahkan draf pada hari Selasa, 26 Oktober 2010. Wawancara dengan Pak Yamin berjalan dengan lancar, bahkan saat pulang tidak hanya kepala yang dipenuhi wacana, perut pun kenyang diisi berbagai makanan.

Cuaca cerah yang ditandai dengan bulan dan bebintang yang bersinar berbanding terbalik dengan cuaca kultural bangsa yang meredup dipenuhi berbagai kekerasan dan pernyataan banal dari pejabat publik juga anggota dewan yang sedang gandrung pelesiran dengan dalih studi perbandingan. Banyak informasi yang sudah saya kumpulkan, terlalu banyak, bahkan. Bagaimana mengatasi berbagai fakta yang telah dikisahkan Pak Yamin dalam wawancara panjang sejak pagi sampai selepas senja. Meski diam-diam saya telah membuat indeks tokoh dan peristiwa dari jawaban-jawaban yang dilontarkannya namun benarkah demikian faktanya. Validasi data tetap harus saya lakukan karena bagaimanapun esai berpretensi kebenaran –berbeda dengan fiksi yang menyajikan ‘data-keras’ secara longgar. Saya memiliki pilihan. Apakah tidak lebih baik saya hadirkan wawancara tadi dalam bentuk utuh dan takperlu berubah bentuk. Artinya saya hanya perlu menraskripsikannya tanpa perlu mengunyah dan memuntahkannya kembali dalam bentuk esai. Mungkin bentuk tanya-jawab lebih bermutu daripada muntahan hasil kunyahan yang isinya tidak lebih dari parafrase dan kutipan. Bentuk tanya-jawab tentu lebih faktual. Tetapi adakah fakta? Bukankah semua yang ada hanya interpretasi saja? Wah. Itu kalau tidak salah merupakan kalimat pembuka dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture IV yang diisi oleh Dr. Karlina yang menyajikan makalah ‘Ciri Antropologis Pengetahuan’, setahun yang silam. Betapa cepat bulan demi bulan tanggal dan bumi terus mengelilingi matahari. Betapa indah penyajian makalah yang dituliskan dan dibacakannya malam itu sehingga tidak ada yang bisa menempel di kepala selain sebuah proposisi: tidak ada fakta, hanya ada interpretasi. Ingatan pada malam itu menjelma jalan keluar bagi saya yang sejak tadi berputar-putar menjajagi berbagai kemungkinan bentuk tulisan yang akan saya lahirkan.

Campuran antara perasaan kenyang perut dan kenyang pikiran menciptakan perasaan senang. Tanpa sadar saya mulai berdendang, “…najan geus teu kasamper lila, hate teu weleh rumaksa inget carita baheula…loba rasa di Bandung loba baraya…aya beurang keur silih teangan…aya peuting nu pinuh kubagja…aya di Bandung semangat Asia – Afrika. Yeah. Parijs van Java walau berubah takakan kulupa….”. Sampai tak terasa sudah sampai di depan kamar seorang teman. Temperatur rendah mungkin telah mengerutkan jarak. Tampaknya si pemilik kamar sedang keluar. Bukan masalah karena saya tahu di mana kunci disimpan. Beberapa rencana terlintas di kepala: mandi dan mendengarkan hasil rekaman.

*Penulis adalah fasilitator komunitas Orang Rimba di Jambi.
----------
Wawancara sebelumnya, ke I, II.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Makna Sumpah Pemuda dari Pojok Kanayakan (III - Habis)”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id