11 Desember 2010

Negara Melanggar Hak Asasi Manusia

Jakarta, Bingkai Merah – Negara bukan hanya gagal dalam menegakan hak asasi manusia (HAM). Negara justru melanggar HAM. Tegasnya, negara merupakan pelanggar HAM itu sendiri. Demikian ungkapan dari seribu orang yang berunjuk rasa di depan Istana Negara dan Bundaran Hotel Indonesia memperingati Hari HAM Internasional (10/12). Mereka berasal dari kelompok buruh, petani, rakyat miskin kota, perempuan, pemuda dan mahasiswa, kaum homoseksual, korban pelanggaran HAM, jurnalis, dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sebagian dari mereka berasal dari kota-kota di luar Jakarta.

Pelanggaran HAM oleh negara juga ditunjukan di Hari HAM Internasional di depan Istana Negara. Massa aksi dari Gerakan Perjuangan HAM Pro Rakyat direpresi oleh polisi sejak kedatangannya sekitar pukul 16.00 WIB. Tindakan represi itu membuat lebih dari lima orang mengalami luka-luka ringan. Dua orang, Sultoni dan Brian, ditahan paksa oleh polisi tanpa memperhatikan prosedur penahanan.

Padahal, sejak tiga tahun terakhir, ribuan orang yang berunjuk rasa memperingati Hari HAM Internasional di depan Istana tidak pernah direpresi polisi. Di Hari HAM Internasional kali ini, represi merupakan jawaban negara dari menguatnya tuntutan rakyat yang kerap dilanggar hak asasinya oleh negara.

Sehari sebelumnya, aksi pemuda dan mahasiswa di Makasar dijawab dengan rentetan peluru karet. Duabelas massa aksi ditembak aparat kepolisian. Begitu pun di berbagai daerah, aparat merepresi massa aksi saat mereka menuntut penegakan hukum atas kasus-kasus korupsi.

Pelanggaran HAM terkini yang dilakukan negara juga disuarakan oleh Front Perjuangan Rakyat. Mereka yang berjumlah sekitar 700 orang itu menyatakan rezim boneka SBY-Boediono tidak mampu menjamin kesejahteraan dan kedaulatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Faktanya, angka pengangguran dan putus sekolah terus meningkat, kemiskinan semakin merajalela, kerusuhan dan berbagai bentuk kekerasan yang dialami rakyat terus meluas di berbagai daerah. Perampasan upah, tanah, dan kerja semakin luas dan intensif.

Ambil contoh, sebanyak tiga juta buruh telah diputuskan hubungan kerjanya (PHK) pada 2009. Jutaan lainnya terancam di-PHK karena adanya kebijakan sistem kerja kontrak (outsourcing). Upah mereka pun jauh dari layak.

Kondisi serupa dialami buruh migran. Mereka bekerja di luar negeri karena pekerjaan dengan upah layak tidak pernah didapatkan di negara sendiri. Saat bekerja di sana, mereka dihadapkan dengan persoalan biaya penempatan dan operasional yang sangat tinggi, sehingga mengalami pemotongan upah selama 8-15 bulan.

Selain itu, mereka dihadapkan dengan tindak kekerasan berupa pemukulan, penyiksaan, pelecehan seksual, bahkan pembunuhan. Seperti yang dialami Sumiati dan Kikim Komalasari yang bekerja di Arab Saudi. Kasus-kasus kekerasan yang mengemuka adalah bukti kongkrit pemerintah tidak memberikan jaminan perlindungan yang jelas bagi buruh migran.

Data yang dikeluarkan Migrant Care (2010), 908 buruh migran meninggal dunia dan tiga orang mendapatkan vonis tetap hukuman mati. Khusus di Arab Saudi, dari 5.500 buruh migran yang bekerja sebagai pekerja rumah tangga, 20% mengalami penganiayaan, 65% sakit sebagai akibat buruknya kondisi kerja, dan 15% orang mengalami pemerkosaan.

Begitu pun dialami petani. Mereka juga dihadapkan dengan tindak kekerasan berupa penangkapan, penganiayaan, dan pembunuhan. Persoalan pokok mereka adalah perampasan tanah untuk kepentingan perluasan perkebunan, pertambangan atau kawasan industri oleh korporasi maupun oleh negara melalui PTPN, Perum Perhutani, Perum Inhutani, dan Taman Nasional dan Inhutani.

