23 Desember 2010

Berjuang untuk Keluarga

Oleh Prasetyo Serna Galih*

[Suami menginginkan saya untuk tetap di rumah, mengurus kebutuhan rumah tangga, tak perlu bekerja. Tapi, ia sendiri kesusahan memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Dengan alasan itu, saya bisa meyakinkan suami bahwa tugas mencari uang dan mengurus kebutuhan rumah tangga bisa dibagi antara ia dan saya.]

Rambutnya semakin memutih. Keriput di wajahnya menyirat cerita. Setiap hari, kecuali Minggu atau hari-hari besar lainnya, perempuan berusia 55 tahun itu berjuang mencari uang di ramainya suasana Stasiun Bekasi.

Erna Nasution namanya. Perempuan kelahiran Malang berdarah Batak itu sudah hampir tiga tahun mencari nafkah dengan berjualan pulsa di Stasiun Bekasi. Lebih sering di seputar Peron II Stasiun Bekasi.

Setiap hari, Erna mulai berangkat pukul 5 pagi. Jarak rumahnya ke Stasiun Bekasi sekitar 2 kilometer. Seringkali ia tak sempat sarapan. Berbekal tas pinggang kecil, dua handphone, dan lembaran voucher pulsa, ia berjuang mencari rupiah.

Ibu yang mempunyai tiga anak itu sudah hampir lima tahun mencari nafkah di Stasiun Bekasi.

“Awalnya diberi tempat berjualan di Stasiun Bekasi. Setiap bulan, saya bayar ke Kepala Stasiun. Setelah Kepala Stasiun diganti, tempat usaha itu dibongkar. Pedagang nggak dapat ganti rugi,” tutur Erna.

Bakat dagangnya tak berhenti karena masalah itu. Didorong desakan ekonomi dan beban manajerial keluarga, Erna mulai membuka usaha lain. Ia mulai membuka usaha kelontong. Tempat usahanya cukup strategis, yaitu di salah satu tempat di samping SMU Marthia Bakti Bekasi Utara. Namun, karena keterbatasan dana dan tak baliknya modal saat berjualan di Stasiun Bekasi, usaha kelontong pun gulung tikar.

Kegagalan kedua kalinya tak membuat Erna patah arang. Dengan semangatnya yang tinggi, Erna beralih menjadi penjaja pulsa tanpa lapak. Setiap hari dari pukul 6.30 sampai pukul 4 sore, ia menjajakan pulsa dari ujung peron ke ujung peron. Saat kereta mendekap peron menunggu diberangkatkan, Erna berjalan bolak-balik menyisir gerbong. Langkahnya pelan. Seolah menyeret beban dan rasa lelah yang menghinggapinya setiap hari.

“Pulsa… pulsa… pulsa…,” begitu serunya, sambil melirik sekeliling, berharap ada yang memanggilnya.

Menurutnya, Stasiun Bekasi yang selalu ramai adalah “ladang” rupiah yang bisa merajut harapannya. Harapan agar anak-anak dan suaminya dapat hidup lebih layak. Harapan yang ditanggung di pundaknya tanpa keluh-kesah.

“Di Stasiun itu, setiap hari uang selalu berputar. Banyak yang mau berjualan di stasiun karena memang mudah mencari uang di sini. Segala macam kebutuhan orang, selalu ada, seperti pulsa. Juga menjadikan banyak pencopet ada di sini. Kita pinter-pinter aja kalo di sini,“ jelas Erna.

Saat penumpang sepi, sesekali, ia duduk sebentar di bangku yang tersedia di peron. Sambil menghela nafas, ia kumpulkan kembali semangat untuk mencapai harapan itu. Harapannya menuju satu hal, keluarga.

