Jakarta, Bingkai Merah – Aneka ragam perbedaan etnis dan agama di Indonesia diharapkan berkontribusi besar di dalam rangka perdamaian dunia. Hal itu mengemuka di pembukaan Global Peace Festival (GPF) Asia Pasific 2010 di Gran Melia Hotel (16/10).
Pertemuan yang dihadiri oleh 100 perwakilan dari mancanegara dan 200 perwakilan dari dalam negeri itu diadakan dengan semangat menjunjung tinggi keberagaman etnis dan kultural agar cita-cita perdamaian dunia terwujud. Sebagaimana disampaikan oleh Hyun Jin Moon, Ketua Global Peace Festival Foundation (GPFF).
“GPF bukan sekadar even. GPF merupakan bagian dari gerakan perdamaian yang menyatukan seluruh keluarga manusia dengan mengatasi hambatan, menyelesaikan konflik, dan menegaskan prinsip-prinsip universal dan nilai-nilai bersama yang menyatukan kita,” kata Moon.
“Indonesia yang memiliki multi etnik dan multi kultural harus bisa menjadi bagian dari upaya perdamaian dunia dengan syarat kepemimpinan yang baik dan berkomitmen dalam pluralisme,” lanjut Moon.
Untuk mendorong upaya perdamaian dunia di atas perbedaan etnis dan kultural, GPFF mengajak Nahdatul Ulama (NU) menyelenggarakan konferensi itu di Indonesia di tengah keprihatianan atas ketidakbebasan beragama dan berkeyakinan yang dialami kalangan minoritas.
Keprihatinan tidak membuat semangat mewujudkan keberagaman surut. Hal itu ditegaskan Said Agil Siradj, Ketua NU. Menurutnya, perbedaan yang ada di muka bumi ini bukan untuk dijadikan sumber konflik antar umat manusia, namun menjadi kekuatan perdamaian dunia.
Ia prihatin dengan tindakan membenci dan merusak agama lain oleh kelompok-kelompok Islam garis keras. Menurutnya, konsep jihad yang digunakan kelompok-kelompok Islam garis keras keliru dan merusak rahmat Islam di dunia. Lebih lanjut, ia mengatakan NU pernah memberikan resolusi jihad kepada Soekarno melalui KH. Hasyim Ansari, pendiri NU. Jihad yang dimaksud bukan untuk membela agama, namun membela tanah air dari serangan penjajah.
Pembukaan konferensi itu juga disambut oleh Wakil Presiden Indonesia, Boediono. Ia memaparkan perselisihan berbasis etnis dan agama yang terjadi di Indonesia juga dialami di beberapa negara sepanjang perjalanan bangsanya. Namun, selama pidatonya, Boediono tidak menyinggung secara responsif atas berbagai kasus kriminal dan penodaan agama dari kelompok yang anti keberagaman. Padahal, peserta konferensi menunggu wacana konkret dari pemerintah untuk penyelesaian konflik berbasis agama yang sering terjadi beberapa tahun belakangan ini. Kasus yang mengemuka terakhir adalah kasus pelarangan beribadah dan penyerangan ke Gereja Huria Kristen Batak Protestan di Ciketing, Bekasi dan penyerangan jama’ah Ahmadiyah di Cisalada, Bogor.
Pemerintah seharusnya sadar GPF digelar di Indonesia untuk menjadi cermin. Sekaligus, kamera barometer yang dilihat mata dunia internasional atas penyelenggaraan kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh pemerintah Indonesia. Di luar itu pun, masyarakat dunia tahu, dengan adanya kasus-kasus kekerasan berbasis agama, pemerintah dianggap telah gagal menegakan perdamaian antar etnis dan agama. Keberagaman menjadi semu. Semoga visi dan misi GPF dapat menyatakan kembali keberagaman itu demi perdamaian dunia. (PSG)
Foto: Yogi Suryana.
18 Oktober 2010
Keberagaman Indonesia untuk Perdamaian Dunia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Komentar :
Posting Komentar
Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.
Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.
Terima kasih.