9 September 2010

Pesta Pora Duniawi Agama

Oleh: ArisNya

Ramadhan telah usai. Selama satu bulan, setidaknya di Indonesia, Ramadhan telah dilakoni oleh sebagian besar umat muslim secara istimewa dan penuh antusias dengan beragam aktivitas. Sebut saja serangkaian kegiatan ibadah dan non-ibadah: puasa, tarawih, tadarus, berbelanja kebutuhan buka puasa dan sahur, ngabuburit, buka puasa bersama kerabat serta keluarga, dan lain-lain. Meski tidak semua umat Islam melakukan serangkaian kegiatan seperti tertulis di atas, namun, tetap saja bentuk-bentuk aktivitas itu menjadi begitu khas di setiap tahunnya kala bulan Ramadhan tiba.

Di akhir-akhir Ramadhan dan khususnya di saat menjelang hari raya Idul Fitri atau Lebaran, aktivitas semacam itu semakin menjadi-jadi, bahkan bermutasi ke dalam bentuk-bentuk lain, seperti, berbelanja pakaian baru dan kue-kue, memesan tiket untuk mudik, merenovasi rumah serta tempat ibadah, sahur on the road, dan berziarah. Pemandangan yang merepresentasikan kondisi itu sekiranya dapat dilihat dari makin ramainya mal-mal, supermarket sampai pasar-pasar tradisonal, pinggiran-pinggiran jalan raya hingga pemukiman warga miskin kota, tempat pemakaman umum, terminal, dan loket-loket jasa transportasi.

Betapa tidak, Ramadhan telah jauh bahkan teralienasi dari nilai-nilai religius-spiritualitas itu sendiri, oleh karena manusia dan masyarakat secara umum lebih cenderung pada manifestasi-manifestasi duniawi seperti budaya hedonisme, konsumerisme, glamoritas dan aksi-aksi temporer dari sebuah ritual ibadah.

Mereka berbondong-bondong munumpahkan hasrat dan nafsu hura-huranya di saat bulan Ramadhan yang dinalari sebagai bulan untuk melatih pengendalian nafsu kita atas duniawi. Di sisi lain, perilaku seperti itu justru secara tidak langsung mendekatkan manusia pada hal-hal yang justru bertentangan dengan ajaran agama. Ketika bulan Ramadhan seperti ini, biasanya menjamur acara-acara pesta berbalut buka puasa bersama, sahur on the road, bakti sosial, yang nyatanya hanya menjadi ajang momentum yang berujung pada semakin tingginya jurang kesenjangan sosial di masyarakat. Karena sifatnya yang sementara, apa yang terdapat dalam pikiran anak-anak jalanan, pemulung, dan warga miskin lainnya adalah, mereka hanya bisa bahagia dalam menerima bentuk-bentuk kepedulian dari kalangan di luar mereka, ketika bulan Ramadhan saja. Selepas itu, selesai.

Begitu pula dengan apa yang terjadi pada pelaku aksi kepedulian semu tersebut. Karena Ramadhan dinilai sebagai bulan yang spesial secara religius, dalam arti, berbeda dengan bulan-bulan lainnya, di mana pada bulan inilah segala pahala ditumpah-ruahkan kepada umat muslim, mereka akan menganggap bahwa ini saat-saat terbaik untuk berbagi kepada sesama. Alhasil, sikap serta paradigma agama mereka pun terorientasi pada obyek-obyek ibadah yang semu. Tak terkecuali sikap kepedulian mereka tersebut.

Bulan Konsumerisme
Kesakralan Ramadhan telah menjelma menjadi kebahagian-kebahagian materialistik. Ibadah-ibadah, seperti puasa, tadarus, tarawih, zakat, dan berbagai bentuk ibadah lain yang tadinya ditujukan untuk mengokohkan keimanan serta ketakwaan manusia kepada Tuhan. Kini, berganti kecenderungan ke arah tingginya tingkat konsumsi dan intensitas pada barang-barang komoditi. Setidaknya itu terlihat dari kian giatnya masyarakat dalam membelanjakan uang mereka, bahkan mereka tak segan mengalokasikan dana pemasukan mau pun pengeluaran selama bulan Ramadhan dan ketika menjelang Idul Fitri.

Pemasukan dana biasa diperhitungkan dengan seberapa banyak target yang bisa dicapai selama satu bulan. Dengan begitu, mereka semakin mengintensifkan diri pada dunia pekerjaan yang dijalani. Oleh karena itu pula, mereka harus mengeluarkan dana ekstra selama satu bulan untuk dapat menutup biaya yang keluar selama bekerja (biaya transportasi, bahan bakar untuk kendaraan pribadi, biaya pulsa, termasuk biaya makan).