Meski demikian, Erna sempat ditentang keluarga di awal bekerja. Terutama, anaknya yang paling kecil. Bukan karena ia malu punya ibu yang berjualan di stasiun. Tetapi, khawatir atas keselamatan ibunya itu. Wajar memang. Berjualan di atas peron dan kereta api cukup berisiko. Mereka yang berdagang harus mengenal lebih dalam situasi dan kondisi stasiun. Soal padatnya penumpang. Soal jadwal keberangkatan dan kedatangan. Soal cibiran dari sebagian orang di stasiun. Soal risiko keamanan karena pencopet berkeliaran bak lalat hijau. Sama halnya soal petugas keamanan yang tiba-tiba bisa serupa anjing herder. Menyalak. Bahkan, tak segan menyeret pedagang dengan giginya agar keluar peron. Dan soal risiko keselamatan dari pergerakan kereta.

“Tak jarang yang namanya PKD – Petugas Keamanan Dalam – sering membuat pedagang jadi nggak aman jualannya. Kalo saya setiap hari selalu beli tiket kereta, jadi pegangan kalo ada PKD yang mau ngusir saya. Saya kan punya tiket. PKD suka jahil ke pedagang kalo ada Kepala Stasiun meminta diadakan pemeriksaan,” tuturnya.

Erna tahu betul risiko-risiko yang dihadapinya. Ia memberi penjelasan kepada anak-anaknya agar memahami pekerjaannya. Sekaligus agar anak-anaknya mengerti kondisi ekonomi keluarga. Anak-anaknya akhirnya mengerti.

Di tengah beratnya menjalani hidup, Erna masih merasa beruntung. Anaknya yang pertama bekerja sebagai guru di salah satu sekolah menengah di Bekasi. Setidaknya mengurangi beban biaya kebutuhan keluarga yang begitu tinggi. Selain biaya keseharian, Erna harus membiayai dua anaknya yang lain dan suaminya. Anak keduanya belum berhasil mencari uang lebih untuk membantu keluarga di tengah upaya membangun cita-cita yang mulia, yakni memilih berjuang bersama banyak orang melawan pemiskinan. Sementara itu, anak ketiganya membutuhkan biaya kuliah dan hidup sebagai anak kos. Sedangkan, suami Erna tak bekerja. Otomatis, biaya kebutuhan keluarga dibebankan banyak ke dirinya.

Selain seorang yang bekerja keras, Erna memiliki karakter yang disukai banyak orang. Ia dikenal ramah kepada hampir semua kalangan di sekitar Stasiun Bekasi. Sikapnya membuat dia cukup dikenal.

“Ibu pulsa orangnya baik. Kadang-kadang, kalo ada makanan suka bagi-bagi ke pedagang yang lain. Malah, saya kalo beli pulsa ngutang, ia masih mau ngelayanin. Salut saya dengan perjuangan ibu pulsa,” kata Wahyu, salah satu pedagang koran di Stasiun Bekasi.

Wahyu memanggil Erna dengan sebutan Ibu Pulsa karena Erna satu-satunya penjaja pulsa di Stasiun Bekasi.

“Ibu Erna, sudah jadi langganan saya. Setiap hari, saya memang selalu beli pulsa ke dia. Kalo nggak sempat ketemu, saya tinggal sms atau telepon dia. Orangnya jujur. Asik kalo diajak ngrumpi, baik juga,” tutur salah seorang perempuan yang bekerja sebagai buruh di Jakarta, pelanggan tetap Erna.

Kini, suara lantang, “pulsa… pulsa… pulsa…,” semakin kecil volumenya. Kekuatan volume suaranya semakin menurun karena setiap hari mesti berteriak menantang bising suara gemuruh kehidupan stasiun. Ia mulai merasakan sakit di telapak kakinya karena mesti berjalan kurang dari sembilan jam sehari.

“Telapak kaki saya sudah terasa sakit sekarang. Tetapi, mau bagimana lagi. Biaya hidup semakin gede. Masa saya berhenti berjualan. Mau dikasih makan apa anak-anak saya?” jelas Erna.

Perjuangan Erna yang tak kenal menyerah sungguh menjadikan ia sosok yang sangat dikagumi anak-anaknya.

“Mama, menjadi pahlawan terbesar dalam hidup saya. Ia mampu memahami saya sebagai anak yang hanya bisa menyusahakan orang tua. Tak ada keluhan yang pernah ia keluarkan untuk kehidupan pribadi saya. Pesannya hanya meminta saya menjadi manusia yang berguna untuk manusia lainnya. Bertanggung jawab atas keputusan yang telah saya ambil dalam hidup dan jangan pernah menyesalinya,” tutur anak keduanya dengan penuh rasa haru dan bangga.

