12 Desember 2010

Buruh Migran Korban Pelanggaran HAM

Oleh Prasetyo Serna Galih*

Spanduk-spanduk berisi tuntutan buruh migran terpampang jelas di depan Istana Negara. Suara orator silih berganti membahana di seputar Jalan Merdeka Barat (10/12). Massa yang menginginkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menemui mereka hanya mimpi. Yang ada, massa aksi dibentengi kawat berduri dan barisan aparat kepolisian yang siap memukul kapan saja.

Ratusan buruh migran datang untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dibuatnya. Mereka menuntut tepat di Hari HAM Internasional. Selama ini, buruh migran dianggap sebagai komoditi ekspor. Tenaga kerjanya diperas langsung oleh negara. Hasil devisanya tidak diperuntukan untuk kesejahteraan mereka dan keluarganya.

Di sisi lain, label pahlawan devisa negara dibuat hanya untuk menyenangkan buruh migran saja. Namun, buruh migran tetap saja teraniaya di negeri seberang tanpa perlindungan serius dari pemerintah. Label itu dikuatkan oleh media yang tidak sensitif terhadap persoalan buruh migran.

Menurut Retno Dewi dari Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia, media hanya mengabarkan permasalahan buruh migran ketika buruh sudah disiksa, diperkosa, dan dipenjara. Isu pelanggaran HAM tidak pernah dikaitkan saat mereka teraniaya. Media hanya memproduksi berita kasus-kasus kekerasan yang dialami buruh migran untuk popularitas semata. Secara tidak langsung, media ikut menganggap buruh migran sebagai komoditi ekspor yang laku untuk dikabarkan di media komersilnya. Namun, media tidak berani secara terang-terangan menunjuk negara ikut bertanggung jawab atas nasib buruk yang dialami buruh di luar negeri.

Kasus-kasus kekerasan yang dialami buruh migran terjadi karena perlindungan hukum dari pemerintah begitu lemah. Mereka tidak dilindungi secara serius sebagai warga negara saat mereka bekerja. Malaysia adalah satu contoh yang cukup banyak melakukan pemenjaran terhadap buruh migran. Migrant Care dan Kontras pada September 2010 mencatat 6.800 buruh migran berada di penjara-penjara Malaysia. Data-data itu dibenarkan oleh kedutaan Indonesia di Malaysia.

Kasus yang dialami oleh Siti Hajar (2009) dan Winfaidah (2010) di Malaysia menunjukan ketidakseriusan pemerintahan SBY menyelesaikan kasus-kasus kekerasan yang dialami buruh migran. SBY hanya menelepon kedua korban. Tetapi, tidak melakukan tindakan konkret agar kasus yang sama tidak terulang.

Begitu pun pada kasus Sumiyati di Arab Saudi. Alih-alih menyelesaikan masalah mendasar dari kasus ini, pemerintah justru memberikan ponsel yang dianggap sebagai solusi pencegahan agar tidak terjadi kasus kekerasan terhadap buruh migran.

“Pemerintah seharusnya memikirkan bagaimana persoalan mendasar yang dialami buruh migran. Yang dibutuhkan mereka adalah perlindungan dan jaminan kerja lewat kontrak kerja. Bukan memberikan ponsel,” tutur Retno.

Selain itu, menurut Retno, perlindungan kepada buruh migran harus dimulai dengan menyatukan prespektif yang berbeda dengan negara yang menjadi tujuan. Sebagai perbandingan, pemerintah Hongkong sudah menjamin buruh migran dengan peraturan perundang-undangan. Hal yang sama tidak ditemui di negara-negara Asia, seperti Malaysia, atau pun negara-negara di Timur Tengah.

“Penyatuan perspektif yang adil antara Pemerintah Indonesia dengan negara-negara tujuan harus segera dibuat instrumen hukumnya sebagai jaminan perlindungan hak-hak buruh migran. Setelah itu, dibuat kontrak kerja yang memuat upah layak dan hari libur yang cukup,” tambah Retno.

Posisi tawar pemerintah yang sangat lemah di hadapan negara-negara tujuan membuat buruh migran sering mendapatkan kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja. Data yang dikeluarkan Badan Nasional Penempatan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia pada 2008 menunjukkan 45.250 kasus menimpa buruh migran Indonesia. Di Arab Saudi, buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga bekerja selama 18 jam sehari dan tujuh hari seminggu.

Data dari Human Right Watch, sekitar 40 persen dari jumlah total penyiksaan dan kematian buruh migran asal Indonesia, terjadi di Arab Saudi. Mereka tidak dapat melepaskan diri dari kondisi yang meningkatkan risiko menjadi korban tindak kekerasan psikologis, fisik, dan seksual. Bahkan, banyak dari mereka tidak dapat pulang setelah kontrak kerja berakhir karena majikan tidak memberi ijin.

Kondisi buruh migran di Malaysia tidak jauh berbeda. Di sana, tidak ada kontrak kerja yang mengatur upah layak dan hari libur. Pemerintah Malaysia melegalkan pemotongan upah dari buruh migran. Begitu pun di Taiwan. Pemerintah di sana melegalkan pemotangan upah 7-12 bulan dari buruh migran.

Sementara itu, peraturan mengenai perlindungan terhadap para buruh migran justru lebih berpihak kepada pengusaha. UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri mengatur skema perlindungan dalam bentuk asuransi. Di dalam aturan itu, yang diuntungkan pengusaha asuransi. Sedangkan buruh migran yang bisa mengklaim asuransi hanya sebanyak 5 persen.

Penderitaan tidak berhenti saat mereka menginjakan kaki di tanah air. Buruh migran kembali harus merasakan bentuk diskriminasi yang dilegalkan pemerintah. Mereka ditempatkan di Terminal IV Kedatangan di Bandara Soekarno Hatta. Alih-alih memberikan keamanan untuk para buruh migran yang pulang ke dalam negeri, di sana buruh migran justru dihadapkan preman-preman berseragam. Mereka memeras buruh migran.

Berbagai kasus-kasus pemerasan, kekerasan, bahkan pembunuhan kepada buruh migran terus terjadi. Pemerintah pun melanggengkan proses penghisapan habis-habisan kepada mereka. Sedangkan, hak-hak asasi mereka diabaikan. Artinya, negara, secara khusus Pemerintah SBY-Boediono telah melanggar hak asasi manusia.

* Penulis adalah Koordinator Divisi Manajemen dan Operasional Organisasi/Bingkai Merah.
--------------------
Berita Terkait:
Negara Melanggar Hak Asasi Manusia
Sejakala Wajah Buruh Indonesia
Berlawan dari Tanah Rantau

Komentar :

ada 1
dinda mengatakan...
pada hari 

Knp ya, pemerintah terus saja menindas rakyatnya sendiri? Cape juga mendengar kisah2 rakyat yang terus menderita...

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id