27 April 2011

Hukuman Seumur Hidup Artinya Hukuman Mati

Oleh Heru Atmodjo

[Kesaksian di bawah ini dituliskan langsung oleh Heru Atmodjo, mantan Perwira Intelejen AURI, saksi peristiwa 1 Oktober 1965, pada awal tahun 2008 untuk dipublikasikan di Soeara Kita, buletin bulanan korban 1965 YPKP 65, Maret 2008. Publikasi ulang tulisan ini untuk mengenang Alm. Heru Atmodjo sekaligus sebagai bacaan ringan pengungkapan kebenaran]

Palu Ketua Hakim Mahkamah Militer Luar Biasa, Mahmilub, di Jakarta telah diketok. Putusan seumur hidup ditimpakan kepadaku. Namun, aku tak terpengaruh keputusan itu yang sudah diprediksi sebelumnya. Mahmilub, yang kekuasaannya di tangan Mayjen Suharto, sebelum bersidang telah mengantongi dua putusan: Mati atau Seumur Hidup. Hanya dua putusan itu.

Bahkan, ketika seorang Letnan Satu, bernama Ngadimu dalam pemeriksaannya selalu berterus-terang membuka apa adanya, bahwa ia sebenarnya sebelum berangkat ke Jakarta telah melapor kepada Pangdam (Panglima Kodam) Jawa Timur dan di pengadilan ia mengaku seperti apa yang dilakukan, dituntut jaksanya putusan seumur hidup, tapi putusan pengadilan menjatuhkan hukuman mati.

Sejak Ngadimu meninggalkan rumah sampai hendak dieksekusi, ia sama sekali tak boleh ditengok oleh keluarganya. Ia boleh bertemu keluarganya untuk yang pertama dan penghabisan kalinya hanya sehari sebelum ditembak mati. Tentu, saat isteri dan anak-anaknya bertemu dan boleh makan bersama-sama terakhir kalinya, jerit isak tangis mereka tidak dapat dibendung. Karena itu, aku sebagai perwira jauh lebih senior dari Ngadimo, dapat menduga apa yang akan terjadi. Tidak kaget sama sekali.

Hanya isteriku yang menunggu di luar sidang dapat mendengar putusan itu dibacakan. Setelah diucapkan keputusan “Seumur Hidup”, ia jatuh tidak sadarkan diri. Kemudian di pangkuan kakaknya, suaranya keluar, “salah apa Mas Heru?”

Kakaknya melerai dengan suara lembut, “Tidak perlu kamu kehilangan iman, kuatkan imanmu, kita anak-anak keturunan pahlawan besar, Ki Ageng Basyariah (Pengikut Diponegoro), tidak pernah mengeluh atas siksa dan kedaliman musuh-mush kita. Tegar, tegarlah, becik ketitik ala ketara (akhirnya yang baik yang menang, yang jahat orang akan tahu),” nasihatnya.

Tiga hari kemudian. Di pagi hari. Petugas penjara Rumah Tahanan Militer Budi Utamo, memanggil namaku, “Pak Heru, supaya siap berangkat”, katanya.

Aku jawab, “Baik, tunggu sebentar. Saya perlu berbenah barang pakaian”.

Sebuah panser, motor lapis baja, telah standby. Aku masuk ke dalamnya dengan tanganku diborgol bersama dua orang lain, Sujono dan Gatot. Keduanya perwira AURI yang sudah divonis juga.

Aku tidak tahu mau dibawa ke mana. Panser berhenti setelah berbelok ke kanan dan kiri tanpa aku tahu mau ke mana. Pengawal memberi perintah keluar. Mataku dapat melihat. Oh, itu lapangan terbang Kemayoran. Sebuah helikopter militer buatan Rusia, MI-4, berwarna hijau tanah, siap membawaku. Aku masuk, dan duduk di tempat yang disediakan.