Pengeluaran tidak hanya sebatas itu. Bertambahnya kegiatan selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri membuat mereka melakukan pengeluaran untuk biaya selama keberlangsungan dan keikutsertaannya dengan kegiatan-kegiatan tersebut. Situasi lain juga terlihat dengan banyaknya perusahaan-perusahaan yang khusus bergerak di bidang sandang serta pangan, beramai-ramai mengiklankan promo-promo spesial melalui media televisi, radio, koran, majalah, spanduk, hingga billboard-billboard raksasa yang tersebar di penjuru serta sudut jalan.

Distributor pun tidak kalah gila. Mereka rela bekerja ekstra demi mempercepat sampainya barang ke agen-agen penjualan, karena permintaan di masyarakat meningkat. Bukan hanya produk komoditi bersifat pangan serta sandang saja, di luar itu pun, perusahaan yang bergerak diranah lain, seperti telekomunikasi, transportasi, properti, finansial; bank, money changer, pegadaian, asuransi, jasa peminjaman uang, dan lain-lain, juga memanfaatkan bulan Ramadhan guna semakin mempercepat perputaran roda ekonomi mereka. Negara dalam hal ini pemerintah, tidak pelak menjadi amat sibuk ketika harus mengakomodir serta menfasilitasi laju pergerakan ekonomi yang begitu cepat dan tinggi dengan mengeluarkan beragam "kebijakan-kebijakan" baru yang bersifat nasional.

Dari arah berbeda, kita dapat pula melihat bagaimana media massa ikut berjibaku dalam mengeluarkan produk-produk media untuk nantinya dapat dikonsumsi oleh masyarakat selama bulan Ramadhan. Berapa banyak program bertajuk agama seperti kultum, insert-insert religi, pengajian, ceramah, perbincangan interaktif soal Islam, sinetron khusus Ramadhan? Itu belum mencakup keseluruh program hiburan yang terdapat di televisi mau pun media massa lainnya, seperti kuis, acara pergelaran musik, tayangan komedi situasi, yang juga sengaja dikemas secara berbeda selama satu bulan penuh. Itulah sebagian dari hingar-bingar bulan Ramadhan yang berlangsung disekeliling kita. Tidak ada rasanya tempat sunyi yang ditujukan bagi kita untuk beribadah dengan khusyuk, dimana kita dapat berkonsentrasi pada iman serta takwa, dalam beribadah kepada Tuhan.

Tidak ada yang lebih dalam aktifitas kita selain mengkonsumsi dan mengkonsumsi. Bagi kehidupan kita di jaman seperti ini, sepertinya tidak ada Ramadhan sebagai bulan suci suatu agama, bulan penuh rahmat, bulan yang terrelasi kuat dengan agama dan Tuhan. Yang ada hanyalah, bulan Ramadhan sebagai bulan komoditi kapitalistik.

Di sisi lain, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan selama satu bulan di bulan Ramadhan? Biaya buka puasa termasuk buka puasa bersama, sahur, belanja baju baru, dana untuk mudik lebaran, dan biaya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan lainnya. Mungkin akan menjadi amat mengagetkan apabila kita mengetahui berapa pengeluaran biaya perusahaan-perusahaan di atas selama bulan Ramadhan dan juga menjelang Idul Fitri. Dan, hal ini terjadi setiap tahun.

Sementara itu, dari atas gedung-gedung pencakar langit masih dapat disaksikan berapa banyak anak-anak miskin yang tidak sekolah, pekerja-pekerja jalanan dari mulai pengamen, pengemis, tukang sapu, penjual rokok, dan warga miskin lainnya yang sedang terjebak dalam eksklusivitas Ramadhan, karena selama bulan itu, harga-harga bahan pokok maupun non pokok membumbung tinggi. Jika benar adanya bahwa ibadah puasa guna melatih diri kita agar lebih dekat dengan apa yang kerap dirasakan oleh kaum mustahik atau rakyat miskin, yang terjadi justru sebaliknya. Orang menjadi sangat terdikte oleh budaya konsumtif, justru ketika bulan Ramadhan. Mereka menjadi amat terbakar nafsu berbelanja, makan, minum, pesta, dan berbagai bentuk hura-hura lainnya, justru disaat bulan Ramadhan berlangsung.

Agama sebagai Simbol
Sekali lagi dapat pula terlihat dengan begitu jelas bahwa banyak manusia-manusia beragama belum mampu mentransformasikan setiap nilai yang didapatinya dari agama, menjadi sesuatu yang konkrit dalam kehidupan manusia itu sendiri. Khususnya dalam hal kemanusiaan dan kehidupan sosial. Semakin agama didengung-dengungkan dalam setiap persoalan, secara bersamaan, tak ada apa pun yang berubah dari setiap persoalan tersebut. Kemiskinan, kelaparan, diskriminasi dan lain-lain, tampak semakin jelas adanya.

