23 Mei 2011

Ahmadiyah Purwokerto Hidup Damai Tanpa Diskriminasi

Aksi-aksi kekerasan yang dialami jemaah Ahmadiyah di berbagai kota menunjukkan ancaman penghancuran peradaban bangsa kita. Kekerasan itu terjadi secara sistematis dan terorganisir dilakukan dengan terbuka dan negara membiarkan praktek diskriminasi itu terjadi. Falsafah negara “Bhineka Tunggal Ika” dilecehkan oleh sekelompok orang.

Namun, di Purwokerto, praktek kekerasan tidak terjadi. Kehidupan masyarakat Purwokerto dengan jemaah Ahmadiyah berlangsung harmonis. Salah satu masjid Ahmadiyah di sana berada di Tambak Sugro, berdiri kokoh di pinggir jalan.

Berikut hasil wawancara reporter Bingkai Merah, Galih Prasetyo dengan Mubaligh Ahmadiyah Purwokerto, Syamsul Ulum mengenai kehidupan Jemaat Ahmadiyah di Purwokerto.

P: Bisa saudara jelaskan proses masuknya Ahmadiyah di Banyumas dan Purwokerto?

J: Maaf, saya tidak bisa menjelaskan secara detail tentang masuknya Ahmadiyah di daerah Banyumas dan Purwokerto. Saya bukan orang pribuminya dan bertugas di Purwokerto baru 4 tahun. Tetapi, menurut yang saya dengar dari anggota di Banyumas, Ahmadiyah masuk di Banyumas tahun 1942 melalui Bapak Hasan Suwarno dan Muhammad Idris. Sedangkan yang menyampaikan tentang Ahmadiyah adalah Sayyid Syah Muhammad, seorang muballig Ahmadiyah dari Pakistan yang dianggap berjasa karena ikut berjuang sebagai panitia pemulihan pemerintahan RI dan panitia penyambutan Presiden RI ke Jogjakarta dan penyusunan program bahasa Urdu di Jakarta. Oleh Presiden Soekarno, beliau dianugerahi piagam penghargaan sebagai pejuang kemerdekaan RI.

P: Ada beberapa cabang Ahmadiyah di Kabupaten Banyumas?

J: Jamaat Ahmadiyah di Kabupaten Banyumas ada 4 cabang, yaitu Jamaah Purwokerto, Jamaah Pabuaran, Jamaah Sumbang, dan Jamaah Kedung Banteng.

P: Dari awal datangnya Ahmadiyah di Purwokerto, apa terjadi konflik dengan umat agama lain seperti yang terjadi terhadap kawan-kawan Ahmadiyah di Banten dan Bogor?

J: Sepengetahuan saya semenjak masuknya Ahmadiyah di Purwokerto sampai sekarang 2011 tidak pernah terjadi konflik dengan umat agama lain. Walaupun banyak mengadakan diskusi baik secara resmi ataupun perorangan dengan penganut agama lain tidak pernah terjadi konflik. Hubungan anggota Jamaat dengan penganut agama lain sangat baik. Kita saling menghormati perbedaan. Selama ini, jamaah Ahmadiyah di Kabupaten Banyumas tidak pernah terjadi konflik besar seperti di daerah lain.

P: Bisa jelaskan contoh pola interaksi antara warga non Ahmadiyah dengan kawan-kawan Ahmadiyah sebelum terjadinya konflik seperti ini?

J: Kita selalu menjalin komunikasi yang baik dengan warga sekitar serta ikut dalam kegiatan-kegiatan yang ada. Secara sosial kemasyarakatan kami warga Ahmadiyah berbaur dan bekerjasama dan saling menolong antar warga masyarakat sekitar. Bahkan, ada anggota pengurus Ahmadiyah yang jadi Anggota DPRD Banyumas, ada juga yang jadi pengurus desa dan Ketua RT setempat.

P: Bisa jelaskan, bagaimana pendapat saudara mengenai konflik yang saat ini dialami kawan-kawan Ahmadiyah di daerah lain?

J: Sangat prihatin. Padahal, dimanapun Ahmadiyah berada selalu menyampaikan pesan kedamainan, tidak pernah berbuat kekerasan. Kami selalu berdoa kepada Allah SWT untuk saudara-saudari kami yang terkena musibah agar selalu sabar dan tabah serta serahkan semuanya kepada Allah SWT.

P: Menurut pendapat anda pribadi, apa solusi terbaik untuk kawan-kawan Ahmadiyah terhadap konflik yang terjadi?

