20 Desember 2010

Dari Warteg Emak yang Melegenda

Oleh Kharisma Wibawa*

Sudah lama masa SMP dulu. Bangunannya tampak lebih kecil dibanding saat terakhir kali saya makan di situ. Yang masih sama hanya jenis makanannya saja – sayur tahu, sambel goreng ati dan kerang ijo, telor cabe, ayam kecap, tumis kangkung, capcay, dan goreng-gorengan seperti tahu, tempe, dan bakwan. Sama dengan suasana pinggir Jalan Kayu Jati, Rawamangun Jakarta Timur. Terkenal dengan “Perempatan lampu merah Sunan Giri”. Masih sepenat dulu. Lalu lalang kendaraan roda dua-empat, angkutan umum, dan tak ketinggalan para pejalan kaki.

Mbak Ade, tak mengenali wajah saya. Bisa dimengerti. Setelah ia yang memegang kendali usaha itu, banyak pelanggan lama sudah tak makan di situ mungkin karena telah banyak menjamur warung-warung makan lain di sekitarnya. Saya termasuk pelanggan lamanya.

“Kalo aku lebih akrab sama pelanggang-pelanggan setelah ibu saya aja, mas, kesana-sananya nggak pernah kenal. Paling baru mas aja, kali,” singgungnya sambil menyuguhkan kopi yang saya pesan.

“Warteg ini emang usaha turun menurun keluarga saya. Rencananya kalo saya udah cape, bakal saya alihin ke ponakan ato anak-anak saya,” lanjutnya.

Nama Warteg Emak diambil dari panggilan akrab para pelanggan kepada sang pemilik warteg, “Emak”. Tidak lain adalah mendiang ibu dari Mbak Ade. Dulu, banyak pelanggan berdatangan dari kalangan pelajar, para pekerja pasar Inpres yang lokasinya memang tidak jauh dari situ, dan warga sekitar.

Walau pun ada beberapa warteg lainnya, saya dan teman-teman lebih tertarik ke Warteg Emak. Mungkin, karena banyak dari teman-teman saya yang sebelumnya juga suka nongkrong di sana. Tak ada yang lebih berharga bagi saya ketika duduk di atas bangku panjang, menikmati santapan yang tersedia, menyeruput kopi hangat sambil mengunyah gorengan, dan bersenda gurau bersama rekan-rekan pada waktu itu.

Tidak lupa dengan cerita-cerita nakal masa SMP yang pernah tercatat di sana. Mulai dari bolos, nongkrong berjam-jam ketika waktu istirahat sekolah, dan bersembunyi dari pelajar lain saat terlibat tawuran. Semuanya terasa begitu hangat, sehangat makanan yang tersaji di atas meja pelanggan.

Sejenak saya menahan pembicaraan dan melanjutkannya kembali dengan pertanyaan.

“Emangnya apa yang spesial dari usaha ini, mbak?” tanya saya.

“Ya, udah pasti spesial, kan warteg ini satu-satunya usaha yang dijalanin keluarga saya”.

“Dari Warteg ini, ibu saya dan saya sendiri bisa bertahan menuhin kebutuhan-kebutuhan hidup keluarga. Bayaran sekolah sama uang jajan anak, bayar listrik, trus biaya makan hari-hari, belum lagi kalo ada keluarga saya yang sakit, kan semuanya butuh biaya,” jawabnya.

Beban kesulitan hidup sempat tersemat, khususnya setelah suami dari Mbak Ade meninggal dunia. Ia dan lima orang anak yang masih ditanggungnya, melalui hari-hari berat dalam bayang-bayang kesulitan ekonomi. Saat itu, empat anak lainnya masih duduk di bangku sekolah. Yang pertama di Kelas 3 STM, kedua kelas 1 SMA, dan dua lainnya di Kelas 1 SMP dan 3 SD. Beruntung, putri ketiganya termasuk siswi yang berprestasi, sehingga bantuan beasiswa bisa sedikit meringankan beban biaya sekolah yang diemban Mbak Ade.