Penerbangnya menyalakan mesin. Baling-baling mulai berputar. Sebagai penerbang bagiku itu bukan hal yang aneh. Aku tahu ke mana arah penerbangan itu menuju. Jelas tujuannya ke arah Bandung. Yang aku lihat dari dalam pesawat, di sebelah timur, Gunung Burangrang tampak awan putih. Di barat, di atas Cimahi agak tertutup gelap.


Penerbang yang tidak berpengalaman memilih celah timur. Aku pikir, kalau itu yang dipilih, ia akan gagal. Kalau dipaksakan, bahaya. Benar, setelah mendekat Tangkubanprahu, pesawat mau masuk awan. Ini yang bahaya. Tapi penerbangnya segera berbalik ke utara lagi. Selamat. Kalau terus, pesawat akan menabrak gunung. Rupanya, setelah itu ia melihat di atas Cimahi ada lubang. Helikopter ini mengarah ke arah sana. Sekarang aku tahu, tujuannya Cimahi. Ia mendarat di Cimahi dengan mulus.

Pengawalan ketat telah siap. Aku dengar salah satu dari mereka tanya, “mana Pak Oemar Dani?”

Dijawab oleh pengawal dari Jakarta, “tidak, tidak jadi, tetap di Jakarta.”

Aku dan dua orang temanku dibawa ke Rumah Tahanan Militer Cimahi melalui pintu gerbang, pintu blok, dan kita turun. Gerbang blok dibuka. Masuk pintu Blok Sel Khusus. Kunci dibuka, masuk ke bangunan kuno yang bentuknya seperti gudang. Kunci gedung dibuka, kita masuk. Ruangan sel penuh dengan terali besi kokoh di depan dan atasnya. Di ujung barat ada empat sel khusus dari tembok. Pintu kayu, grendelnya dilindungi oleh terali-terali pengaman.

Pintu dibuka, borgolku dibuka. Aku masuk. Ada sebuah dipan tempat tidur. Ukuran dipan untuk satu orang dengan lebar 70 cm, panjang 190 cm, tingginya 50 cm. Sel itu tidak ada jendelanya, hanya ventilasi udara enam buah lubang, 10 x 10 cm. Panjangnya 2 m. Lebarnya 1,20 m. Tingginya 2 m. Di bawah ujung kaki ada lubang untuk buang air kecil atau besar. Di bawah terlihat bahwa itu selokan untuk membersihkan kotoran. Di situlah aku ditempatkan.

Pasukan yang menjaga baru saja diganti. Yang lama adalah perjurit CPM Jawa Barat. Mereka diganti dengan peleton baru dari Manado. Mereka ini prajurit-prajurit CPM baru dengan pangkat Prajurit II (Prada). Mereka khusus direkrut untuk menjaga tahanan khusus RTM Cimahi. Mereka sulit diajak bicara. Rupanya sudah dapat instruksi khusus dan dicuci otak, menjaga “orang sangat berbahaya yang dihukum mati, menunggu eksekusi”.

Tahanan khusus ini hanya boleh keluar 1 jam dalam satu hari. Prakteknya hanya 55 menit, karena 5 menit untuk membuka dan menutup pintu sel. Udara di Cimahi dingin, lebih-lebih di malam hari. Dinginnya merasuk ke dalam tulang. Kepala harus diikat dengan handuk atau sarung supaya tidak terlalu dingin. Kaki harus pakai kaos. Badan harus pakai jaket, kalau punya. Lampu sel hanya lima wat, kalau malam dimatikan. Gelap, dingin, dan udara tidak sehat.

Akhirnya, aku dapat keterangan bahwa penjara ini dulu dibuat oleh militer Belanda untuk menghukum prajurit yang membuat kesalahan berat atas hukuman militer yang diterimanya, seperti berkelahi, mau melarikan diri, dsb. Mereka ditempatkan di sel itu paling lama 12 hari. Tapi bagiku, satu tahun lamanya.