Perjuangan Erna menanggung beban keluarga untuk mencari uang sekaligus mengurus rumah tangga, tak lepas dari budaya patriarki yang kuat. Sebagai perempuan berdarah Batak yang masih tunduk dengan budaya patriarki, Erna harus mengemban beban ganda, mencari uang untuk keluarga sekaligus mengurus rumah tangga.

“Sering, setelah saya pulang cari duit, saya juga memasak, mencuci baju, beres-beres rumah meskipun nggak sering. Anak-anak sudah bisa diandalkan untuk bisa melakukan semua kegiatan itu. Anak-anak kadang nggak tega melihat saya melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka kemudian meneruskan pekerjaan itu. Saya nggak pernah menyuruh melakukan pekerjaan itu. Saya hanya menekankan kepada mereka bahwa kita nggak punya pembantu. Kita harus melakukan urusan kita sendiri,” katanya.

“Tetapi yang namanya anak-anak, terkadang pekerjaan itu nggak dituntaskan,” tambahnya.

Erna memang tak mengerti apa itu budaya patriarki. Apalagi soal feminisme. Tetapi, ia tak begitu saja tunduk di dalam arus budaya patriarki yang menyeretnya. Melalui ajakannya untuk membantu bekerja urusan rumah tangga, anak-anaknya diajarkan untuk tak membedakan pekerjaan berdasarkan peran dari jenis kelamin atau jender. Seperti yang dilakoninya selama ini.

Ia pun tak mau tinggal diam berada di rumah menunggu rumahnya ambruk karena pondasi ekonomi keluarga semakin rapuh. Terbukti, ia mampu bertahan selama lima tahun berjualan di kerasnya kehidupan luar. Ia pun tak mau ambil pusing suaminya hanya termangu di rumah. Baginya, pemenuhan kebutuhan keluarga adalah hal utama.

Perjuangan Erna semestinya mendapatkan apresiasi luar biasa. Perjuangan itu dialami jutaan perempuan yang dipaksa mengikuti arus budaya patriarki. Yang menundukan perempuan pada posisinya sebagai “ibu” di hadapan beban ekonomi yang menghimpit.

Hal yang perlu dilakukan kemudian, bagaimana mengelola modal sosial yang dimiliki perempuan-perempuan pekerja keras untuk mengorganisir diri menjadi perjuangan melawan budaya patriarki dan kekuasaan modal dan politik yang meneror dan menyakiti basis kekuatan masyarakat, keluarga.

*Penulis aktif di Bingkai Merah.

Tulisan Terkait:
Perempuan Miskin Kota di Hadapan Neoliberalisme

Komentar :

ada 2 komentar ke “Berjuang untuk Keluarga”
Febri mengatakan...
pada hari 

Salut buat perjuangan Erna, dan juga perempuan-perempuan Indonesia.

Apa yang dirasakan Erna secara natural patut diberi apresiasi dan perhatian. Jarang sekali yg sadar dan terus berjuang. sadar bahwa mereka tau "ada yang tidak benar nih!" dan mereka berjuang untuk "membenahi apa yg tidak beres nih!" . Karena pada umumnya, yang terjadi di kenyataan kita saat ini, jangankan perjuangan, untuk sadar dan melek dengan yang terjadi saja belum tentu.

Adanya Erna ini dan Erna-erna yang lain tentu saja dapat membangkitkan semangat perjuangan Masyarakat, perempuan pada khususnya. Dengan pembinaan yang baik, bukan mustahil mereka lah tunas2 pengkobar semangat lainnya...

kita..mereka...bersama-sama, majukan bangsa Indonesia. SEMANGAT KAWAN!!!!

Anonim mengatakan...
pada hari 

salut bwt inang erna. perempuan sering dicitrakan memiliki tangan enam, tiga di kanan, tiga di kiri...kerja maksimal minim apresiasi!!! salut bwt inang.

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id