“Sejak Kelas 4 SD sampe lulus SMP, semua biaya ditanggung dari beasiswa”.

“Ya, syukurlah anak saya yang cewe lumayan pinter, jadi biaya sekolah sampe sekarang dia kelas 3 SMA juga ditanggung beasiswa,” ujarnya.

Berapa pun penghasilan yang didapat dari berdagang warteg, sedikitnya dikumpulkan untuk menutupi kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi. Sisanya, atau bagian terbesar dari penghasilan yang didapat selama 25 jam berdagang, digunakannya untuk modal kebutuhan warteg.

Kini, tersisa dua anak yang masih bersekolah. Biaya mereka sebulan memakan lebih dari 100 ribu rupiah. Meski pun anak-anaknya terbantu beasiswa, tetap saja ada biaya LKS, buku pelajaran, dan biaya lainnya yang jumlahnya terlalu banyak. Wacana pendidikan gratis yang dikobarkan oleh pemerintah sesungguhnya omong kosong.

Keadaan saat ini tak sesulit beberapa tahun lalu. Putra pertama dan kedua Mba Ade sudah mempunyai penghasilan sendiri. Namun, ia masih mengkhawatirkan harga bahan pokok yang terus melonjak mahal.

“Jadi, cuma di persoalan harga bahan pokok aja, ya, yang masih dikeluhin sama Mbak Ade?” tanya saya lebih lanjut.

“Lah iya, lah. Coba kalo harga bahan pokok gak mahal, saya gak perlu repot-repot soal duit kaya sekarang ini,” keluhnya sambil melayani pelanggan lain.

“Oh iya, berapa sih penghasilan sehari dari berjualan Warteg?”

“Gak tentu,” jawabnya cepat.

Itulah jawaban yang selalu saya dengar dari para pengusaha kecil macam Mbak Ade. Seolah-olah menggambarkan makin kecilnya ruang keuntungan dari usaha yang telah dijalani keluarganya selama hampir 30 tahun lebih itu.

“Kadang-kadang di atas 500 ribu. Tapi rata-rata gak kurang dari 400 ribu. Dua hari terakhir ini, aku bisa dapet 475 ribu sampe 550 ribu. Itu baru kotor nya, loh. Ya, bersihnya sekitar 100 ribuan per bulan”.

“Tapi masih mending dibanding warung-warung lain. Warteg saya, termasuk yang gak kena pungutan-pungutan liar. Jadi gak ada pengeluaran tambahan.”

“Ceritanya, ada orang dalem yang ditugasin buat narikin duit ke pedagang, trus ntar dia nyetornya ke kecamatan. Mungkin buat duit keamanan kali, biar gak kena razia kaki lima,” jelas perempuan kelahiran Brebes 46 tahun lalu itu.

“Saya gak kepikiran kalo bener diterapin undang-undang soal pajak buat warteg? Pasti jadi makin nyengsarain rakyat. Udah kena pungutan liar, kena gusur, kena pajak juga,” lanjutnya.

Rasanya memang berat. Pajak Pertambahan nilai (PPn) sebesar 10% bagi warteg yang berpenghasilan 60 Juta rupiah per tahun dapat mengancam stabilitas ekonomi kecil dan menengah, seperti Mbak Ade. Pajak yang dibebankan kepada pengusaha warteg seperti dirinya akan berimbas pada kemungkinan naiknya harga yang ditetapkan untuk satu jenis makanan. Belum lagi jika para pelanggan mengeluh karena kenaikan harga. Relasi antara penjual dan pembeli akan teracam goyah.

Setelah saya banyak mengetahui cerita tentang ia dan keluarganya bertahan hidup dengan warteg, saya jadi berpikir. Pajak lebih terkesan sebagai penjajahan baru bagi rakyat. Sedangkan, hasil pajak lebih diperuntukan pada pembangunan yang menguntungkan kelas menangah atas.


*Penulis aktif di Bingkai Merah.

Foto: VHR/Kurniawan.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Dari Warteg Emak yang Melegenda”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id