Aku sempat menanyakan penghuni-penghuni di dalam sel itu saat dapat giliran keluar. Aku tahu bahwa di situ ada Dr. Subandrio, Perdana Menterinya Bung Karno, Brigjen Supardjo, Panglima Komando Tempur di Kalimantan, Letkol Untung, Letnan Satu Ngadimo, dan Nyono, anggota Politbiro CC PKI.

Aku bilang, ini luar biasa kejamnya. Kalau begini terus akibatnya akan fatal. Bagaimana supaya survive. Nyono bilang, sangat tergantung pada orang lain dan mereka itu adalah penjaga, prajurit-prajurit yang menjaga kita. Kalau mereka dibuat sadar, bahwa kita bukan kriminal, mereka akan berubah. Jendral Pardjo perlu diberi tugas menyadarkan prajurit itu.

Jendral Pardjo sanggup. Ia pun mengajak bicara mereka yang bringas itu. “Dik, dari mana asalnya?”

“Saya dari Sangir Talaut, Pak,” jawab seorang di antara mereka.

“Namanya?”

Saya, Karim, Pak.”

“Bapak, sebenarnya siapa?”.

“Saya Supardjo. Saya juga prajurit, seperti adik. Saya punya prajurit, sekarang di Kalimantan Barat. Berhadapan dengan serdadu Inggris. Mereka yang bikin kita ini susah. Kita diadu domba supaya saling berkelahi antara kita. Akhirnya, mereka yang ambil untung. Itu, bapak-bapak di dalam, pejuang-pejuang sejak 1945, melawan penjajah. Mereka tidak kaya sama dengan kamu”.

“Pak, panggil saja saya, Karim. Kami ingin tahu, karena keterangan yang saya terima dari atasan tidak cocok dengan keadaan. Katanya bapak-bapak itu orang berbahaya. Tentu kami siap melawan dan siap berkelahi kalau bapak-bapak itu orang jahat,” tanggap Karim.

“Karim”, kata Supardjo, “aku seorang Jendral, aku tidak kaya, aku bukan koruptor. Banyak jendral korup, dan akhirnya yang susah kamu semua. Rakyat juga susah. Ini tak boleh berlanjut. Aku tahu kamu datang dari Sangir Talaut. Pulau itu indah, lautnya bagus, dan orangnya peramah. Tidak salah, kalau yang pertama buka mulut adalah Karim”.

“Ya, pak, saya anak pelaut, kalau nyelam di air bisa lama, setengah jam, ada yang bisa satu jam, biasa bagi orang kita”.

Ketika pembicaraan dapat dibuka, Jendral Pardjo memberi tahu kita, bahwa kita yakin pasti mereka bisa diubah. Dan benar, tidak sampai seminggu keadaan sudah lain. Karim saling cerita kepada teman-temannya bahwa di situ orang-orang penting. Kasihan jika mereka disiksa seperti itu. Mereka bisa mampus, kedinginan, bisa gila.

Dari satu peleton, 36 orang, sebagian besar berbalik, kecuali beberapa orang saja yang tidak mau bicara. Kini suasana berbalik. Tahanan bebas tidak dikunci, sebaliknya kalau datang inspeksi dari atasannya, kita disuruh masuk duluan, masuk dalam sel. Ini bisa karena untuk masuk blok kita sedikitnya harus melalui enam pintu, sedikitnya tiga pintu yang harus dikunci, sehingga ada waktu kita masuk ke dalam sel duluan. Inilah yang menyebabkan kita bisa hidup, tidak mati atau sakit.

Kami sama sekali tidak pernah kasih uang kepada mereka. Sogok, tabu bagi kami. Aku bisa hidup karena perajurit CPM berjasa membalik keadaan, yang mematikan menjadi menghidupkan.

Tulisan terkait:

Komentar :

ada 0 komentar ke “Hukuman Seumur Hidup Artinya Hukuman Mati”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id