15 Februari 2010

Pemerintah Abai, Kasus Kekerasan PRT Masih Sarat

Jakarta, Bingkai Merah – Momen peringatan hari pekerja rumah tangga (PRT) yang berlangsung pada 15 Februari 2010, akan mencatat kembali serangkaian fakta-fakta terkait kondisi realitas, keberadaan serta kontribusi para pekerja rumah tangga di Indonesia, yang kerap diingkari dengan berbagai bentuk pelanggaran atas hak-haknya sebagai pekerja. Termasuk tindak laku kekerasan yang masih rentan di terima oleh PRT.

Realitas menunjukkan pelanggaran HAM kerap terjadi pada kawan-kawan pekerja rumah tangga—yang mayoritas adalah perempuan, dan anak-anak. Dimensi pelanggarannya pun beragam, mulai dari pelanggaran atas hak anak, hak pendidikan, kekerasan dalam berbagai bentuk, baik fisik maupun psikis.

Sebut saja kasus yang menimpa seorang pembantu rumah tangga di Bekasi bernama Hapsari (39), pada 7 Oktober 2009 lalu. Perempuan asal Wonosobo itu, tewas ditangan sang majikan setelah sebelumnya menendapatkan penyiksaan serta tindak kekerasan. Tubuh Hapsari diketemukan dalam kondisi mengenaskan Badannya tinggal tulang dibalut kulit. Selain itu terdapat luka lebam pada kaki kanan dan kiri, lutut serta pelipis. Ditemukan juga luka setrika dan siraman air panas dan air lombok.

Sementara itu, menurut hasil data pengaduan yang diperoleh Rumput Cut Nyak Dien Yogyakarta, LSM yang bergerak pada advokasi PRT. Sampai tahun 2007, tedapat 79 kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga di Yogyakarta. Menurut R Endang, pengurus LSM tersebut, kasus kekerasan ada yang berupa fisik seperti pemukulan atau penyiksaan, tidak diberi makan yang layak maupun kerja tanpa ada batasan jam yang pasti.

Nada serupa muncul dari aktivis Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Lita Anggraini yang menilai, kondisi PRT di Indonesia masih rentan dengan berbagai perilaku diskriminasi. Termasuk kekerasan. Hal ini dikarenakan masih belum adanya payung hukum yang secara khusus, jelas, dan tegas dalam melindungi pekerja rumah tangga.

"Dalam penelitian yang kami lakukan antara 2004-2008 mencatat sekiranya terjadi 472 kasus kekerasan yang menimpa para PRT di Indonesia." Ungkapnya ketika menghadiri peringatan hari pekerja rumah tangga di Taman Tugu Proklamasi Jakarta, Minggu.

Lita menambahkan, walaupun telah banyak kasus yang bertentangan dengan hak-hak pekerja rumah tangga, pemerintah masih belum memberikan tanggapannya secara tegas. “Stake Holder di tingkat Negara tidak memberikan pengakuan terhadap pekerjaan para pekerja rumah tangga, itulah mengapa keberadaan mereka pun juga tidak di data. Jika dalam pendataan saja pemerintah tidak memenuhi, apalagi pemenuhan untuk hak-hak PRT lainnya.” Tegasnya.

Berada Dalam Situasi Kerja Yang Tidak Layak

Hasil riset JALA PRT bersama Komnas Perempuan tahun 2006-2007 di 11 wilayah di Indonesia, serta data dari pendampingan PRT di lapangan dari tahun 1999 sampai dengan 2009 di wilayah DKI Jakarta, DIY, Semarang dan Mataram, memberikan banyak gambaran tentang kondisi pekerja rumah tangga. Salah satunya, banyak para pekerja rumah tangga yang masih berada dalam situasi kerja yang tidak layak.

Banyak bentuk-bentuk keadaan yang dinilai tidak layak masih membayangi kehidupan pekerja rumah tangga di Indonesia. Sebagai contoh, tidak adanya perjanjian kerja tertulis dan seimbang. Sekalipun terdapat perjanjian, umumnya hanya perjanjian verbal, dan ditentukan oleh majikan, sehingga mudah diingkari serta sulit dibuktikan.

Selain itu, 85 persen PRT bekerja dengan beban kerja yang berlebihan; tidak ada batasan beban kerja yang jelas dan layak; semua beban kerja domestik bisa ditimpakan kepada PRT. Keadaan ini semakin memprihatinkan ketika diketahui, jam kerja yang diberikan kepada mayoritas pekerja rumah tangga, lebih dari 12-16 jam perhari.

Persoalan tidak adanya akses untuk bersosialisasi, komunikasi, dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri, juga termasuk dalam bagian kondisi kerja yang tidak layak yang diterima oleh para PRT.

Memperingati hari pekerja rumah tangga tahun ini, tanggungjawab serta peran negara: pemerintah dan DPR, menjadi isu yang hendak diperluas dan dipublikasikan kepada segenap elemen masyarakat. Negara dalam hal ini DPR RI dan pemerintah: Presiden, Mennakertrans, Menkumham sebagai pengambil keputusan ataupun kebijakan, bertanggungjawab atas perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja rumah tangga. Oleh karena itu pula, DPR dan Pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran pelanggaran dan kekerasan terhadap PRT. Selain itu, DPR dan pemerintah bertanggungjawab dan berperan untuk membuat serta mengesahkan berlakunya sistem perlindungan PRT melalui UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.(Ar)

Foto: Candra Irawan.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Pemerintah Abai, Kasus Kekerasan PRT Masih Sarat”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id