J: Untuk keamanan harus berkoordinasi dan menyerahkannya kepada aparat kepolosian. Sebagai muslim yang taat harus tetap sabar, tabah, banyak berdoa dan terus jalin silaturrahmi dan komunikasi dan tidak boleh membalas dendam sebagaimana moto jamaah, LOVE FOR ALL HATRED FOR NONE (Cinta Untuk Semua, Tiada Kebencian Bagi Siapapun).

P: Menurut pendapat saudara, apakah di Banyumas dan Purwokerto peran dari MUI setempat cukup baik untuk meredam konfilik yang terjadi jika dibandingkan dengan konflik-konflik seperti di beberapa daerah lain?

J: Saya kurang tahu persis, mungkin juga iya, tapi yang jelas kami selalu menjalin silaturahmi dengan tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Kami juga aktif dalam FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama).


Komentar :

ada 3 komentar ke “Ahmadiyah Purwokerto Hidup Damai Tanpa Diskriminasi”
Anonim mengatakan...
pada hari 

Kerukunan beragama seperti ini patut di tiru oleh rakyat indonesia kebanyakan....

Anonim mengatakan...
pada hari 

alangkah nyaman nya negeri ini apabila smua kabupaten kota di republik ini dapat hidup rukun damai antar sesama umat beragama seperti di purwokerto...masyarakat yg mengerti ttng hakikat hidup beragama, masyarakat yg mengerti ttng hak azasi manusia,masyarakat yg paham bhwa bangsa ini di bangun diatas perbedaan2 agama..smoga kedamaian hidup anatar sesama agama di purwukerto ini tidak tercabik cabik oleh tangan2 kotor yg mengoyak kerukunan hidup beragama di republik ini.

Dildaar Ahmad Dartono mengatakan...
pada hari 

Klarifikasi dari bapak Nuh Nuruddin Hasan putra Bapak Hasan Suwarno mengenai masuknya anggota/pandangan2 Jemaat Ahmadiyah (Qadian) ke Purwokerto:

Ahmadiyah diperkenalkan pertama kali sekitar tahun 1935-1936 di Purwokerto oleh Ahmad Sarido, seorang kelahiran Jogjakarta.

Ahmad Sarido pernah bertahun-tahun tinggal dan menimba ilmu agama di Qadian, India. Ia sendiri seorang kader Muhammadiyah yang mendapat tugas dari organisasinya untuk belajar di India. Ia lalu belajar di Qadian, masuk menjadi anggota Ahmadiyah Muslim dan pulang ke pulau Jawa pada 1933. Ia menjadi guru HIS di Cepu. Ia juga menyebarluaskan Ahmadiyah di kota itu.

Tahun 1935-1936, Ahmad Sarido berpindah ke Purwokerto tetap sebagai guru sekolah dan di situ ia sering mendiskusikan tentang Islam dan Ahmadiyah kepada rekan-rekan gurunya. Ia berhasil membaiatkan rekan2 guru di tempat beliau mengajar sehingga dengan sadar mereka tertarik dan masuk kedalam Jamaah Ahmadiyah yaitu Daryono, Jaswadi, Umar, Suroso Malangyudo dan orang berprofesi lain seperti Muhammad Idris.

Pada 1936 didirikanlah Ahmadiyah cabang Purwokerto dengan ketua Ahmad Sarido. Kepengurusan ini bernama Anjuman Ahmadiyah Qadian Departemen Indonesia Gemente Purwokerto. Cetha Welo-Welo dan Penunjuk Jalan. Jln Raga Semangsang. Semacam balai pertemuan.

Ada pun bapak Hasan Suwarno adalah penganut Ahmadiyah Lahore yang setelah dikontak dan diberikan hadiah bacaan oleh Muhammad Idris sekitar tahun 1938 baiat masuk Jemaat Ahmadiyah (Qadian) yang dibawah naungan khilafat. Keputusan Hasan Suwarno ini diikuti oleh cukup banyak anggota penganut kelompok Lahore dari desa Pabuaran, Purwokerto Utara.

Sayyid Shah Muhammad adalah mubalig dari India utusan Khalifatul Masih II, Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad guna membantu dakwah Islam Ahmadiyah di negeri ini. Sayyid Shah Muhammad pertama kali bertugas di Purwokerto dan sekitarnya. Ia datang sekitar tahun 1938 dan/setelahnya.

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id