Simbolisasi atas agama tidak hanya mengasingkan dan mendistorsi nilai-nilai yang dimilikinya, melainkan telah memfragmentasi eksistensi dan juga esensi agama tersebut dengan kehidupan nyata manusia yang mengimaninya. Keterpisahan inilah yang membuat manusia semakin jauh dari substansi manusia beragama. Lihat saja, sudah berapa banyak syiar-syiar agama yang meneriakan perang terhadap kemiskinan, perang terhadap kebodohan, perang terhadap diskriminasi dan lain-lain, tapi justru saat itu pula aksi pemiskinan dan pembodohan semakin menjamur, proses dehumanisasi terus berlanjut, demoralisasi semakin ajeg dan nyata ditengah-tengah kehidupan beragama para manusia.

Potensi simbol-simbol agama ini hadir dari ruang terkecil di dalam diri manusia, di saat dunia tempat ia beribadah, sesungguhnya penuh dengan bermacam pola-pola ibadah yang tidak memadai bagi keimanan seorang manusia. Lebih jauh, belum lagi ia selesai mencari tempat yang lebih memadai, ia malah menempatkan keimanannya pada pola-pola tersebut, bahkan mempercayai serta meyakininya. Ini terjadi karena dengan dorongan doktrinisasi yang begitu masif, manusia yang sesungguhnya sendiri di tengah-tengah keramaian itu, lebih memilih berpalin pada hal yang lebih nyata, yaitu simbol-simbol agama.

Simbol inilah pola-pola yang tidak memadai tersebut. Tidak memadai secara substansi dan makna, maupun refleksi. Banyak orang yang tidak menemukan apa-apa setelah menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan, karena ibadahnya hanya berupa simbol. Tidak lebih. Banyak pula yang menganggap berzakat atau pun beramal melalui negara dan lembaga-lembaga lainnya lebih baik daripada sendiri-sendiri, tidak begitu saja membuat mereka menjadi lebih baik pula dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Itu semua karena hal yang kita anggap baik-buruk, tidak berarti secara substantif apalagi transformatif, melainkan hanya sekedar simbol kosong, semu. Sekali pun ada nilai yang terkandung, nilai itu tidak lebih dari baik-buruk suatu hal. Tidak ada pemaknaan mendalam, khas dan unik atas apa yang disebut "ibadah". Semua telah berbaur dan larut kedalam dalam formalitas serta konservatifitas publik.

Simbolisasi agama turut berlaku bagi kaum kapitalis. Maraknya konsumerisme dan hedonisme agama belakangan ini, salah satunya disebabkan oleh karena agama dan nilai-nilai didalamnya, telah terafiliasi dengan simbol komoditi yang membawa pengaruh dalam daya jual satu produk. Akhirnya, Ramadhan pun bak diperjual belikan layaknya baju-baju baru, makanan, perabotan rumah tangga dan lain-lain. Lihat saja media massa selama bulan Ramadhan. Banyak produk-produk hingga artis/selebriti yang membintangi iklannya, mendadak menjadi begitu Islami. Televisi menjadi amat bermoral lewat tayangan-tayangan yang ditampilkannya sepanjang bulan Ramadhan, padahal, sesungguhnya bukanlah itu yang hendak dibicarakan oleh televisi. Televisi bicara produk komersil, program yang ditujukan untuk meraup rating sebanyak-banyaknya, demi memenuhi kepentingan ekonomi korporasi media bersangkutan. Maka, tidak ada moral sejati dalam tayangkan televisi. Moral itu tak lebih sebuah kekosongan dan kesemuan. Sistem penanda atas produk-produk komersil yang dijadikan komoditi dimasyarakat.

Belum telat kiranya kita, dan anda sebagai individu, untuk tetap berjuang dalam melawan segala bentuk pesta pora agama. Walau bagaimana pun, agama sudah lama ada di dalam kehidupan manusia. Selama perjalanannya, waktu telah menjadikan agama bukan hanya sekedar doktrinisasi-doktrinisasi, apalagi sebuah simbol atau sistem penanda, melainkan mewujud sebagai paradigma lain dalam sektor kehidupan budaya serta sosial di masyarakat. Inilah saat yang tepat bagi kita untuk mengambil sikap tegas, hendak akan dibawa kemana agama disisa waktu peradaban manusia yang masih ada?

Selamat hari raya Idul Fitri bagi kaum muslim.Taqobalallahu minna wa minkum. Mohon maaf lahir dan batin. Salam sejahtera bagi kita semua.

Tabik

Ilustrasi: Bambang Prasethyo.

Komentar :

ada 0 komentar ke “Pesta Pora Duniawi Agama”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id