26 Desember 2010

Pernyataan Ichlasul Amal Menyesatkan

Boyolali, Bingkai Merah – Pernyataan Ichlasul Amal yang menyamakan aksi massa rakyat Yogjakarta dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dianggap menyesatkan dan disesali banyak pihak. Hal itu disampaikan Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) saat menghadiri pertemuan korban 1965 di Boyolali (26/12).

Menurut Bedjo di dalam pertemuan itu, rakyat Yogyakarta bergerak karena ketidakpuasan atas kebijakan Pemerintah Pusat. Selama ini, Sultan Hamangkubowono IX dan rakyat Yogjakarta sudah menunjukkan komitmennya ikut serta di dalam perjuangan rakyat Indonesia di seluruh tanah air. Beliau bersama rakyat Yogjakarta dengan Daerah Keistimewaannya bersedia berada di wilayah Republik Indonesia.

“Sungguh disesali ucapan Ichlasul Amal. Ia sepertinya tidak mengerti sejarah perjuangan rakyat Yogjakarta,” ujarnya.

“Pendapatnya telah mengandung labelisasi “PKI” secara negatif. Media pun ikut mengabarkan label-label negatif itu. Artinya, yang merasa disakiti bukan hanya rakyat Yogjakarta, tetapi juga korban tragedi 1965,” lanjutnya.

Pemberitaan di beberapa media yang menyatakan bahwa PKI melakukan aksi massa yang merusak, membakar, bahkan membunuh telah menjadi kalimat yang sering disematkan di pemberitaan Ichlasul itu.

Pemberitaan itu dibantah oleh Gumelar Demokrasno, anggota Sanggar Bumi Tarung, bagian dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang tinggal di Yogjakarta sejak 1960-1964. Menurutnya, sebelum 1966, aksi massa yang sering diselenggarakan oleh Lekra, PKI, dan kelompok progresif revolusioner lainnya tidak pernah merusak, membakar, atau membawa senjata tajam saat berunjuk rasa.

Massa aksi dari Lekra biasanya menampilkan karya kesenian, seperti patung-patung yang terbuat dari kertas semen, karikatur, tarian, dll, di tengah kuatnya gugatan anti imperialisme dan anti kapitalisme.

Kesaksian yang sama juga diutarakan seniman Lekra lainnya, Joko Pekik, yang sampai sekarang masih tinggal di Yogjakarta. Menurutnya, massa aksi dari PKI tidak pernah melakukan pengrusakan dan lainnya sebagaimana yang disampaikan beberapa media.

“Saksi mata banyak saat itu. Barisan massa dari PKI tidak pernah merusak. Justru, setelah Suharto berhasil menguasai kekuasaan tertinggi Republik Indonesia, massa aksi banyak yang merusak, membakar, melakukan kekerasan, bahkan membunuh. Tindakan itu terjadi hingga saat ini,” katanya.

“Kami juga tidak pernah membawa senjata tajam. Yang membawa senjata tajam itu terjadi saat ini. Lihat saja, FPI kerap membawa pedang saat melakukan aksi-aksinya, termasuk siap memedangi mantan tahanan politik ini,” tambahnya.

Menurut Gumelar dan Joko Pekik, pendapat yang dikeluarkan Ichlasul Amal tidak berdasarkan pengetahuan yang cukup. Sejarah telah mencatat perkataannya yang menurunkan derajat intelektualnya. Apalagi Ichlasul pernah menjadi Rektor Universitas Gajah Mada. Sebagai seorang intelektual, seharusnya Ichlasul berbicara secara hati-hati dan berdasarkan acuan ilmiah.

Hal senada ditegaskan oleh Baskara T. Wardaya, Direktur Pusat Sejarah dan Etika Politik Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Baskara saat dihubungi mengatakan seharusnya Ichlastul Amal tidak latah, tanpa tahu acuan sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan.

“Jangan menuduh sesuatu tanpa mengetahui duduk perkaranya. Terlebih jika memang pendapatnya diartikan untuk mengalihkan perhatian dari isu dasar yang diusung oleh rakyat Yogjakarta. Labelisasi “PKI” terhadap kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintah merupakan cara yang biasa digunakan Orde Baru. Semoga, tidak ada maksud Ichlasul melakukan itu,” ujarnya.

Selain itu, Baskara menilai banyak wartawan tidak paham sejarah. Pemberitaan mereka tidak sesuai dengan acuan sejarah terkini. Mereka sebaiknya membekali diri dengan acuan sejarah 1965 yang berbeda dari fiksi sejarah Orde Baru. Media seharusnya lebih hati-hati di dalam pemberitaannya.

Sejalan dengan Baskara, Joko Pekik berpendapat wacana yang dikeluarkan oleh Ichlasul Amal dianggap upaya sengaja untuk menghentikan dukungan rakyat Yogjakarta yang meluas dengan cara mencap "PKI".

“Semua perkara yang dibuang ke tempat sampah “PKI”, selesai sudah. Semua yang dianggap jelek penguasa bisa dengan mudah dialamatkan ke PKI,” katanya.

Baskara mengingatkan, labelisasi “PKI” yang mencuat kembali bukan hanya merugikan masyarakat Yogjakarta, korban 1965, tetapi masyarakat luas yang bisa saja terancam dilabelisasi jika berlawan. (bfs)

Komentar :

ada 1
Anonim mengatakan...
pada hari 

kpd: Ichlasul Amal yang dungu.

PENGHIANAT !!!!

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id