Aliansi Gerakan Reforma Agraria mencatat selama 2010 sedikitnya 10 petani tewas, 133 luka parah dan ringan akibat tindak kekerasan, dan 197 petani ditahan dengan berbagai tuduhan. Sedangkan angka perampasan tanah telah mencapai 24.7 juta hektar yang akan menyebabkan 11.4 juta orang petani sengsara. Ditambah rencana perluasan lahan sebesar 3.943.000 hektar oleh berbagai investor besar yang dipastikan akan merampas lahan pertanian. Akkibatnya, sedikitnya 175.000 petani akan tersingkir dari lahan garapannya.

Banyaknya bentuk pelanggaran HAM yang terjadi setelah reformasi menunjukan tidak berbedanya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan rejim Orde Baru. Hal itu sebagai implikasi dari tidak adanya kemauan politik dan kepastian hukum dari negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Negara masih status quo di dalam penegakan HAM dan kekuasaan masih belum bersandarkan kepentingan rakyat.

Banyaknya bentuk-bentuk pelanggaran HAM diawali sejak 1965. Di akhir 1965, terjadi peristiwa kelam kemanusiaan dan politik yang mengantarkan Suharto membangun kekaisaran Orde Barunya. Selama Orde Baru berkuasa, pelanggaran HAM kerap terjadi. Militerisme di dalam pemerintahan menelan korban dari rakyat yang jumlahnya tidak sedikit. Namun, setelah 12 tahun reformasi, watak militerisme dan borjuasi masih bercokol di tubuh negara. Sehingga, penegakan HAM belum juga dilakukan oleh pemerintah sampai saat ini.

Menurut Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, penegakan HAM di tanah air dapat diukur komitmennya di saat pemerintah mau menyelesaikan tragedi 1965 yang diduga menelan tiga juta orang.

“Negara harus bertanggung jawab menyelesaikan tragedi 1965. SBY harus secara nyata merehabilitasi korban dan mencabut semua kebijakan yang diskriminatif dan menyengsarakan rakyat,” ungkap Bedjo dengan penuh harap.

Sejalan dengan itu, Koalisi Peringatan Hari HAM, yang melakukan aksi simpatik di Bundaran Hotel Indonesia, di dalam rilisnya menyatakan pemerintah masih memproduksi aturan hukum yang menjustifikasi pelanggaran HAM. Selama ini, produk hukum yang dibuat oleh negara dinilai hanya kosmetik belaka demi kepentingan pencitraan dan basa-basi untuk diplomasi luar negeri yang tidak tulus.

Di Hari HAM Internasional itu, mereka menuntut negara agar berhenti menggunakan HAM sebagai alat politik pencitraan dan segera melakukan harmonsasi hukum HAM internasional yang telah diratifikasi dengan seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional.

Selain itu, persoalan pokok yang menjadi tuntutan massa aksi kepada negara, antara lain menuntut pekerjaan dan upah layak, perumahan layak, pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis, kesehatan gratis, jaminan hari tua, kebebasan berserikat dan bereksperesi, kebebasan beragama dan berkeyakinan, keadilan ekologi, penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM, nasionalisasi seluruh aset vital nasional, reforma agraria sejati, dan sita harta koruptor untuk kesejahteraan rakyat.

Apa semua tuntutan itu akan dipenuhi oleh negara saat kekuasaan masih belum bersandar pada kepentingan rakyat? (bfs)

Foto: Kornelius Pinondang/Bingkai Merah.
-------------------------------
Foto-foto aksi massa Hari HAM Internasional 2010 dan tindakan represi aparat kepolisian di Jakarta lihat di sini (Kornelius Pinondang, Yogi Suryana/Bingkai Merah).

Berita Terkait:
Buruh Migran Korban Pelanggaran HAM
Senjakala Wajah Buruh Indonesia
Berlawan dari Tanah Rantau

Komentar :

ada 0 komentar ke “Negara Melanggar Hak Asasi Manusia”

Posting Komentar

Silakan pembaca memberikan komentar apa pun. Namun, kami akan memilah mana komentar-komentar yang akan dipublikasi.

Sebagai bentuk pertanggung-jawaban dan partisipasi, silakan pembaca memberikan identitas nama dan kota di setiap komentar dari pembaca dengan mengisi kolom Name/Url yang tertera di bawah komentar pembaca. Misalnya, Anggun, Denpasar.

Terima kasih.

 

© Bingkai Merah, Organisasi Media Rakyat: "Mengorganisir Massa Melalui Informasi". Email: bingkaimerah@yahoo.co.id